Sabtu, 20 April 2024

Dokter Internship, Seperti Prajurit Bertempur Tanpa Peluru

JAKARTA- Hingga saat ini belum ada kepastian tentang jaminan kesehatan dari pemerintah bagi dokter-dokter internship yang bertugas di daerah-daerah terpencil. Hal ini disampaikan oleh ketua Presidium Dokter Indonesia Bersatu (DIB) Dr Eva Sri Diana, Sp.P Kepada Bergelora.com di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

Diawal bulan November, seorang dokter meninggal sakit karena tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik di wilayah pelosok di Kepulauan Aru, Privinsi Maluku tempat ia bekerja. Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng Muhammad Faqih kepada media mengatakan kisah seperti dokter Dionisius Giri Samudera (dr. Andra) ada setiap tahun.  

Berbagai media sudah mengupas kondisi dokter dalam program internship (magang) seperti dr. Andra, yang tidak dilengkapi dengan jaminan kesehatan dan asuransi jiwa. Mereka bekerja dengan sarana prasarana yang minim dari pemerintah. Agustinus Mujianto, ayah almarhum dr Andra kepada media sempat menyampaikan penyesalnya karena pemerintah tidak memfasilitasi kepulangan anaknya ketika dalam kondisi kritis saat dirawat di Rumah Sakit Cendrawasih, Kota Dobo, Kepulauan Aru, Maluku. Rumah sakit tersebut menurutnya juga tidak didukung tenaga dan alat medis yang mumpuni.

Tugas di Kepulauan Aru adalah bagian dari program Internship yang diwajibkan oleh pemerintah untuk dijalani oleh Dokter Andra. Namun ketika meninggal karena malaria dan radang otak, Menteri Kesehatan sempat membantah status Andra sebagai seorang dokter, karena masih menjalankan program internship.

Pada tahun 2010, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) memang mewajibkan lulusan Fakultas Kedokteran untuk ikut program internship selama setahun. Program itu sebagai salah satu syarat bagi calon dokter yang nantinya akan mengajukan surat tanda registrasi (STR). Surat itu sendiri bakal dipakai untuk mengajukan ijin praktek kedokteran.

Lucu juga. Kalau masih calon dokter mengapa dia ditugaskan untuk berpraktek melayani dan mengobati pasien,–di daerah yang sangat terpencil pula. Bukankah calon dokter belum punya STR dan ijin praktek kedokteran.

Kalau ditugaskan pemerintah, mengapa dia tidak dibekali fasilitas yang mempermudah dirinya mengatasi penyakitnya. Bisa dibayangkan, seorang dokter saja sangat kesulitan untuk berobat, apalagi rakyat yang tinggal di daerah tersebut.

Hebat betul program Internship itu. Dengan biaya murah, dokter-dokter diwajibkan mengatasi kesehatan masyarakat, di daerah terpencil pula. Kalau tidak menjalankan, maka STR tidak keluar dan tidak dapat ijin praktek. Karena terdesak dengan kekurangan dokter di daerah-daerah terpencil dan sangat terpencil, maka pemerintah memenuhinya dengan mengorbankan dokter.

Awam dengan mudah menilai, dokter seperti Andra, seperti prajurit, oleh satuannya dikirim sendirian ke medan tempur,– tanpa senjata,–kalau tertembak harus ditanggung sendiri, bahkan tidak diakui sebagai prajuritnya.

Kasus Andra mencerminkan kegagalan pemerintah dalam mengurus kesehatan rakyat. Padahal di dalam  konstitusi, tugas negara adalah melindungi rakyat,–tentu termasuk melindungi dari bahaya penyakit. Tapi memang konstitusi Undang-undang Dasar 45, saat ini diamandemen supaya bisa diplintir-plintir terjemahannya agar para pejabat pemerintah  dapat melepas tanggung jawab.

WKS Dan PTT

Untuk perbandingan, dulu,– dimasa lalu, Pemerintah Pusat dengan Undang-undang No 8/1961, membentuk Dewan Penempatan Sarjana yang mewajibkan seluruh sarjana jurusan apapun melakukan Wajib Kerja Sarjana (WKS), termasuk dokter atau dokter gigi.

Pada masa Orde Baru, Pemerintah Pusat tidak lagi memberlakukan Undang-undang No 8/1961 dan membubarkan Dewan Penempatan Sarjana, sehingga, semua sarjana apapun bisa bekerja dimanapun tanpa harus mengikuti WKS.

Namun belakangan pemerintah Orde Baru sadar akan kebutuhan dokter dan dokter gigi di tempat-tempat terpencil  dan sangat terpencil, tetapi tidak bisa mengangkat melalui jalur pengangkatan PNS. Maka  Presiden Soeharto mengeluarkan Kepres No. 37/1991 yang menggunakan kembali Undang-undang No 8/1961 dengan membuat program dokter dan dokter gigi Pegawai Tidak Tetap (PTT).

Presiden Soeharto mengeluarkan Instrsuksi Presiden (Inpres) Puskesmas tahun 1972 yang menjadi terobosan dalam pelayanan kesehatan secara merata di Indonesia. Pemerintah membangun rumah-rumah dinas para dokter dan paramedis. Jumlah puskesmas tercatat 5.631, Puskesmas pembantu 14.850, Puskesmas keliling roda empat 3.867 buah, dan perahu motor 546 buah. Sampai pada tahun 1985 jumlah Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) sebanyak 200.000 buah di 65.517 desa yang tersebar diseluruh pelosok Indonesia

Kemudian Soeharto kembali mengeluarkan  Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan melaksanakan program penempatan dokter di daerah-daerah tertinggal. Pada 1994-1995 pemerintah menempatkan lebih dari 3.000 dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) dan 800 dokter gigi PTT. Massa kerjanya 1 tahun dan untuk daerah sangat terpencil tertentu hanya 6 bulan saja, selanjutnya bisa diperpanjang.

Puskesmas yang dulunya digagas Bung Karno berkembang pesat. Melalui program Inpres Sarana Kesehatan pada 1994 – 1995 telah berdiri 6.984 unit Puskesmas, 20.477 unit Puskesmas Pembantu, dan 3.794 unit Rumah Dinas untuk dokter di daerah terpencil.

Sebelum Pelita I jumlah puskesmas adalah 1.227 buah. Pada tahun 1992/93 meningkat menjadi 6.277 buah. Jika pada tahun 1968 setiap puskesmas rata-rata melayani 96 ribu penduduk, pada tahun 1992/93 setiap puskesmas rata-rata melayani 28 ribu penduduk.

Selama 25 tahun (1969-1993), berbagai program kesehatan dan  gizi telah berhasil meningkatkan kualitas hidup rakyat. Angka harapan hidup meningkat dari sekitar 45,7 tahun meningkat menjadi 62,7 tahun. Angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup menurun dari 145 pada tahun 1967 menjadi 58 pada akhir tahun 1993. Angka kematian ibu melahirkan per 100.000 kelahiran hidup menurun dari 450 pada tahun 1986 menjadi 425 pada tahun 1992.

Prevalensi kurang energi protein (KEP) total pada anak balita menurun dari 48,2 persen pada tahun 1978 menjadi 40 persen pada tahun 1992. Kebutaan karena kekurangan vitamin A (KVA) pada akhir PJP (Pembangunan Jangka Panjang) I sudah hampir tidak ditemukan lagi.

Semangat Demokrasi Liberal

Setelah Reformasi dan amandemen UUD’45 pada tahun 2002, Organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai bahwa Orde Baru secara otoriter memaksa dokter-dokter untuk menjalankan program wajib PTT. Dengan semangat demokrasi liberal dokter-dokter yang tergabung di dalam IDI menjadi ujung tombak mendorong negara melepaskan tanggung jawab terhadap rakyat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.

Media mencatatat, saat itu Ketua IDI, Kartono Muhammad menuntut agar program dokter PTT dihentikan. Pemerintah Pusat tidak lagi berhak mewajibkan dokter untuk bekerja di daerah-daerah terpencil. Tanpa kewajiban tersebut, dokter bebas memilih di daerah manapun yang ia suka bekerja. Akibatnya, semua dokter memilih bekerja di kota-kota besar ketimbang di daerah terpencil tanpa fasilitas.

Akibatnya,– terjadi degradasi (penurunan) kondisi kesehatan masyarakat secara drastis, terutama di daerah yang jauh dari perkotaan. Puskesmas di kecamatan apalagi Puskesmas Pembantu di desa-desa, menjadi kosong,– ditinggal dokter. Untuk berobat, rakyat yang mayoritas di desa-desa harus ke rumah-rumah sakit yang adanya di kota-kota kabupaten. Liberalisasi juga terjadi di rumah-rumah sakit di kabupaten, dokter-dokter lebih memilih bekerja ke ibu kota propinsi. Itupun juga di rumah-rumah sakit swasta dengan penghasilan lebih tinggi.

Belakangan, ibu kota Jakarta menjadi pilihan tertinggi untuk berkarir dan mendapatkan kehidupan yang lebih nyaman bagi kaum profesional, termasuk dokter. Demokrasi liberal telah sukses, menjauhkan dokter dari rakyat yang membutuhkan pelayanan. Sehingga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah, rakyat harus menempuh perjalanan naik turun gunung dan menyebarang lautan.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru