Jumat, 19 April 2024

DPD Pertanyakan Lolosnya Ajaran Berbahaya

JAKARTA- Setelah publik dikejutkan dengan buku ajar Sekolah Dasar (SD) bermuatan pornografi beberapa waktu lalu, kini muncul lagi buku ajar kelas X dan XI Sekolah Menengah Atas (SMA) mengandung materi radikal yang sangat berbahaya karena menanamkan rasa kebencian. Harus ada solusi konkret agar tidak ada lagi buku-buku ajar yang berpotensi merusak generasi muda.

Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang membidangi persoalan pendidikan Fahira Idris meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kementerian Kebudayan, Pendidikan Dasar dan Menengah) mempunyai sistem yang ketat dalam menyeleksi semua buku ajar sebelum sampai ke tangan siswa.

“Kita jangan jadi seperti pemadam kebakaran yang baru sibuk setelah kejadian. Buku-buku seperti ini tidak akan beredar kalau ada mekanisme seleksi yang ketat. Bagi anak-anak kita, semua materi dalam buku ajar yang mereka terima dari sekolah adalah sebuah kebenaran. Ini bahaya,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta Kamis (26/03). 

Fahira mengatakan, buku teks atau buku ajar adalah buku yang dirancang  untuk diajarkan kepada murid di kelas yang disusun dan disiapkan dengan cermat oleh ahli atau pakar dalam bidang ilmu tertentu dengan tujuan intruksional dilengkapi dengan sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah sehingga menunjang suatu program pengajaran.

“Saya pribadi mau mempertanyakan di mana peran penerbit dalam menyeleksi dan mengedit naskah buku ajar ini? Di mana peran BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang tugasnya menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran? Kenapa materi berbahaya seperti ini bisa lolos?” tegas Fahira.

Menurut Fahira buku ajar yang ada di sekolah setidaknya harus memuat beberapa kriteria antara lain membuat peserta didik paham makna dan hasil yang diharapkan; memotivasi belajar tanpa dipaksa;  mendorong anak memiliki atensi/perhatian terhadap apa yang dipelajari; mendorong pola belajar yang mandiri; dan membuat peserta didik menemukan nilai dan etika yang relevan dengan kehidupan kekinian dan moral yang berlaku.

“Semuanya itu menyatu dan mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia pelajar kita. Jadi menyusun buku ajar itu tidak boleh sembarangan apalagi menyesatkan. Buku ajar itu harus punya kemampuan menyadarkan siswa bahwa sesuatu yang salah itu salah walaupun bertentangan dengan pendapat umum. Penyusun buku ajar harus paham filosofi ini, kalau tidak bisa kacau dunia pendidikan kita,” tukas aktivis sosial yang concern terhadap persoalan generasi muda ini.

Panggil Menteri

Dalam waktu dekat ini Komite III DPD berencana akan memanggil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk menjelaskan lolosnya buku ajar yang mengandung materi radikal. Komite III DPD juga akan mendalami bagaimana proses dan mekanisme yang dijalankan Kementerian mulai dari penyusunan dan penerbitan buku ajar hingga sampai ke tangan siswa.

“Kita (Komite III DPD) ingin, lolosnya buku ajar yang punya potensi merusak ini menjadi yang terakhir. Kementerian harus punya pengawasan yang ketat sebelum buku ajar sampai ke tangan siswa. Kami juga mau mendalami apa rencana Kementerian untuk meningkatkan kapasitas para guru penyusun buku ajar,” jelas Fahira.

Selama ini, lanjut Fahira, dirinya sering mendapat laporan bahwa banyak buku ajar di sekolah-sekolah disusun oleh penulis yang tidak punya keahlian yang mendalam terhadap materi yang ditulisnya. Kondisi ini ditambah dengan masih adanya penerbit yang tidak concern terhadap kompetensi penulis dan kualitas isi buku, apakah layak dibaca siswa atau tidak.

“Ini diperparah longgarnya pengawasan kementerian dan BSNP yang mengesahkan buku-buku teks pelajaran. Saya melihat masih ada prinsip ‘kejar tayang’ dalam penyusunan buku ajar. Inilah yang membuat konten-konten yang berbahaya bisa lolos,” ungkap Fahira lagi.

Fahira mengingatkan semua stakeholder bidang pendidikan terutama pihak sekolah tidak bermain-main dalam proses pengadaan buku ajar apalagi menjadikan program penyediaan buku pelajaran sebagai proyek jangka panjang untuk kepentingan pribadi.

“Kementerian harus tegas jika masih ada praktik-praktik seperti ini. Dunia pendidikan kita harus bebas dari mental-mental para pencari untung yang merusak wajah dan kualitas dunia pendidikan kita. Harus ada sanksi tegas agar ada efek jera,” tutup Ketua Yayasan Anak Bangsa Berdaya dan Mandiri (ABADI) ini. (Enrico N. Abdielli)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru