Jumat, 29 Maret 2024

Gawat..! Revisi Luas Taman Nasional Berbak Belum Berpihak Pada Rakyat

Aksi kaum tani yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional (STN) Jambi beberapa waktu lalu. STN berdiri tahun 1992 adalah satu-satunya organisasi kaum tani yang masih tetap setiap membela perjuangan kaum tani hingga saat ini. (Ist)

JAMBI- Perubahan luas Taman Nasional Berbak (TNB) yang merupakan kawasann konservasi seluas 21,439 Hektar justru disebutkan merugikan masyarakat setempat. Hal itu diungkap oleh MG.Harahap (57), Tokoh Masyarkat Desa Sungai Rambut, Rabu (12/7).

Berdasarkan SK Nomor 4649-LHK/PKTL/KUAH/2015. Menyebutkan dari hasil revisi Peta Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Berbak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Muaro Jambi tersisa 141,261 Hektar.

Sementara itu, berdasarkan Peta Taman Nasional Berbak Kabupaten Dari II Tanjung Jabung, Provinsi Jambi sesuai SK Nomor 285/KPK/2/1992, seluas 162,700 Hektar.

Harahap yang ditemui di area bekas persawahan desa tersebut menyangkan bila proses revisi atau perubahan luasan lahan TNB yang berada di Provinsi Jambi tersebut justru menyerobot lahan garapan dan pemukiman warga di lima desa, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

“Kami baru mengetahui jika hasil revisi TNB merugikan masyarakat setelah melihat informasi tersebut lewat internet, ternyata baik pemukiman dan perkebunan warga di lima desa, yakni Desa Sungai Rambut, Desa Rantau Rasau Desa, Desa Remau Bakotuo, Desa Air Hitam dan Desa Cemara sudah masuk kawasan konservasi,” katanya.

Harahap yang telah menetap sejak tahun 1994 di area tersebut menjelaskan bila konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan Balai Tanaman Nasional Berbak – Sembilang sudah terjadi sejak tahun 2005.

“Sebagai tokoh masyarakat saat itu (2005), saya sudah menolak keras hasil rekonstruksi yang dilaksanakan oleh BPKH yang dibuktikan dengan berita acara penolakan sebab tidak sesuai dengan tapal batas yang lama,” tuturnya.

Lebih lanjut, Ia menuturkan bila penolakan dilakukan karena jalur yang direkonstruksi sebagai tapal batasnya merupakan jalur patroli pada tahun 1992, namun tahun 1997 jalur tersebut berubah jadi jalur hijau, lalu tahun 2005 dijadikan Tapal Batas TNB padahal letaknya berada diareal perkebunan dan pemukiman masyarakat.

Hal senada juga disampaikan oleh Watijo (60), warga Desa Rantau Rasau Desa, mengatakan sampai saat ini tidak pernah ada sosialisasi terkait hasil revisi Peta TNB tahun 2015 tersebut.

“Masyarkat tentu sedih dan keberatan sebab proses perubahan kawasan marga satwa itu dilakukan sepihak tanpa melibatkan masyarakat setempat yang sudah bermukim sejak sebelum merdeka,” ungkap pria kelahiran Jogjakarta yang telah berada di desa tersebut sejak tahun 1975.

Menyikapi konflik tata ruang antara masyarakat dengan perhutanan, Ketua Serikat Tani Nasional (STN) Jambi, Mawardi mengharapkan bila proses perubahan dan pemanfatan tata ruang perlu mendahulukan kepentingan rakyat.

“Diduga pengurangan luas TNB seluas 21,439 Hektar justru dinikmati oleh beberapa perusahaan perkebunan sawit. Jika benar,  artinya revisi tersebut hanya menguntungkan corporasi tertentu dan merugikan rakyat,” ketus Mawardi saat dikonfirmasi via telpon.

Lebih jauh, Mawardi menjelaskan bila pengelolaan sumberdaya kawasan hutan sebelumnya sangat mendiskriminasikan masyarakat akibatnya  banyak ketimpangan agraria dan kemiskinan dalam kawasan hutan.

“Di Provinsi Jambi misalnya terdapat 583 Desa yang berada didalam dan sekitar kawasan hutan dengan status ilegal. Inilah yang menjadi salah satu faktor terhambatnya pembangunan dari bawah akibat tidak adanya pengakuan dan perlindungan negara atas hak kelola rakyat,” terangnya.

Meski demikian, pendamping masyarakat di kawasan TNB Tanjung Jabung Timur itu mengapresiasi lahirnya program Perhutanan Sosial sebagai solusi dalam penyelesaian konflik tenurial (perhutanan) dimana masyarakat mendapat kesempatan dalam pengelolaan kawasan hutan selama 35 tahun hingga 90 tahun.

“Sudah semestinya dalam proses penyelesaian konflik tenurial ini semua pihak merujuk pada semangat dari Perhutanan Sosial yang menjadikan rakyat sebagai pahlawan ekologi dan pembangunan agraria yang sesungguhnya,” tukasnya.

Diakhir perbincangan, Mawardi memaparkan bila Direktorat Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian LHK tengah mengupayakan penyelesaian konflik dikawasan gambut tersebut dengan pemberian akses legal kepada masyarakat.

 

“Kementerian direncakan dalam waktu dekat akan melakukan verifikasi baik objek maupun subjek masyarakat. Dalam jangka pendek ada akses zona khusus yang diberikan kepada masyarakat, dan akan melakukan tata batas ulang. Karena itu program Perhutanan Sosial yang diangkat pemerintahan Jokowi saat ini mesti direspon baik oleh pengelolan TNB sebagai solusi penyelesaian konflik dan penataan sektor agraria,” tutupnya. (A. Pranata)

Revisi Luas Taman Nasional Berbak Belum Berpihak Pada Rakyat

JAMBI- Perubahan luas Taman Nasional Berbak (TNB) yang merupakan kawasann konservasi seluas 21,439 Hektar justru disebutkan merugikan masyarakat setempat. Hal itu diungkap oleh MG.Harahap (57), Tokoh Masyarkat Desa Sungai Rambut, Rabu (12/7).

Berdasarkan SK Nomor 4649-LHK/PKTL/KUAH/2015. Menyebutkan dari hasil revisi Peta Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Berbak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Muaro Jambi tersisa 141,261 Hektar.

Sementara itu, berdasarkan Peta Taman Nasional Berbak Kabupaten Dari II Tanjung Jabung, Provinsi Jambi sesuai SK Nomor 285/KPK/2/1992, seluas 162,700 Hektar.

Harahap yang ditemui di area bekas persawahan desa tersebut menyangkan bila proses revisi atau perubahan luasan lahan TNB yang berada di Provinsi Jambi tersebut justru menyerobot lahan garapan dan pemukiman warga di lima desa, di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.

“Kami baru mengetahui jika hasil revisi TNB merugikan masyarakat setelah melihat informasi tersebut lewat internet, ternyata baik pemukiman dan perkebunan warga di lima desa, yakni Desa Sungai Rambut, Desa Rantau Rasau Desa, Desa Remau Bakotuo, Desa Air Hitam dan Desa Cemara sudah masuk kawasan konservasi,” katanya.

Harahap yang telah menetap sejak tahun 1994 di area tersebut menjelaskan bila konflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) dan Balai Tanaman Nasional Berbak – Sembilang sudah terjadi sejak tahun 2005.

“Sebagai tokoh masyarakat saat itu (2005), saya sudah menolak keras hasil rekonstruksi yang dilaksanakan oleh BPKH yang dibuktikan dengan berita acara penolakan sebab tidak sesuai dengan tapal batas yang lama,” tuturnya.

Lebih lanjut, Ia menuturkan bila penolakan dilakukan karena jalur yang direkonstruksi sebagai tapal batasnya merupakan jalur patroli pada tahun 1992, namun tahun 1997 jalur tersebut berubah jadi jalur hijau, lalu tahun 2005 dijadikan Tapal Batas TNB padahal letaknya berada diareal perkebunan dan pemukiman masyarakat.

Hal senada juga disampaikan oleh Watijo (60), warga Desa Rantau Rasau Desa, mengatakan sampai saat ini tidak pernah ada sosialisasi terkait hasil revisi Peta TNB tahun 2015 tersebut.

“Masyarkat tentu sedih dan keberatan sebab proses perubahan kawasan marga satwa itu dilakukan sepihak tanpa melibatkan masyarakat setempat yang sudah bermukim sejak sebelum merdeka,” ungkap pria kelahiran Jogjakarta yang telah berada di desa tersebut sejak tahun 1975.

Menyikapi konflik tata ruang antara masyarakat dengan perhutanan, Ketua Serikat Tani Nasional (STN) Jambi, Mawardi mengharapkan bila proses perubahan dan pemanfatan tata ruang perlu mendahulukan kepentingan rakyat.

“Diduga pengurangan luas TNB seluas 21,439 Hektar justru dinikmati oleh beberapa perusahaan perkebunan sawit. Jika benar,  artinya revisi tersebut hanya menguntungkan corporasi tertentu dan merugikan rakyat,” ketus Mawardi saat dikonfirmasi via telpon.

Lebih jauh, Mawardi menjelaskan bila pengelolaan sumberdaya kawasan hutan sebelumnya sangat mendiskriminasikan masyarakat akibatnya  banyak ketimpangan agraria dan kemiskinan dalam kawasan hutan.

“Di Provinsi Jambi misalnya terdapat 583 Desa yang berada didalam dan sekitar kawasan hutan dengan status ilegal. Inilah yang menjadi salah satu faktor terhambatnya pembangunan dari bawah akibat tidak adanya pengakuan dan perlindungan negara atas hak kelola rakyat,” terangnya.

Meski demikian, pendamping masyarakat di kawasan TNB Tanjung Jabung Timur itu mengapresiasi lahirnya program Perhutanan Sosial sebagai solusi dalam penyelesaian konflik tenurial (perhutanan) dimana masyarakat mendapat kesempatan dalam pengelolaan kawasan hutan selama 35 tahun hingga 90 tahun.

“Sudah semestinya dalam proses penyelesaian konflik tenurial ini semua pihak merujuk pada semangat dari Perhutanan Sosial yang menjadikan rakyat sebagai pahlawan ekologi dan pembangunan agraria yang sesungguhnya,” tukasnya.

Diakhir perbincangan, Mawardi memaparkan bila Direktorat Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian LHK tengah mengupayakan penyelesaian konflik dikawasan gambut tersebut dengan pemberian akses legal kepada masyarakat.

“Kementerian direncakan dalam waktu dekat akan melakukan verifikasi baik objek maupun subjek masyarakat. Dalam jangka pendek ada akses zona khusus yang diberikan kepada masyarakat, dan akan melakukan tata batas ulang. Karena itu program Perhutanan Sosial yang diangkat pemerintahan Jokowi saat ini mesti direspon baik oleh pengelolan TNB sebagai solusi penyelesaian konflik dan penataan sektor agraria,” tutupnya. (A. Pranata)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru