Jumat, 29 Maret 2024

Nah! Perusahaan Pencemar Laut Timor Salahkan Presiden SBY

KUPANG-  Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) Ferdi Tanoni mengatakan PTTEP Australasia telah mengkhianati Pemerintah Indonesia dalam kasus pencemaran minyak di Laut Timor menyusul ledakan anjungan Montara pada 21 Agustus 2009.

“Jika PTTEP Australasia mengklaim bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (waktu itu) tidak memberikan izin penelitian, adalah sebuah kebohongan yang telah mengarah pada bentuk pengkhianatan,” katanya kepada pers di Kupang, Selasa, menanggapi laporan BBC TV soal pencemaran minyak di Laut Timor 2009 dalam program BBC World News yang dipancarkan dari London, Inggris, Senin (12/9). Link BBC World News TV Video dan Link BBC World News On dapat dilihat di http://www.bbc.com/news/b usiness-37335618 dan http://www.bbc.com/news/busine ss-37256064

Berdasarkan fakta-fakta yang ada, tambahnya, PTTEP Australasia ketika itu sedang mengadakan perundingan dengan tim Pemerintah Indonesia guna menyepakati penelitian ilmiah bersama, namun secara diam-diam PTTEP Australasia malah berkhianat terhadap Pemerintah Indonesia.

“Ada fakta yang mengemuka bahwa perusahaan itu telah membayar sejumlah oknum ilmuwan dari beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk melegitimasi hasil penelitian PTTEP Australasia dan Pemerintah Australia  yang menyatakan bahwa tumpahan minyak Montara tidak menjangkau pantai-pantai di Indonesia,” kata Tanoni.

PTTEP Australasia yang tidak bersedia diwawancarai langsung oleh BBC TV dalam programa BBC Word News tersebut, mengakui tidak melakukan penelitian ilmiah terhadap pencemaran minyak di Laut Timor menyusul ledakan anjungan minyak Montara pada 21 Agustus 2009.

“Saya cukup terkejut ketika menyaksikan siaran yang dipancarkan British Broadcasting Commision TV pada Senin (12/9) dalam programa BBC World News soal tragedi pencemaran Laut Timor tersebut,” katanya.

Hal ini dilakukan, karena wilayah perairan budidaya rumput laut tercemar menyusul ledakan anjungan minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
Dalam pernyataan tersebut, kata Tanoni, PTTEP Australasia menyatakan bahwa tumpahan minyak Montara tidak menjangkau pantai-pantai di Indonesia karena jarak terdekat dari pantai di Australia ke Pulau Rote adalah 500 kilometer.

Namun di sisi lain, kata dia, PTTEP Australasia mengakui bahwa pihaknya tidak pernah melakukan studi ilmiah di perairan Indonesia terhadap dampak dari ledakan anjungan minyak Montara 2009 yang mencemari Laut Timor.
“Anehnya lagi, perusahaan itu malah mempersalahkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (waktu itu) dengan alasan tidak memberikan izin penelitian kepada mereka,” ujar mantan Agen Imigrasi Australia tersebut.

Menurut Tanoni anjungan minyak Montara yang meledak pada 2009 itu bukan terletak di pantai Australia sebagaimana diklaim oleh PTTEP Australasia, tetapi terletak di tengah Laut Timor yang hanya berjarak sekitar 248 kilometer saja dari Pulau Rote, sehingga letaknya lebih dekat ke Pulau Rote dibanding ke Australia.

PTTEP Australasia, tambahnya, dengan licik menerbitkan sebuah lembaran fakta (fact sheet) dengan mengklaim bahwa tumpahan minyak Montara tidak menjangkau pantai-pantai di Indonesia berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tim ahli independen dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.

Atas dasar itu, Tanoni menyerukan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo agar dapat memberikan dukungan total terhadap upaya rakyat NTT yang sedang mencari keadilan di Pengadilan Federal Australia untuk menangkis kebohongan yang dilakukan oleh PTTEP Australasia kepada Indonesia.

“Sebagai warga negara, saya tidak akan menerima dalih apapun yang disampaikan perusahaan minyak tersebut, karena telah melakukan kebohongan secara sistematis kepada bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai ini,” ujarnya.

Ia juga menyerukan kepada Pertamina dan Kementerian ESDM untuk segera membatalkan kerjasama dengan PTTEP Thailand di Blok Natuna East, karena perusahaan ini telah melakukan pengkhianatan terhadap pemerintah Indonesia.

BBC TV dalam program World News itu juga mengutip pernyataan Daniel Sanda, salah seorang petani rumput laut asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur yang mendaftar gugatan “class action” di Pengadilan Federal Australia di Sydeney pada 3 Agustus 2016 mewakili lebih dari 13.000 petani rumput laut di NTT.

Dalam wawancara dengan BBC TV itu, Daniel Sanda menyatakan bahwa pada bulan Agustus-September 2009, para petani rumput laut dan masyarakat di pesisir Pulau Rote, melihat banyak sekali ikan yang mati bergelimpangan di sepanjang pantai dan mencium bauk busuk serta air laut bercampur minyak.

“Kami tidak tahu apa yang terjadi pada waktu itu. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, kami akhirnya tahu bahwa peristiwa yang kami alami itu ada hubungannya dengan ledakan anjungan minyak Montara di Laut Timor,” katanya kepada BBC TV.

Tanoni peraih tunggal Civil Justice Award 2013 di Canberra dari Australian Lawyers Alliance itu menyatakan bahwa dia sangat percaya dengan sistem peradilan di Australia, sehingga kasus pencemaran yang membawa dampak buruk terhadap para petani rumput laut dan nelayan di NTT itu lebih cocok digugat di Pengadilan Federal Australia.
“Sudah tujuh tahun lamanya kami berjuang, dan pada titik ini, saya mau mengatakan bahwa kebenaranlah yang akan menang,tidak peduli berapa lama kasus ini akan berlanjut,katanya optimistis. (Dicky)

http://www.bbc.com/news/busine ss-37256064

 

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru