Jumat, 29 Maret 2024

Segera Periksa…! NasDem Dukung Pansus Kekerasan Tanjung Sari, Luwuk

Seorang ibu melindungi anaknya di tengah penggusuran di Tanjung Sari, Luwuk, Sulawesi Tengah. (Ist)

PALU- Ketua Fraksi Nasdem  DPRD Sulawesi Tengah mendorong pembentukan pansus untuk kasus eksekusi lahan Tanjung dengan agenda melakukan investigasi hak-hak keperdataan warga dalam perspektif konstitusional.

“Kita ingin tahu dengan persis, duduk perkara eksekusi lahan Tanjung. Karena pola yang berlaku dilapangan menunjukan kesan seperti penggusuran,” ujar Masykur kepada Bergelora.com di Palu, Sabtu (24/3).

Menurut Masykur jangan sampai, atas nama hukum terjadi penghilangan atas hak-hak warga lainnya. Sebab, sungguh sulit diterima akal sehat, ada orang memiliki tanah seluas itu dengan objek yang mau digusur lebih dari 1.000 kepala keluarga.

“Coba anda pikirkan, untuk kepentingan satu orang ahli Waris, negara menghilangkan hak keperdataan ribuan orang. Ini sungguh tak masuk akal,” terangnya.

Masykur menduga ada pihak yang telah menunggangi kasus perdata ini untuk tujuan yang lebih besar. Sebab, pengerahan pasukan untuk operasi eksekusi menunjukan sesuatu yang kontras.

“Kita ingin tahu siapa sesungguhnya telah mendorong eksekusi ini menjadi luas tak terkendali. Hak-hak keperdataan warga Tanjung diabaikan. Dan terkesan eksekusi seperti dipaksakan untuk mengejar target,” ujarnya.

Terkait hal itu, Masykur menegaskan bahwa pembentukan Pansus harus dimulai mengapa ada proses transaksi jual beli tanah di atas lahan orang. 

Seorang ibu menghadang aparat yang datang untuk menggusur warga dari tanahnya di Tanjung Sari,Luwuk, Sulawesi Tengah (Ist)

Masykur juga meminta Bupati Banggai segera membuat daftar masalah administrasi  pertanahan, terutama wilayah Kota Luwuk.

“Bupati harus mengambil sikap, dan segera mengurus kebutuhan warga Tanjung Sari. Jangan dibiarkan rakyat menanggung beban tanpa kehadiran pemerintah,” jelasnya.

Khusus situasi terkini yang terjadi di lapangan Masykur mendesak kepada Ketua Pengadilan Negeri Luwuk untuk menghentikan sementara eksekusi sambil menunggu adanya keputusan hukum yang adil.

“Kepada Kapolda Sulteng diminta untuk menarik seluruh pasukannya di lokasi pemukiman warga Tanjung Sari,” ujarnya.

Penarikan Pasukan

Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM-RI Perwakilan Sulawesi Tengah mendesak kepada. Kapolri, Cq. Kapolda Sulteng untuk menginstruksikan penarikan pasukan yang bertugas melakukan penggusuran rumah dan lahan masyarakat di Tanjung Luwuk.

“Jenderal Tito Karnavian untuk segera menginstruksikan Irwasum dan Propam Mabes Polri untuk melakukan Pemeriksaan intensif dan mendalam Kepada Kapolda Sulteng dan Kapokres Banggai karena dipandang dengan serta merta tanpa pertimbangan mendalam menyetujui permintaan pengamanan eksekusi lanjutan dan/atau penggusuran  yang semestinya berdasarkan putusan hanya pada obyek dengan luasan 22 m x 26,50 m dan 11,60 m x 11,30 m,” demikian Dedi Askary, Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulteng

Ia juga meminta Kapolri, Jenderal Tito Karnavian Cq. Kapolda Sulteng Brigjend Pol I Ketut Argawa untuk segera melepas dan/atau membebaskan 26 orang masyarakat yang ditangkap dan ditahan.

Dedy Askary meminta juga Komisi Yudisial untuk memeriksa dan menindak tegas hakim yang telah menyalahi aturan dengan mengekuarkan Putusan yang menjadi dasar dilakukan penggusuran.

Aksi Front Solidaritas Rakyat Sulawesi Tengah menolak penggusuran di Tanjung Sari, Luwuk, Sulawesi Tengah (Ist)

“Ombudsman RI perlu segera menindak adanya dugaan mal-administrasi dalam proses penggusuran yang dilakukan oleh Pemkab Banggai dengan mengerahkan seluruh perangkat Pemerintahannya,” ujarnya.

Dari semua proses yang telah berlangsung, Komnas HAM-RI Perwakilan Sulteng mencatat beberapa pelanggaran dalam proses hukum dan administrasi. Ketua PN Luwuk, Nanang Zulkarnain Faisal S.H. telah mengesampingkan putusan-putusan Pengadilan Tibggi Sulawesi Tengah dan Mahkama Agung RI sehingga terjadi salah penafsiran dalam mengabulkan permohonan ahli waris Salim Albakar terkait proses eksekusi di atas objek yang disengketakan berbeda antara yg diperkarakan dengan yang menjadi obyek penggusuran saat ini.

“Kesalahan tersebut mengakibatkan sedikitnya dua ratusan unit rumah warga yg digusur dan 343 kk yang terdiri dari 1.411 jiwa menjadi korban. Padahal sebagian masyarakat korban telah memiliki SHM (Sertifikat Hal Milik-Red) dan sebagiannya sedang dalam proses pengurusan,” ujarnya

Pemda dalam hal ini Bupati Banggai menurutnya diduga kuat telah menyalah gunakan kewenangannya dengan mengerahkan seluruh perangkat pemerintahannya untuk membantu proses penggusuran, termasuk kepada warga yang telah memiliki Sertifikat Hak Milik(salahobjek).

“Pada hal Bupati sebelumnya menjamin bahwa penggusuran akan dilakukan diatas lahan yang diperkarakan,” katanya.

Pihak Kepolisian dalam hal ini Polres Banggai dan Polda Sulteng menurutnya dalam rencana penggusuran tanggal 19 Maret 2018 telah jauh bertindak melampaui kewenangan PN Luwuk dalam proses penggusuran warga yang berujung terjadinya bentrok antara warga dan 1000 aparat gabungan Polri dan TNI bersama Satpol PP.

“Polda Sulteng dan Polres Banggai telah melakukan kriminalisasi terhadap 9 orang warga yang terlibat dalam aksi menghalau agar proses penggusuran tidak dilakukan. Kesembilan warga tersebut, 7 diantaranya pemilik lahan dan bangunan, 1 orang Mahasiswa dan 1 orang pengacara warga yg digusur,” jelasnya.

Pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Sulteng dan Polres Banggai dalam proses penggusuran tanggak 19 Maret 2018, telah bertindak represif dan intimidatif kepada warga dengan menduduki rumah-rumah warga yang masih tersisah dan melarang warga untuk kembali dan menempati tempat tinggal mereka.

“Lebih jauh, pasukan Kepolisian dari Polda Sulteng dan Polres Banggai, memblokade dan/atau mengurung warga didalam lokasi yang menjadi objek penggusuran serta melarang masyarakat untuk mencari dan atau mendapatkan bahan makanan,” katanya.

Latar Belakang Penggusuran

Komnas HAM Sulawesi Tengah mengatakan, atas nama eksekusi lanjutan, sesungguhnya yang terjadi adalah penggusuran sepihak yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri (PN) Luwuk.

Tuduhan tindakan penggusuran secara sepihak berbungkus eksekusi lanjutan ini bukan tanpa alasan. Komnas HAM-RI Perwakilan Sulawesi Tengah melihat telah banyak terjadi pelanggaran secara administrasi dan Hak Asasi Manusia SERIUS termasuk hak atas tanah dalam proses “eksekusi lanjutan” tersebut. Perlu diketahui, bahwa penggusuran paksa Tanjung Sari dipicu oleh perkara hukum perdata, alias perebutan hak kuasa atas tanah yang telah banyak menempuh prores persidangan. Proses ini juga telah sampai di tingkat Mahkamah Agung. Namun, dari semua keputusan itu, tidak dinyatakan secara tegas perintah eksekusi atas tanah perkara.

Sengketa ini berawal pada tahun 1977 di mana pada saat itu, pihak ahli waris dari keluarga SalimAlbakar menggugat pihak Keluarga Datu Adam atas klaim tanah seluas 38,984 M². Proses gugatan ini diproses di PN Luwuk dengan keluarnya putusan No. 22/PN/1977 tanggal 12 Oktober 1977 yang memutuskan perkara tersebut dimenangkan oleh pihak Keluarga Datu Adam. Setahun setelahnya, pihak ahliwaris dari keluarga Salim Albakar mengajukan banding kepengadilan Tinggi yang kala itu masih bertempat di Manado, atas putusan tersebut. Melalui putusan No. 113/PT/1978 tanggal 18 Oktober 1978 pihak Pengadilan Tinggi (PT) memutuskan bahwa perkara tetap dimenangkan oleh pihak keluarga Datu  Adam.

Tidak puas dengan putusan pengadilan Tinggi, pihak keluarga Salim Albakar melanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung padatahun 1981.  Dalam putusannya No. 2031/K/SIP/1980 tanggal 16 Desember 198I, MA menolak kasasi dari pihak keluarga Salim Albakar dan memenangkan pihak dari keluarga Datu Adam.

Pada saat itu, warga dari luar telah mulai melakukan garapan dan mendirikan pemukiman di atas lahan yang disengketakan kedua belah pihak. Awalnya mereka melakukan proses jual beli dan penyewaan dengan keluarga Datu Adam sebagai pihak yang memenangkan sengketa tanah tersebut hingga akhirnya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah tersebut.

Tahun 1996, pihak ahli waris Salim Albakar kembali melakukan gugatan di atas tanah yang dimenangkan oleh pihak Datu Adam. Gugatan ini berawal dari sengketa tanah pihak Hadin Lanusu dengan pihak Husen Taferokillah di atas tanah yang dimenangkan oleh Keluarga Datu Adam. Pada   saat itu pihak ahli waris Salim Albakar mencoba mengintervensi sengketa antara kedua pihak di atas. Dan melalui proses persidangan, pihak ahli waris Salim Albakar memenangkan intervensi gugatan tersebut melalui putusan MA No. 2351.K/Pdt/1997.

Namun pada saat tersebut tidak disebutkan berapa jumlah luasan yang dimenangkan pihak ahli waris Salim Albakar oleh MA.

Merespon putusan tersebut, pada tahun 2006 pihak ahli waris Salim Albakar mengajukan permohonan eksekusi di atas tanah sengketa yang mereka menangkan melalui putusan MA dan dikuatkan dengan Peninjauan Kembali (PK) . Namun pihak PN Luwuk MENOLAK PENGAJUAN TERSEBUT dengan alasan dan pertimbangan bahwa pokok sengketa tanah adalah 22 m x 26,50 m dan 11,60 m x 11,30 m. Sedangkan yang dimohonkan oleh ahli waris seluas ± 6 hektar.

Terhitung sejak tahun 2006 pihak ahli waris Salim Albakar telah melakukan tiga kali permohonan ke PN Luwuk dan PT Sulteng yakni padatahun 2006, 2008, dan 2010 NAMUN SEMUANYA DITOLAK oleh Ketua PN Kuwuk kala itu.

Anehnya, pada tahun 2016 pihak PN Luwuk mengabulkan permohonan pihak ahli waris yakni, permohonan penggusuran di atas lahan seluas ± 6 hektar. Namun proses eksekusi sempat tertunda dikarenakan pihak Pemda dan Polres Banggai belum menyetujui proses eksekusi dikarenakan objek yang dimohonkan untuk dieksekusi tidak sesuai dengan objek perkara yang dimenangkan.

Barulah pada tanggal 3-6 Mei 2017, PN Luwuk melakukan eksekusi di atas lahan seluas ± 9 hektar dengan dikawal oleh aparat Kepolisian, TNI, dan Satpol PP sehingga menggusur warga yang telah lama bermukim di sana, hingga hari ini Senin tgl 19 Maret 2018, EKSEKUSI LANJUTAN atas lahan yg menjadi obyek sengketa kembali dilakukan dgn mendapat pengawalan ketat dari 1000 aparat gabungan dari Polri dan TNI, proses mana pada akhirnya berujung bentrok antara Masyarakat yang bersikukuh mempertahankan haknya dengan aparat Kepolisian yang bukan lagi melakukan pengamanan namun bertindak represif kepada masyarakat yg tetap bertahan di lahan mereka yg tersisah dari proses eksekusi dan/atau penggusuran beberapa waktu yang lalu di tahun 2017. (Lia Somba)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru