Jumat, 26 April 2024

Nah..! Eva Sundari : Koffi Anan Simpulkan Genocida Atas Orang Rohingya

Eva Kusuma Sundari, Anggota DPR, dari PDI-Perjuangan (Ist)

JAKARTA- Ini satu fakta lagi yang perlu diungkap sehubungan dengan pengungsi Rohingya. Agar masyarakat Indonesia tahu persis duduk persoalan di Rakhine State, Myanmar. Eva Kusuma Sundari, Anggota DPR, dari PDI-Perjuangan menyampaikankepada Bergelora. com di Jakarta, Minggu (10/9).

“Pemerintah Myanmar sudah membentuk Komisi Rakhine, di bawah pimpinan Koffi Annan. Kerja (sejak-red) 2016, mewawancarai 300 orang lebih di Rakhine, Yangoon, dan beberapa negara Asean termasuk Indonesia,” Hal ini ditegaskannya untuk menjawan surat dari Duta Besar Indonesia, Ito Sumardi yang beberapa waktu lalu dimuat Bergelora.com dan beredar di berbagai media.

Ia menjelaskan bahwa kesimpulan dari Komisi Rakhine bentukan Pemerintahan Myanmar adalah Genocide atas orang-orang Rohingya.

“Temuannya adalah, ada kecenderungan genocide (ethnic cleansing) jika tidak ada tindakan segera. Laporan dikeluarkan tanggal 24 Agustus lalu,” ujarnya.

Menurutnya rekomendasi dari komisi yang langsung dipimpin mantan Sekjend PBB itu adalah pemberian status kewarganegaraan. Seperti yang diberitakan dalam link, http://www.dvb.no/news/excessive-force-wont-solve-rohingya-crisis-says-arakan-panel-chaired-annan/77043. Situs ini dikelola oleh The democratic Voice of Burma, sebuah media non-profit di Burma.

“Salah satu rekomnya adalah pemberian status kewarganegaraan demi mengatasi problem-problem struktural seperti kemiskinan akut, diskriminasi berabad, sehingga berdampak pada kasus berkepanjangan sehingga pengungsian ke negara-negara Asean,” jelasnya.

Namun rekomendasi itu menurut Eva tidak dijalankan, sehingga apa yang dikhawatirkan Koffi Annan mulai terwujud.

“Tampaknya pendapat Pak Ito tidak sesuai dengan perkembangan setelah meledak serangan militer dan kelompok garis keras Budha,” katanya.

Kepada Bergelora.com Eva Sundari mengirimkan surat dari aktivis Myanamar dibawah ini:

Situasi di Rhakhine saat ini di luar batas akal sehat manusia. Kekejaman militer Burma seperti ditujukan untuk menghabisi penduduk Rohingya dari Rakhine. Kekejaman ini tampaknya akan meluas ke seluruh Burma. Dalam situasi demikian, kita sangat berharap kerjasama dari negara-negara tetangga khususnya Indonesia dan Malaysia.

Kami ingin mendesak saudara-saudara kami di Indonesia untuk menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang memicu dan menciptakan ketakutan minoritas akibat tindakan kejahatan lebih lanjut dari militer Burma.

Sebaliknya, kami mohon bantuan untuk meyakinkan Pemerintah Indonesia untuk berupaya maksimal untuk menghentikan pembunuhan orang-orang kami dan pembakaran desa-desa Rohingya di Rakhine. Kita harus selamatkan nyawa-nyawa tidak berdosa sesegera dan sebanyak mungkin.

Kami berkeyakinan kuat bahwa muslim Indonesia dapat memberi contoh bagaimana muslim yang mayoritas bisa memperlakukan minoritas dengan baik. Sebagai seorang muslim di Burma dan sebagai minoritas yang tertindas, saya memohon saudara-saudara muslim di Indonesia untuk tidak mengganggu para penganut Budha di negara anda.

9 September 2017

Kyaw Win

Jaringan HAM Burma

(Burma Human Right Network)

Penjelasan Dubes Ito

Sebelumnya Dubes Indonesia Untuk Myanmar menjelaskan dalam suratnya bahwa beberapa analisis yang signifikan kenapa isu Rohingnya menjadi membesar karena terdapat permasalahan bahwa konflik ini ditangani oleh Militer yang akhirnya seperti tanpa kendali dan tidak sesuai dengan standar HAM dan SOP Penanganan Konflik yang jelas.

Lebih lanjut dalam konteks isu konflik Rohingya yang terjadi pada Bulan Agustus 2017 ini, pada dasarnya kejadiannya tidak berdiri sendiri. Runtutan peristiwa sejak akhir 2016 memberi warna hingga peristiwa terakhir.

Pasca konflik etnis 2012, Etnis Rohingnya hidup dalam kamp-kamp di beberapa wilayah di Negara Bagian Rakhine, mereka hidup dalam pengawasan aparatur wilayah, meraka memliki masalah kemiskinan dan terhambat pembangunannya karena status kewarganegaraanya yang tidak diakui.

Di tengah situasi tersebut muncul kelompok solidaritas seperti Rohingnya Solidarity Organization (RSO) yang kemudian saat ini betubah bentuk menjadi Arakan Rohingnya Salvation Army (ARSA) yang sipimpin oleh Atta Ulla atau Abu Amar yang memiliki ibu Rohingnya dan bapak Pakistan anggota Taliban. Kelompok-kelompok ini melakukan gerakan radikal dengan melakukan serangkaian serangan baik kepada aparatur keamanan maupun warga lainnya dan mulai bergulir secara simultan pada akhir 2016 lalu.

Pada akhir tahun 2016 mereka menyerang pos-pos polisi dan membunuh beberapa polisi, kemudian dibalas dengan serangan oleh aparat keamanan (polisi dan tentara). Namun apa daya tentara dan polisi itu ternyata kalah banyak dan terkepung dan terjadi kontak senjata dan menewaskan puluhan aparat. Pasca kejadian ini aparatur keamanan Myanmar menilai situasi sudah tidak kondusif, hingga mereka melakukan opreasi khusus dan berdampak pada jatuhnya korban warga Rohingya, karena mereka menyerang beberapa kampung yang dijadikan tameng oleh kelompok Radikal. Jumlah korban masyarakat sangat banyak dan terindikasi juga terjadi pelanggaran HAM oleh tentara dan polisi Myanmar pada saat operasi militer tersebut. Terjadi eksodus pengungsi ke Bangladesh utamanya

Peristiwa di awal Oktober 2016 tersebut mengekskalasi dan Pemerintah Myanmar mengambil sikap untuk membuat tim pencari fakta dan bahkan membentuk Komisi Penasehat yang dipimpin oleh Kofi Anan. DASSK seperti ingin netral tak ingin menyalahkan militer namun juga tidak mau kehilangan muka karena terjadi pelanggaran dalam pemerintahan demokrasi yang tengah dipimpinnya. PBB secara terpisah telah memberikan perhatian terhadap peristiwa ini dan telah membentuk tim pencari fakta. Namun hasil tim pencari fakta PBB secara tegas ditolak karena mereka melakukan investigasi di kamp pengungsi yang ada di Bangladesh, hingga akhirnya Tim itu tidak berikan visa untuk masuk Myanmar.

Penolakan hasil Tim PBB oleh pemerintah Myanmar atas saran dari National Security Advisor (NSA) tersebut diamini dan diikuti oleh sikap Panglima Militer Min Aung Hlaing dan juga oleh kelompok masyarakat lainnya, tidak terkecuali dari kelompok agama. Bahkan mereka mendukung upaya bahwa warga Rohingnya agar tetap tidak diberikan status kewarganegaraan Myanmar. Padahal salah satu saran dari Kofi Anan adalah untuk mengurangi dan meredam konflik mereka perlu diberi status kewarganegaraan. Hingga kini perdebatan solusi pemberian kewarganegaraan ini terus bergulir, solusi hukum, social dan keamanan masih terus menjadi bahasan di pemerintah Myanmar.

Bahkan dalam beberapa kesempatan pemerintah mensinyalir bahwa eskalasi konflik terjadi karena isu Rohingnya telah ditunggangi kelompok teroris, sebab ada fakta bahwa penyerangan kepada aparatur keamanan Myanmar dipimpin oleh ekstrimis yang terkatif di Afghanistan, dan telah terjadi pergeseran isu internasional di mana konflik etnis ini telah berkembang menjadi konflik agama. Aparatur Keamanan Myanmar mengidentifikasi ada 10 Organisasi yang berafiliasi dengan MUJAHIDIN dan ISIS jaringan Andaman Sea yang terkait dalam penyerangan pos-pos aparatur keamanan Myanmar. Bahkan ada fakta bahwa sesama muslim pun jadi sasaran pembunuhan.

Pasca kegagalan PBB mencari fakta dalam peristiwa Rohingnya di akhir tahun 2016, kemudian PBB menunjuk Ketua Tim Pencari Fakta yang baru, yakni telah dilakukan pembicraan intensif dengan Dewan HAM PBB untuk menujuk Marzuki Darusman. Belum saja upaya itu dilakukan meletus peristiwa baru.

Untuk membaca lengkap tulisan tulisan Ito Sumardi bisa mengakses :

http://bergelora.com/opini-wawancara/artikel/7130-konflik-rohingya-myanmar-catatan-dubes-ito-sumardi.html (Web Warouw)

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru