Jumat, 29 Maret 2024

Awaas..! Evaluasi 3 Tahun Koalisi JKW : Bertaruh Komitmen Di Tahun Politik

Presiden Joko Widodo sedang memeriksa pengerjaan infrastruktur di sebuah daerah (Ist)

JAKARTA- Usia pemerintahan Joko Widodo (JKW) dan Jusuf Kalla (JK) genap tiga (3) tahun. Konsolidasi dukungan partai politik (parpol) pemerintah terbilang terus mendapat ujian. Pada periode awal pemerintahan, dukungan hanya berasal dari PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hanura, dan Partai Nasdem. Koalisi ini awalnya hanya meraup 40.95 persen suara atau setara dengan 208 kursi parlemen (37.1 persen dari total jumlah kursi DPR). Dengan sebaran, PDI Perjuangan 109 kursi atau 19.4 persen. PKB dengan 47 kursi atau 8.4 persen. Partai Nasdem dengan 36 kursi atau 6.4 persen. Partai Hanura dengan 16 kursi dengan 2.9 persen.

Setelah pemerintahan berlangsung setahun, PPP, Partai Golkar, dan PAN bergabung dengan Koalisi Partai Pendukung Pemerintah (KPPP). Dengan masuknya tiga partai menjadi bagian KPPP – PPP dengan 39 kursi atau 7 persen, Partai Golkar 91 kursi atau 16.2 persen, dan PAN dengan 48 kursi 8.6 persen-, praktis kekuatan koalisi yang awalnya minoritas berubah menjadi mayoritas dengan porsi penguasaan 68.9 persen kursi DPR. Dalam situasi demikian roda pemerintahan teoretis berjalan efektif, karena lebih mudah dalam pengambilan setiap kebijakan.

“Kekompakan koalisi KPPP dapat diukur menggunakan Rice Index. Ini dapat dilihat dari lima kasus pengambilan kebijakan yang melibatkan Pemerintah dan DPR. Satu pembahasan ruu. Empat pembahasan perppu,” buka Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz, di Jakarta, Rabu (1/11).

Diterangkan August, Rice Index, bertujuan untuk mengukur kekompakan atau disiplin fraksi pemerintah di DPR. Dari pengukuran tingkat disiplin fraksi, terdapat 5 kategori penilaian, yaitu antara 100 sampai dengan 91 sangat tinggi, 90 sampai dengan 81 tinggi;. 80 sampai dengan 61 rendah; 60 sampai dengan 41 sangat rendah. Sedangkan di bawah nilai 40 dikategorikan tidak ada disiplin fraksi.

“Dari pengukuran Rice Index yang kami lakukan. Pada pembahasan Perppu No. 1 Tahun 2015 Tentang KPK, Perppu No. 1 Tahun 2016 Tentang Hukuman Kebiri dan Perppu No. 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Pajak, tingkat disiplin fraksi pemerintah sangat tinggi dengan nilai 100 (Rice Index).

Namun, pada kasus pengesahan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Ormas, tingkat disiplin fraksi koalisi, turun menjadi 73,33 persen dan masuk dalam kategori rendah.

“Menurunnya nilai Rice Index koalisi KPPP pada 2 kasus terakhir disebabkan beragam faktor. Seperti perbedaan kepentingan anggota koalisi dalam membaca produk regulasi usulan pemerintah. Atau bisa saja ‘ketiadaan’ atau ‘ketidakmampuan’ tim komunikator pemerintah dalam menerjemahkan regulasi kepada anggota koalisi,” jelasnya.

Pada pemungutan suara pembahasan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Ormas, PAN mengambil langkah politik berbeda dengan anggota koalisi KPPP lainnya. PAN menolak opsi yang ditawarkan dalam dua produk regulasi usulan pemerintah. Akibatnya, PAN mendapat kritik dari internal koalisi. Bahkan muncul desakan agar JKW-JK melakukan perombakan kabinet dengan mencopot wakil PAN di Kabinet Kerja.

Meski mengalami penurunan, tingkat disiplin fraksi koalisi pemerintah era JKW-JK dapat dikatakan lebih baik jika dibandingkan dengan era pemerintahan sebelumnya, meskipun tetap harus menjadi perhatian.

“Coba kita bandingkan tingkat disiplin fraksi DPR pada masa pemerintahan SBY-Boediono. Apakah Siaran Pers fraksi-fraksi partai pendukung pemerintah memiliki tingkat disiplin koalisi yang tinggi. Terutama pada isu krusial seperti kenaikan harga BBM,” katanya.

Pada saat pengambilan keputusan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), koalisi SBY-Boediono yang didukung oleh enam parpol yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PKB, PPP, dan PKS memiliki 423 atau setara dengan 75,54 persen kursi di DPR. Namun pada saat pengambilan keputusan, Partai Golkar dan PKS menyatakan tidak setuju dengan opsi kenaikan harga BBM.

Berdasarkan pengukuran Rice Index koalisi SBY-Boediono pada isu kenaikan BBM, menghasilkan nilai 22.93 persen. Dengan hasil pengukuran berdasarkan indeks tersebut, maka masuk kategori tidak ada disiplin koalisi dalam koalisi era SBY-Boediono.

Ujian Tahun Politik Joko Widodo 2018 dapat dikatakan sebagai tahun politik. Setidaknya ada perhelatan politik yang bakal menyedot energi besar parpol. Pertama, Pilkada Serentak 2018 di 171 daerah yang terdiri dari 17 pilgub, 39 pilwakot, dan 115 pilbub. Kedua, pembahasan Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Undang-undang Parpol. Dapat diprediksi, hasil dari kedua perhelatan politik di atas akan berdampak langsung dengan konstelasi politik dan peta koalisi menjelang Pilpres 2019.

Dari hasil kontestasi Pilkada Serentak 2018, akan diperoleh peta kekuatan masing-masing parpol. Partai mana saja yang menguasai wilayah dengan basis pemilih yang besar serta berapa jumlah daerah yang berhasil dimenangkan, akan menjadi modal berharga terlebih lagi pada momen Pemilu Serentak 2019.

“Hasil Pilkada 2018. Akan menjadi acuan dalam menghitung peta kekuatan masing-masing parpol,” tegasnya.

Sedangkan hasil pembahasan Undang-undang MD3 dan Undang-undang Parpol, menurut August, akan menentukan preferensi politik Joko Widodo dalam membangun koalisi pilpres mendatang. Apakah koalisi yang dia bangun saat ini masih efektif atau tidak. Peta politik saat pengambilan keputusan dua regulasi tersebut akan menjadi penentu.

“Apakah hasil Rice Index akan turun, stagnan, atau naik. Ini ujian terakhir bagi Joko Widodo atas infrastruktur politik yang telah ia bangun,” tandasnya. (Bach/Web Warouw)

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru