Sabtu, 20 April 2024

Tuntaskan Refomasi TNI dan Polri !

Presiden RI, Joko Widodo saat HUT Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke 74, Sabtu 5 Oktober 2019. (Ist)

Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke 74 tahun 2019 ini harus kembali menjadi semangat melanjutkan Reformasi TNI  menjadi tentara rakyat, tentara profesional yang moderen dan mengabdi pada kepentingan rakyat, pemerintah dan negara Republik Indonesia. Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi,  Wakil Ketua Tim Penyusun Konsep Reformasi Internal ABRI 1998 menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi

SEIRING dengan desakan publik untuk reformasi ditahun 1998, Panglima ABRI yang saat itu dijabat oleh Jenderal TNI Wiranto (kini, Menko Polhukam RI) dengan segera melakukan Reformasi Internal ABRI. Kita bisa membayangkan apa yang bakal terjadi, kalau saja Panglima ABRI saat itu mengambil sikap lain yang tidak sejalan dengan tuntutan rakyat. Bukankah darah anak bangsa akan kembali membasahi ibu pertiwi seperti yang terjadi paska G-30S yang berujung pada pergantian Presiden dari Bung Karno kepada pak Harto.

Reformasi Internal ABRI

Melalui reformasi internalnya, penyelewengan dan penyimpangan jatidiri serta nilai-nilai yang mengantar kelahiran TNI dan Polri, dikoreksi. Dwi Fungsi ABRI, diakhiri. TNI dan Polri secara kelembagaan dipisah. TNI kembali kejati dirinya sebagai tentara rakyat, tentara pejuang dan tentara nasional dengan “core bisnis” dibidang pertahanan. Sesuai tuntutan demokratisasi, TNI tidak lagi terlibat politik praktis dan peran TNI kembali sebagai alat negara, bukan lagi sebagai alat kekuasaan. Dan dalam pengelolaan pertahanan negara TNI menjunjung tinggi supremasi  sipil (Keberadaban) dengan kedudukan berada dibawah Dephan.

Sedang Polri kedudukannya dikembalikan sebagaimana niat para pendirinya yaitu sebagai kepolisian negara. Polri diposisikan sebagai bagian dari “Law and Justice System”, dengan tugas pokok dibidang Kamtibmas. Untuk sementara Polri berada dibawah Dephan dan pada saatnya langsung dibawah Depkum & Kehakiman atau di bawah Depdagri sesuai kebutuhan lapangan.

Sementara itu keamanan diposisikan sebagai output dari sistem sipil, karenanya dalam menangani persoalan keamanan yang timbul haruslah diselesaikan dengan cara-cara sipil atau supremasi sipil dimana hukum adalah panglima kehidupan dan oleh orang-orang sipil termasuk didalamnya oleh Polri.

Namun, dalam keadaan tertentu dimana cara-cara sipil dan oleh orang-orang sipil tidak mungkin lagi dan atau dipastikan tidak akan efektif, apalagi kalau secara terukur dapat dipastikan akan timbul korban biar 1 orang sekalipun, maka saat itu pula wajib beralih menjadi porsi TNI dan dilakukan dengan cara-cara militer atau supremasi militer dimana perintah adalah hukum tertinggi dalam kehidupan.

Perjalanan Reformasi TNI dan Polri

Sangat disayangkan, sejak awal era reformasi dalam membahas RUU Pertahanan Negara, TNI dan Polri, Pembuat UU begitu saja memisah istilah Pertahanan dan Kemanan, dimana fungsi pertahanan menjadi porsi TNI dan keamanan menjadi porsi Polri. Mereka seolah tidak paham bahwa istilah HANKAM adalah dua senyawa yang mustahil bisa dipisahkan begitu saja satu dengan lainnya.  Dan dalam prakteknya, ditengah jalan kedudukan Polri malah diubah menjadi dibawah Presiden.

Secara sah Polri kemudian mengemban tugas yang tidak didukung kompentensi diluar wilayah penegakan hukum dan Kamtibmas. Realitas tersebut, membuat bangsa ini dalam menangani persoalan keamanan melakukan hal-hal yang “konyol” seperti TNI diperbantukan kepada Polri untuk menghadapi hakikat ancaman yang nyata-nyata berupa kombatan. Sebaliknya untuk menumpas kelompok 2-3 orang teroris bersenjata, Polri menempuh cara layaknya dalam perang konvesional.

Lebih dari itu dilapangan terjadi ketegangan dan juga perseteruan antara anggota TNI dan Polri, karena model pelibatan tersebut, mau tidak mau mengkait jiwa korsa dan kebanggaan kesatuan, belum lagi karena kesenjangan fasilitas yang mereka terima dan konflik kepentingan akibat rebutan sumber penghasilan sampingan, diluar gaji resminya yang kecil. Yang pasti, secara perlahan dalam kaitan pembangunan demokrasi kini TNI sudah mulai kembali menjadi tumpuan harapan rakyat, apalagi setelah Pimpinan TNI beserta para Kas Angkatan yang saat ini dalam posisi kembali meneguhkan untuk tidak lagi terlibat  politik praktis.

Tapi tujuan reformasi internal ABRI untuk mewujudkan Polri sebagai bagian dari “Law and Justice” sistem telah kandas, karena realitanya kini Polri berubah menjadi lembaga yang bukan militer, tapi juga bukan juga sipil yang dalam menjalankan profesinya hanya tunduk kepada hukum. Dalam banyak lagi penampilan yang kini membuat Polri dimata rakyat lebih dianggap sebagai “penyakit” tak terkecuali dalam hal penegakan hukum dan bahkan extrimnya malah diposisikan sebagai musuh demokrasi.

Prioritas Menuntaskan Reformasi TNI Dan Polri

Berbeda dengan pendahulunya, kini sederet pendidikan tinggi dalam dan luar negeri telah dilalui perwira TNI dan Polri, terlebih elitnya. Bahkan tidak sedikit diantara mereka menyandang gelar S-2 dan S3. Begitu pula afeksi perwiranya terkhusus yang kini berpangkat kolonel/Kombes keatas, dalam menangani keamanan nasional dalam tatanan negara demokrasi jauh lebih matang  daripada perwira  TNI dan Polri  pendahulunya yang lebih menonjol pada pengalaman  perang dan kedaruratan.  

Dengan merujuk kesungguhan Pemerintah Jokowi  dalam menegakkan supremasi sipil dalam 5 tahun belakangan ini, maka pada 5 tahun ke depan dimasa pemerintahan Presiden Jokowi yang kedua, peluang untuk menuntaskan reformasi bagi TNI dan Polri, menjadi terbuka lebar. Dengan kata lain, sepanjang elit TNI dan Polri yang berkuasa saat ini mampu melepas “ego sectoral” masing-masing, sesungguhnya mereka bisa duduk bersama untuk merumuskan konsep tata kelola keamanan nasional dalam negara demokrasi, lengkap dengan mekanisme pelibatan TNI dan Polri, sebagai masukan bagi Pembuat Undang-Undang.

Khusus bagi elit Polri, tanpa harus menunggu banyak lagi kantor-kantor polisi dibakar massa, semestinya bersama elit lembaga pemerintahan sipil terkait lainnya juga segera melakukan hal yang serupa, utamanya untuk merumuskan konsep “repositioning” Polri dan rancang bangun sistem hukum dalam sistem sipil yang mendasarkan pada azas “chek and balance” bagi semua lembaga, tak terkecuali Polri sendiri yang memang sejak awal kemerdekaan belum pernah dirancang oleh para pendiri dan pendahulunya.

Dengan demikian ke depan, dalam membahas perubahan RUU yang terkait dengan fungsi dan atau pelibatan TNI & Polri, pembuat Undang-Undang tidak menghadapi kendala psikologis. Yang pasti TNI perlu menuntaskan reformasi 1998 dengan melanjutkan program restrukturisasi sesuai dengan tuntutan demokratisasi.

Program redislokasi pasukan TNI sebagaimana yang telah disampaikan Presiden Jokowi kepada publik seusai Rapat Kabinet pada 12 Januari 2017 juga perlu segera dilaksanakan. Karena, dislokasi pasukan  model KNIL peninggalan pemerintahan Hindia Belanda tidak layak lagi untuk diteruskan. Dengan model tukar guling sehingga tidak perlu menunggu kemampuan pemerintah dalam menyiapkan APBN, redislokasi sesungguhnya bisa segera dimulai dengan menyebar kesatuan yang tidak ada kaitannya dengan strategi pertahanan, seperti pusat kesenjataan dan kecabangan serta lembaga pendidikan TNI, secara merata diseluruh Provinsi. Dengan demikian, maka TNI secara langsung bisa membantu pemerintah dalam menumbuhkan sentra-sentra ekonomi baru di pedalaman dan perbatasan.

TNI secara sah sesungguhnya juga bisa membantu pemerintah dalam “memerangi” penyakit sosial, seperti dalam memberantas penyalah-gunaan Narkoba umpamanya.  Bukanlah TNI-AL semestinya bisa berperan aktif dalam pembrantasan Narkoba ditahap hulu yaitu penyelendupan Narkoba melalui laut, apalagi dengan diback-up TNI-AU. Sementara bagi TNI (AD) juga bisa membantu Polri dan BNN dalam memberantas perdagangan dan penggunaan Narkoba secara illegal. Bagi yang paham IT, apanya yang sulit untuk memainkan peran tersebut.

Begitu juga Polri, perlu segera melakukan restrukturisasi dengan mengalihkan keberadaan kesatuan yang membidangi fungsi non organik Polri, seperti urusan Lalu Lintas dan SIM/STNK kepada kementerian terkait, dalam hal ini Kemenhub. Disamping itu, Polri juga perlu segera memujudkan transparansi dengan mengintegrasikan proses penyidikan dengan semua pihak yang terkait melalui IT.

Dengan demikian, ke depan penampilan buruk anggota Polri yang bermotifkan materi baik yang dilakukan secara terselubung seperti kriminalisasi, jual beli pasal KUHP, backing bisnis illegal Narkoba, pelindung praktek mafia hukum dan “centeng” pemegang kapital bermasalah, maupun secara terang-terangan yang dengan mudahnya disaksikan publik yaitu mengutip uang damai pelanggar lalu lintas dijalanan, segera bisa diakhiri. Reformasi pendidikan dilingkungan Polri untuk mengakhiri cara-cara militeristik warisan lama juga menjadi “urgent”, agar kedepan tidak terjadi lagi ada rakyat tak berdosa mati tertembak dengan peluru tajam yang dibeli dengan uang rakyat.

Dirgahayu TNI dalam HUT nya ke 74, rakyat menunggu bhaktimu dalam menjaga NKRI dengan penampilan yang sesuai tututan jaman now dimana peran militer mulai bergeser sebagai “humanitarian forces”.

 

 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru