Jumat, 19 April 2024

Akrobat Hidup Para Penopang Dapur, Luput Dari Bansos!

Demonstrasi pekerja rumah tangga (PRT) menuntut UU Perlindungan PRT beberapa waktu lalu. (Ist)

Sebanyak 4 juta lebih kaum Sarinah yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga tidak pernah menerima semua Bantuan Sosial (BANSOS) dari Pemerintah RI ataupun daerah, sepanjang Pandemi Covid-19 diawal 2020 sampai hari ini. Ini negara apa,– yang membiarkan rakyatnya membanting tulang tanpa perlindungan Undang-Undang? Ini bangsa apa,–yang seluruh rakyatnya beragama dan mengakui Pancasila tapi tutup mata dan diskriminatif pada rakyatnya? Arum Romzanah dari Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Rumpun Tangerang Selatan menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com (Redaksi)

Oleh: Arum Romzanah

KETIADAAN payung hukum bagi pekerja rumah tangga (PRT) berupa Undang-undang  perlindungan pekerja rumah tangga (UU PPRT) selain berdampak pada rentannya eksploitasi dan segala bentuk kekerasan terhadap PRT di lingkungan kerja, juga berdampak pada diskriminasi dan tidak diakuinya PRT sebagai pekerja sebagaimana pekerja lainnya yang sama-sama memenuhi 3 unsur kerja (pekerjaan, upah, dan perintah).

Diskriminasi terhadap PRT tersebut berimbas pada kesengsaraan berlipat yang dialami para PRT di masa pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) seperti saat ini. Bagaimana tidak,– PRT bisa dibilang merupakan pihak yang paling merasakan dampak pandemi karena bekerja di dalam rumah tangga (ranah domestik) dan tidak bisa bekerja dari rumah (work from home). Sehingga PRT sangat rentan terpapar virus Corona dan juga di-PHK sepihak oleh pemberi kerja. Namun sampai saat ini PRT, tidak tersentuh berbagai BANSOS (bantuan sosial) dari pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun pemerintah desa.

Hal itu dikarenakan beberapa persyaratan untuk menjadi calon penerima bantuan itu tidak bisa dipenuhi oleh kebanyakan PRT. Seperti contoh,– BLT subsidi gaji yang salah satu syaratnya harus terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan di BPJS Ketenagakerjaan dengan status pekerja penerima upah (PU). Bansos ini tidak bisa diakses oleh PRT sebab PRT tidak diikutsertakan sebagai peserta Jamsostek. Ini dikarenakan menurut Kemnaker, PRT bukanlah pekerja sebagaimana buruh pabrik dan karyawan.

Walaupun PRT yang sudah berorganisasi dan sudah ada beberapa yang mempunyai Jamsos Ketenagakerjaan, namun tetap tidak bisa mendapatkan BLT subsidi gaji tersebut karena PRT dikategorikan sebagai peserta Jamsos BPU (bukan penerima upah). Lantaran pekerjaan PRT dianggap sebagai pekerjaan informal yang tidak menerima upah dari pemberi kerja,–yang penghasilannya berasalr dari kegiatan usaha ekonomi secara mandiri. Padahal faktanya PRT adalah pekerja penerima upah. Disamping itu semua syarat lainnya terpenuhi, seperti: WNI, bergaji dibawah 5 juta rupiah, dan memiliki rekening bank pribadi, sehingga seharusnya PRT berhak atas BLT subsidi gaji.

Diinformalkan Semua Pihak

Ya, sekali lagi PRT harus menelan ludah karena PRT diinformalkan oleh semua pihak, terutama pemerintah. Adanya Jaminan Sosial Ketenagakerjaan bagi PRT dan pekerja lain yang diinformalkan tersebut bukanlah dari hasil inisiatif pemerintah yang berwenang,– melainkan berkat kerja keras JALA PRT bersama jejaringnya yang terus-menerus melakukan advokasi ke Kemnaker sejak 2011. Yang akhirnya pada Juli 2015 Program Jamsos Ketenagakerjaan bagi pekerja bukan penerima upah (BPU) dioperasionalkan secara penuh oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Tak hanya BANSOS subsidi gaji saja yang luput bagi PRT. Beberapa BANSOS dari Kemensos juga sama. Bantuan sosial dari Kemensos antara lain,– program keluarga harapan (PKH), bantuan pangan non tunai (BPNT), bantuan sosial pangan atau sembako (BSP), bantuan sosial tunai (BST) yang disalurkan lewat POS, dan BST yang disalurkan lewat Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA). BANSOS dari Kemensos tersebut tidak bisa didapatkan oleh kebanyakan PRT karena rata-rata persyaratannya harus mempunyai KTP yang sesuai dengan domisilinya. Sedangkan PRT yang merantau kebanyakan ber-KTP daerah kampung asalnya.

Begitupun saat ada BANSOS di daerah asal PRT, tidak bisa didapatkan juga dengan alasan PRT tidak tinggal di kampung melainkan di tanah rantau. Dan juga saat mendapatkan BANSOS tersebut harus diambil dan ditandatangani sendiri alias tidak bisa diwakilkan.

BANSOS dari Kemendes PDTT (Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) berupa BLT DD (bantuan langsung tunai dana desa) dan bantuan dari Kemenkop UKM berupa BPUM (Banpres Produktif untuk Usaha Mikro) untuk pelaku UMKM juga tidak bisa diakses karena persyaratan hampir sama dengan bansos-bansos lainnya. Jadi jelas PRT yang bekerja live-in (menginap di rumah pemberi kerjanya) dan yang bekerja live out (pulang pergi) di luar daerah asalnya dan berdomisili di tanah rantau tidak bisa mengakses BANSOS apapun dari pemerintah.

Padahal penyaluran bantuan sosial dari pemerintah di masa pandemi itu bertujuan untuk “meringankan beban masyarakat dan dapat menyentuh semua yang terdampak pandemi, serta tercapai tujuan pemerintah agar perekonomian menjadi stabil dan pertumbuhan ekonomi tidak minus” Demikian mengutip tulisan di salah satu laman website Kemnaker RI.

Jadi bisa dikatakan program-program pemerintah dalam hal penyaluran BANSOS belum tepat sasaran dan belum menghasilkan perubahan yang signifikan. Sehingga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian ulang, terutama dalam hal peraturan persyaratan bagi calon penerima BANSOS agar bisa diakses oleh semua warga miskin atau kelompok yang termarginalkan seperti PRT.

Sudah Kewalahan

Di saat pandemi seperti sekarang, semua orang tak terkecuali PRT dihimbau untuk mematuhi protokol kesehatan, hidup bersih, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi, serta vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh, juga sering mengecek kesehatan ke layanan kesehatan. Lah pertanyaannya,– bagaimana PRT bisa menerapkannya jika untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari secara sederhana saja sudah kewalahan?

Belum lagi untuk membayar sewa rumah di tanah rantau dan saat ada kebutuhan yang tak terduga, misalkan ada anggota keluarga yang sakit dan atau saat harus melakukan rapid test dan swab tes polymerase chain reaction(PCR) yang biayanya harus dikeluarkan dari uang pribadi PRT. Menurut pengakuan, banyak PRT tidak mendapatkan PBI (program bantuan iuran) dari JKN (jaminan kesehatan)  BPJS. Bagi PRT, mengeluarkan uang untuk pembiayaan itu semua ditambah harus membayar iuran bulanan JKN BPJS secara mandiri di tengah penghasilan yang minim dari upahnya sebagai PRT itu sangat memberatkan. Apalagi bagi beberapa kawan PRT yang ter-PHK sepihak atau gajinya dikurangi dari gaji sebelum pandemi oleh pemberi kerjanya.

‘Sudah jatuh tertimpa tangga’ dan ‘Bagai makan buah simalakama’,– itu dua peribahasa yang tepat ditujukan untuk PRT saat ini. Yang maknanya, sudah tidak diberikan payung hukum, tidak bisa pula mengakses beberapa layanan publik dan BANSOS dari pemerintah.

PRT juga dituntut harus bisa tetap kuat dalam berjuang melawan Covid-19 dan bangkit dari keterpurukan dampak pandemi dengan mandiri tanpa adanya kepedulian dari pemerintah, serta tetap harus menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai warga negara Indonesia dengan baik.

Bagi kawan-kawan PRT yang sudah berorganisasi/berserikat masih lebih beruntung dari PRT yang belum berorganisasi. Pasalnya PRT yang sudah berorganisasi sering menerima bantuan solidaritas (BANSOL) baik dari pribadi maupun dari Civil Society Organization (CSO) atau Non Government Organization (NGO) yang berjejaring dengan JALA PRT dan lembaga pendamping serikat PRT. BANSOL tersebut kadang berupa uang, sembako, kadang juga berupa bahan-bahan kebutuhan kesehatan perempuan dan anak. Seberapapun besaran BANSOL tersebut sangat bermanfaat bagi PRT untuk mengurangi beban hidup di masa sulit seperti saat ini, terutama dalam segi ekonomi.

Negara Anti Pancasila

PRT adalah pekerja dan sekaligus warga negara yang berhak atas perlindungan dari negara dan segala akses layanan publik yang disediakan oleh negara. Hal itu sesuai dengan salah satu sila dalam Pancasila sebagai Dasar Negara, yaitu Sila ke-lima yang berbunyi,– “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Di Undang-undang Dasar 1945 juga tertuang aturan tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2) dan tentang hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum (pasal 28D ayat 1).

Indonesia juga merupakan salah satu negara dari 193 negara anggota PBB yang menyetujui agenda pembangunan global untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi berdasarkan HAM dan kesetaraan, yang dikenal dengan Suistainable Development Goals (SDGs) atau di Indonesia dikenal dengan istilah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).

SDGs adalah kita, hak asasi kita, tantangan kita, dan kewajiban asasi kita, itulah semboyannya. SDGs berprinsip Universal, Integrasi, dan Inklusif untuk meyakinkan bahwa tidak ada satupun yang tertinggal (NO ONE LEFT BEHIND). Sehingga Indonesia berkewajiban penuh dalam menjalankan prinsip dan  mewujudkan tujuan-tujuan dari SDGs sebelum 2030.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa adanya Undang-Undang Perlindungan PRT, diratifikasinya Konvensi ILO 189, penerapan Pancasila sila ke-lima dan UUD 1945 (terutama pasal 27 ayat 2 dan pasal 28D ayat 1), serta pelaksanaan prinsip dan tujuan-tujuan SDGs itu sangat penting bagi kehidupan seluruh warga negara Indonesia, termasuk pekerja rumah tangga.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru