Oleh: FX.Arief Poyuono, SE*
Sering terjadinya delay pesawat Lion Air dengan harga tiket murah yang sangat merugikan pengguna jasa penerbangan dan menganggu ketertiban umum di semua bandara di Indonesia, hingga membuat direksi PT Angkasa Pura dua melakukan kebodohan dengan menalangi pengembalian uang ticket (refund ticket) Lion air baru baru ini membawa tanda tanya besar terkait keuangan perusahaan Lion Air.
Dari banyak pelajaran bisnis airline bukanlah bisnis yang mudah untuk mencapai profit, sebab airlines bisnis itu adalah High Risk and Low Profit. Dalam sejarah dunia penerbangan komersil di Indonesia, beberapa maskapai penerbangan nasional terpaksa berhenti terbang dan tidak beroperasi karena berbagai masalah. Umumnya karena terbelit masalah utang.
ini terbukti dengan banyak airlines domestic seperti Bouraq Ailines, Sempati air, Batavia Air, Jatayu air, Bali Air, Adam Air, AW Air, Mandala Airlines, Star Air dan juga airlines kawakan milik Negara seperti Merpati Nusantara Air tak luput dari kebangkrutan. Ini bisnis tidak gampang. Satu kesalahan akan membuat banyak biaya.
Sedangkan perusahaan yang masih bertahan, sebagian membukukan rugi. Sepanjang kuartal I 2014, PT Garuda Indonesia Tbk melaporkan rugi bersih sebesar US$ 164 juta. Indonesia AirAsia merugi Rp 390,4 miliar, berbanding terbalik dengan keuntungan Rp 42 miliar yang didapat pada periode yang sama tahun 2013.
Nah, apakah Lion Air tidak bernasib sama dengan pesaingnya, tentu ini sudah terlihat tanda tandanya dengan seringkalinya delay yang terjadi dalam penerbangan Lion Air.
Pada Maret 2013, Bank Exim Amerika Serikat menyetujui komitmen akhir dari $ 1,1milyar dollar jaminan pinjaman untuk membiayai ekspor dari armada pesawat Boeing ke Lion Air. Apple Bank Saving (New York) menyediakan pembiayaan, dengan kemungkinan tambahan dana yang disediakan oleh investor pasar modal melalui Bank-guaranteed bond dari Bank Exim Amerika.
Tentu tahun 2015 Lion Air menurut sistim pinjaman kredit eksport pesawat dari bank yang berlaku di dunia yang berlaku di Bank EXIM Amerika atau pun ECA ( Europe Credit Agency ) masa grace periode pinjaman kredit pemebelian pesawat Lion air sudah habis dan saatnya untuk membayar angsuran kredit dan tahun 2013 hingga 2014 dunia penerbangan Indonesia memasuki masa paceklik dengan keadaan ekonomi dunia yang bergejolak dan tingginya harga minyak dunia hingga mencapai 100 US dollar lebih .
Karena itu Pemerintah Jokowi dan Bank Indonesia tidak boleh tinggal diam dengan pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh Lion air. Sebab sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/ 22 /Pbi/2000 Tentang Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri, wajib menyampaikan laporan setiap Badan Usaha Bukan Bank dan perorangan yang mempunyai Utang Luar Negeri kepada Bank Indonesia secara lengkap, benar, dan tepat waktu secara berkala sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Utang Luar Negeri
Hal ini penting agar untuk pengendalian moneter yang bisa berimbas pada nilai tukar rupiah terhadap dollar dan rating Negara pengutang bagi Indonesia serta stabilitas moneter untuk mengelola cadangan devisa dan kebijakan moneter yang akan diambil oleh BI dan pemerintah
Karena itu Lion air harus diaudit laporan keuangannya jangan sampai akibat utang luar negeri Lion air default tidak bisa membayar membuat pemerintah harus menanggung atau membail out hutang Lion Air.
Sebab ada keanehan dengan pembelian pesawat Lion Air yang sudah 100 unit yang sudah datang dari 231 unit Boeing yang sudah memberikan 100 ribu lapangan kerja bagi orang Amerika, tentu saja bukan hanya fasilitas kredit eksport yang didapat oleh Lion air. Tapi untuk mengoperasikan Lion Air juga membutuhkan working capitalyang sangat besar jumlahnya dan menjual tiket dengan harga murah dibandingakn seluruh airlines yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah Indonesia harus mengaudit jangan sampai Lion air bangkrut dan membuat masalah bagi pemerintah. Sebab utang Luar negeri swasta juga bisa menjadi tanggung jawab pemerintah
Dengan banyaknya perusahaan penerbangan domestic dan JV dengan Malaysia dibawah bendera Lion Group seperti Malindo Air, Batik air, Wings Air juga perlu di curigai sebagai upaya Lion Air untuk mengakali pembayaran pajak dengan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar. Misalnya pembelian pesawat oleh Batik air dan Wing Air, Malindo Air dari Lion air pemegang hak 231 pesawat jenis Boeing seri 737-900 ER dan tariff ticket dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down). Tujuannya, untuk mengakali jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah.
Kedua, menggelembungkan profit untuk memoles (window-dressing) laporan keuangan.. Karena itu Pajak Lion Air dan anak perusahaannya harus diaudit dikhawatirkan akan merugikan Negara karena praktek transfer pricing.
Keanehan lain adalah saat pemerintah Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan izin pembelian 231 Boeing 737-900 ER dan 234 Airbus A320 tanpa memeperhitungkan kemampuan Lion Air. Dari sisi ketersedian semberdaya manusia Lion Air seperti pilot dan flight attendantnya yang mempunyai jam kerja terbatas oleh peraturan keselamatan penerbangan. Pasti ini ulah mafia di departemen perhubungan. Sebab dari informasi yang ada saat ini 10 pesawat Lion air yang tidak bisa diutilisasi karena kekurangan pilot dan rute penerbangannya, jadi alasan delaypesawat Lion saat hari raya imlek karena pesawat rusak tidak bisa dibenarkan.
* Penulis adalah Ketua Umum, Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, mantan pegawai Merpati Nusantara Airlines