Jumat, 19 April 2024

Anakku Tidak Naik Kelas!

Oleh: Ernawati

Bagaimana reaksi orangtua ketika mengetahui anaknya tidak naik kelas atau tidak lulus? Atau naik kelas dan lulus tapi dengan nilai yang pas-pasan? Sedih, marah kecewa, menyalahkan anak, menghitung-hitung berapa banyak tenaga dan uang yang sudah keluar untuk biaya sekolahnya selama setahun atau intropeksi diri? Pasti sulit untuk menerima begitu saja dan melakukan intropeksi.

 

Tapi mari kita telaah apa itu yang disebut naik, tidak naik kelas, lulus, tidak lulus sekolah, nilai dan rangking. Bukan tentang faktor apa yang menyebabkan anak gagal atau berhasil. Tunggu dulu. Itu terlalu dini, menghitung kegagalan dari sekedar minimnya nilai di ijasah lalu berkesimpulan bahwa masa depannya suram. Itu nanti. Masa depan masih panjang.

Tapi coba telaah dari akarnya pada sistem pendidikan. Bukan berarti sedang mencari pembenaran. Tapi pengusaha yang paling berhasil pun pernah mengalami kegagalan hingga berkali-kali. Jadi kenapa tidak, anak-anak pun bisa mengalami kegagalan bahkan lebih bagus karena kegagalan berarti kita masih memiliki tugas untuk memperbaiki dan bangun dari kegagalan.

Di tahun ajaran yang baru saja kita tinggalkan ini, siswa-siswa Sekolah Dasar baru saja berhasil menghafalkan susunan pemerintahan pusat, UUD 1945 sebelum dan sesudah Amandemen,  dan sejumlah nama menteri yang baru. Kini sudah ada isu mengenai reshuffle kabinet. Berarti harus menghafal lagi susunan kabinet setelah reshuffle dan mungkin perlu juga ada penjelasan mengapa Presiden melakukan reshuffle dan bahwa reshuffle merupakan hak Presiden seperti yang dipelajari di Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Yang tidak diajarkan adalah politik bernaung di atas undang-undang, hak dan kewajiban dan bahwa politik adalah roh bagi kehidupan yang dinamis di Indonesia.

Jika dalam pergantian menteri tersebut, menteri pendidikan juga termasuk didalamnya, bolehkah berharap akan ada perubahan besar dalam sistem pendidikan di Indonesia? Berharap bahwa pergantian menteri bukan sekedar pergantian kurikulum dan dilanjutkan dengan pergantian buku materi ajar yang tentunya akan diikuti dengan lelang tender bahan ajar baru yang nilainya sangat fantastis dan kemudian diikuti dengan panasnya sidang DPR untuk membahas APBN. Tentu saja bukan itu perubahan yang diharapkan. Harapan yang paling sederhana adalah sistem pendidikan di Indonesia mampu me-manusiakan manusia

Kurikulum

Tahun berganti, orde berganti, presiden berganti dan jaman terus semakin maju. Kehidupan berjalan terus, kemajuan tehnologi, berbagai inovasi dan berhembusnya angin globalisasi mewarnai abad ini. Kurikulum digodok, diasah, diuji dan terjadi beberapakali perubahan. Bahkan beberapa mata pelajaran juga berganti nama. Materi pelajaran semakin diperluas, bahkan dalam PPKN Sekolah Dasar, murid-murid sudah belajar mengenai globalisasi.

Materi pelajaran IPA juga bertambah dengan memasukkan bahasan tentang energi terbarukan. Siswa kelas menengah diberi wawasan tentang kesetaraan gender, anti-bullying, HAM (Hak Asazi Manusia-red) hingga anti korupsi. Apakah ada yang salah dengan kurikulum yang baru dan lama? Tentu saja penilaiannya tidak dapat sesederhana itu karena setiap materi dalam kurikulum tentu telah melewati proses uji materi. Penyusunan kurikulum juga melalui serangkaian pembahasan, digodok secara mendalam dan di-uji cobakan terlebih dahulu. Pengesahan kurikulum serta penerapannya juga dilakukan setelah terlebih dahulu melewati proses evaluasi secara mendalam. Sehingga kelayakan sebuah kurikulum tidak serta merta di vonis salah atau benar. Namun apakah muatan materi dalam kurikulum tersebut merupakan materi yang tepat jika mengacu pada pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia? Apa sebenarnya yang menjadi dasar bagi pendidikan yang memanusiakan manusia? Bagaimana sistematikanya serta penerapannya di sekolah? Apakah kita belum menjadi manusia?

Tidak ada satu pun bukti meragukan bahwa kita adalah manusia. Bukti jasmaniah kita menunjukkan identitas sebagai manusia dengan akal pikiran dan perasaan. Tapi adakah kita berpikiran atau berperilaku sebagai manusia yang memiliki budi, akal dan pikiran serta perasaan? Bagaimana kualitas manusia di abad ini dari hasil pendidikan yang didapat, terutama di Indonesia?

Entry point-nya dapat dimulai dengan keluar dari standar pendidikan yang selama ini sudah kita terapkan di sekolah-sekolah dan menentukan landasan yang tepat dalam metode pendidikan kita. Jika mengacu pada Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila tentunya kita memiliki tujuan untuk mencerdaskan bangsa, mensejahterakan kehidupan rakyat dan menjadi manusia yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pijakan awal dari pendidikan dimulai ketika anak masih sangat belia dan berada dalam lingkungan keluarga. Sebelum mengenal lingkungan sosial maupun lingkungan keluarga. Adalah penting untuk memberi pengetahuan pada anak mengenai keberadaannya di dunia tanpa dibebani dengan harapan dan cita-cita yang berasal dari orangtua. Mengembangkan kemampuan anak tanpa dibebani impian akan prestasi dan nilai kecerdasan yang dibentuk oleh lingkungan, persaingan dan dunia materialistis. Saat anak mulai mengenal dunia kecilnya, belajar mengenali orang-orang terdekat, sentuhan dan kasih sayang. Si anak tahu bahwa ia berada dalam lingkungan yang aman dan nyaman.

Pijakan selanjutnya saat usia semakin bertambah anak mulai mengenal rasa, bau, warna dan udara. Mengenal lingkungan di luar rumah, meraba setiap sudut dan permukaan dengan tangan dan kakinya. Hingga lambat laun anak mulai memperlebar dunia kecilnya. Sedikit demi sedikit dunia kecilnya diperlebar hingga anak mulai menikmati permainan dan pergaulan dengan anak lain se-usianya.

Pengenalan dengan dunia sekolah sebagai tahap awal pendidikan formal dilakukan ssecara perlahan dengan tujuan untuk memperlebar dunia kecilnya, menanamkan pengertian akan pertumbuhan dan lingkungan sosial di sekolah. Kesadaran dan keinginan untuk berinteraksi dengan teman sebaya dan guru diharapkan tumbuh dari diri si anak tanpa paksaan sehingga anak measa nyaman dengan pngalaman barunya.

Untuk selanjutnya anak mulai masuk dalam materi yang disiapkan untuk anak agar mampu belajar bertahan hidup di lingkungan sosial masyarakat kelak saat sudah dewasa. Anak belajar tentang kemandirian, pengetahuan alam, sosial dan berhitung. Materi sebaiknya diajarkan dengan cara yang membuat anak nyaman dan membangkitkan rasa ingin tahunya, misalnya dengan metode riset. Memang bukan riset seperti tugas kuliah melainkan riset sederhana yang menerapkan tahap-tahap pengamatan, penulisan data, analisa hingga kesimpulan untuk kemudian masing-masing anak mempresentasikan di depan kelas.

Metode yang sama dapat diterapkan pada semua mata pelajaran, bahkan juga olah tubuh dan bahasa. Selain itu murid juga dapat mempraktekkan pelajarannya melalui permainan. Permainan anak-anak seperti pasaran atau monopoli membuat anak belajar tentang ekonomi dan mekanisme pasar. Biasanya pasaran hanya dilakukan oleh anak perempuan tapi ketika hal ini dimainkan oleh seluruh murid dalam satu sekolah akan terasa lebih menarik terlebih jika para guru juga terlibat. Untuk memperkenalkan anak pada nilai gizi dan kreativitas, pasar dapat diisi dengan aneka makanan sehat buatan anak sendiri atau hasil kreativitas anak.

Nilai dan Rapot

Dari pelaksanaan tahap demi tahap belajar dan bermain, dapat dilihat perkembangan anak dari mulai pengenalan akan diri, interaksi dengan lingkungan, perkembangan bahasa, cara bersikap, penyerapan anak pada sistem masyarakat, kreativitas, usaha anak untuk memperoleh pengetahuan hingga kemampuan berhitung. Semua hal ini dapat menjadi acuan untuk melihat seberapa besar kemampuan dan perkembangan anak dari awal tahun ajaran hingga berakhir. Evaluasi dari perkembangan ini yang kemudian dilaporkan dalam bentuk rapot oleh para guru. Dari rapot ini para guru juga dapat meng-evaluasi sejauh mana tingkat keberhasilan guru dalam memberikan materi ajaran pada anak.

 

Rapot tidak melulu berisi angka 1 – 10 atau 10 – 100 melainkan pernyataan guru pada perkembangan tiap-tiap anak yang kemudian di-diskusikan dengan orangtua pada saat pembagian rapot. Dengan demikian penilaian atas kemajuan perkembangan anak bukan semata-mata rangking di kelas karena penyerapan dan perkembangan tiap anak berbeda. Oleh karena itu frasa tidak naik kelas bukan hal yang merisaukan lagi. Bagaimana masa depan anak tidak tergantung dari kemampuan akademik semata, melainkan juga pembawaan personal, interaksi dengan lingkungan sosial, lingkup pergaulan dan kemampuan untuk beradaptasi. Tentu saja anak diharapkan akan menjadi pribadi yang jujur dan bernai serta pantang menyerah.

Pada awalnya pasti sulit menerima sistem pendidikan seperti ini karena kita terbiasa dengan metode belajar di kelas satu arah dengan pengajaran dari guru dan panduan buku paket, PR, ulangan harian dan ujian semester. Ketika anak dirasa kurang menyerap pelajaran atau sering dianggap lamban sehingga nilai ulangan kurang maka anak akan dicap sebagai anak yang ketinggalan. Untuk mengejar ketertinggalan si anak maka orangtua berlomba-lomba untuk memasukkan anak dalam lembaga bimbingan belajar di luar kelas. Bahkan tidak cukup sampai disitu, anak-anak dibekali dengan buku-buku soal dari berbagai penerbit. Betapa beratnya beban anak untuk mencapai masa depan dengan gelar sarjana. Semoga kelak sistem pendidikan sungguh-sungguh mengalami revolusi yang ditujukan untuk perbaikan demi kebaikan dan kemajuan anak bangsa. Bukan demi kepentingan bisnis lembaga pendidikan, sekolah dan penerbitan buku  

Ke depannya, diharapkan pemerintah dapat lebih banyak mendirikan lembaga pendidikan yang berbasis minat dan bakat yang dikelola secara profesional dan legitimate. Bukan sekedar lembaga kursus atau bimbingan semata tetapi diarahkan dibawah dinas pendidikan. Karena setiap anak memiliki minat dan bakat yang berbeda dan tidak semua anak menyukai sekolah reguler dengan aturan seragam dan kurikulum sekolah.

Terlebih dengan banyaknya lembaga pendidikan non-pemerintah saat ini, lembaga pendidikan reguler akan menghadapi persaingan yang berat terutama karena sekolah swasta memiliki metode pengajaran yang berbeda dan fasilitas yang memadai. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk melakukan perubahan secara keseluruhan sehingga akan didapatkan generasi baru yang berkualitas bukan hanya diatas kertas tetapi sungguh-sungguh tertanam dalam jiwanya.

 

*Penulis adalah aktivis perempuan, ibu rumah tangga, tinggal di Yogyakarta

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru