JAKARTA- Sore itu, di hari Sabtu, puluhan anak-anak terlihat berlari-lari menggiring bola. Sesekali terdengar suara teriakan sang pelatih agar mereka serius dan berkonsentrasi. Kadang teriakan itu dalam Bahasa Indonesia, tak jarang juga dalam Bahasa Inggris.
Anak-anak yang berlatih masih belia. Ada laki-laki dan ada beberapa perempuan. Umur mereka antara 4 sampai dengan 13 tahun. Pelatihnya lebih dari 5 orang, semuanya berasal dari negara-negara Afrika. Semuanya pernah mengenyam kompetisi sepak bola profesional di Indonesia.
“Kami ingin menyumbangkan tenaga kami demi kemajuan persepak bolaan di Indonesia,” ujar Junior Coker.
Junior adalah pencetus sekolah sepak bola anak-anak ini. Ia warga negara Sierre Leone, Afrika Barat. Tidak hanya bermain di Indonesia, dia juga sudah malang melintang di kompetisi beberapa negara. Sudah datang ke Indonesia sejak tahun 2009.
“Saya sedih melihat banyak anak-anak di Indonesia tidak mempunyai kegiatan. Mereka miskin. Kalau tidak ada kegiatan lambat laun mereka akan terjerat dalam kehidupan narkoba,” ungkap Junior.
Melihat kondisi ini, Junior mengajukan usul kepada Pendeta Alex J Pollack, untuk mendirikan sekolah sepak bola untuk anak miskin.
Alex J Pollack adalah Pendeta Gereja I-Hope International Church Ia sudah tinggal di Indonesia selama 14 tahun. Ide junior disetujui. Gereja dan ia secara pribadi akan membantu donasi, agar segera berdiri sekolah sepakbola bagi anak-anak miskin.
Sekolah sepak bola untuk anak itu akhirnya berdiri pada tanggal 20 November 2010. Mereka menamakan sekolah itu PFA (Plus Football Academic).Tempat latihan mengambil di lapangan Banteng, di kawasan Senen. Jadwal latihan setiap hari Sabtu dan Senin di sore hari.
“Kami hanya menarik iuran Rp 10 ribu per minggu. Para pelatihnya tidak dibayar. Ini sumbangsih kami karena kami juga sudah diperkenankan tinggal di Indonesia,” ujar Junior yang pernah bermain untuk klub Persika Pasuruan pada tahun 2007.
Go International
Awalnya dia sendirian melatih tapi lama kelamaan banyak temannya sesama pemain sepak bola profesional turut bergabung. Sama dengan Junior, pelatih lain juga tidak dibayar.
Adam Cherif dari Ivory Coast (Pantai Gading) seorang muslim, sudah bergabung sebagai pelatih PFA selama 6 bulan.
“Mimpi saya mengajar anak-anak Indonesia agar mereka mampu bermain sepak bola dengan baik,” ujar anak muda yang masih aktif sebagai pemain sepak bola profesional ini.
Safia Kamanda berusia 32 tahun dari Siere Leone Afrika Barat. Sudah di Indonesia 4 tahun. Fasih berbahasa Indonesia. Menjadi pelatih PFA sudah beberapa bulan. Melatih bola di PFA untuk membantu Junior sebelum aktif lagi di klub. Harapannya terhadap anak-anak di PFA sukses sebagai pemain bola dunia. Bukan hanya menjadi pemain Indonesia tapi bisa go international.
Tejan, Capay Jhon dan Mohamed Sama juga berasal afrika. Mereka juga melatih anak-anak PFA dengan suka rela di sela-sela kesibukan mereka sebagai pemain bola.
Sedangkan Junior sebagai pelatih kepala sudah tidak aktif sebagai pemain profesional. Ia fokus menjadi pelatih. Junior sendiri mempunyai klub bola untuk anak-anak di daerah Jakarta Barat.
“Kalau sekolah sepak bola yang satunya memang berbayar. Untuk bergabung harus mengeluarkan iuran yang besar. Itu memang komersial dan yang bergabung anak-anak orang kaya,” ujar pemain yang pernah bermain di kompetisi profesional Singapura ini.
Hal yang unik dari sekolah sepak bola ini adalah peran orang tua dari anak didik. Mereka juga terlibat dalam mengelola aktivitas PFA. Tugas-tugas manajemen PFA seperti mengelola keuangan, peralatan dan berhubungan dengan PSSI dijalankan oleh mereka. Diketuai oleh Papa Ridho. Papa Ridho adalah nama panggilan rang tua dari Ridho, yang menjadi anak didik di sekolah sepak bola ini.
Seperti iuran sepuluh ribu per minggu ini dikelola Bendahara. Bendahara dijabat Mama Kio. Anak Mama Kio ada dua, perempuan dan laki-laki dan dua-duanya ikut berlatih di sekolah ini.
“Kami sekarang sudah mempunyai uang kas lumayan banyak. Kami mau mendaftarkan PFA ke Pengurus Cabang PSSI. Agar mendapat legalitas dan bisa terlibat dalam kompetisi,” ujar Papa Ridho
Melatih 400 Anak
Walau PFA sudah menghasilkan 400-an orang, tetapi belum terlibat dalam kompetisi yang periodik.
“Anak didik yang berprestasi kadang bergabung dengan klub lain tanpa ijin dan pemberitahuan kepada pelatih maupun pengurus PFA,” ujar Mama Krisna yang anaknya ikut berlatih walau baru berumur empat tahun.
Seperti sore Sabtu itu, sementara anak-anak mereka berlatih, para orangtua berkumpul di pinggir lapangan. Sesekali mereka berbicara serius, dan tak jarang mereka juga berteriak-teriak memberi semangat buah hatinya untuk berlatih.
Para orangtua ini berharap sekolah ini semakin hari semakin maju. Mereka berharap banyak anak-anak Indonesia mau bergabung dengan PFA.
“Silahkan datang ke lapangan Banteng saat kami latihan hari sabtu jam 13.30 WIB dan hari senin jam 15.00 WIB. Pendaftaran mudah dan bisa mencoba ikut latihan dulu,” ujar mama Krisna.
Ketika hari mulai gelap, latihan usai. Sungguh beruntung anak-anak ini didukung orang tua mereka untuk berlatih. Dari peluh anak-anak ini tergambar keinginan mereka di kemudian hari untuk menjadi pemain sepak bola yang handal. (Petrus Haryanto)