Jumat, 29 Maret 2024

Muhasabah Kebangsaan: Mencoreng Muka Sendiri

Bhante Mulyanto Nurhalim sedang membacakan pernyataan dibawah tekanan persekusi beberapa waktu lalu (Ist)

Menjelang Pilkada Serentak 2018, kembali agama dijadikan komoditi untuk kepentingan persaingan antar paslon. Korban sudah berjatuhan. Bergelora.com memuat tulisan budayawan Gus Durian, Al-Zastrouw yang menyoroti persekusi pada pemeluk agama belakangan ini. (Redaksi)

Oleh: Al-Zastrouw

HATIKU benar-benar terluka menyaksikan video yang diunggah di medsos yang berisi seorang Bhante harus membuat pernyataan di hadapan kerumunan massa yang mengaku sebagai ummat Islam. Dalam pernyataan yang diucapkan dengan terbaga-bata Bhante Mulyanto Nurhalim harus mengaku bahwa permyataan itu dilakukan suka rela, tanpa tekanan.

Dari bahasa tubuh dan nada suara yang saya lihat di video, sulit rasanya akal saya menerima bahwa pernyataan itu dibuat tanpa tekanan. Karena menurut pikiran normal tak ada orang yang dengan sukarela meninggalkan rumah pribadi hanya karena kedatangan tamu atau dianggap telah melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya.

Alasan penggrebegan yang berujung pada penanda tanganan pernyataan di hadapan massa itu adalah karena menjadikan rumah sebagai tempat ibadah dan kekhawatiran adanya gerakan pemurtadan ummat.

Memang persoalan ini sudah diselesaikan dengan cara yang katanya musyawarah mufakat. Namun sebagai muslim, saya merasa kemerdekaan saya dalam beribadah menjadi terancam dengan isi kesepakatan tersebut. Karena berdasarkan info yang beredar di medsos, salah satu butir kesepakatan itu kurang lebih berisi bahwa rumah tinggal tidak boleh dijadikan tempat ibadah, karena rumah tinggal bukan tempat ibadah. Kalau ummat beragama mau beribadah harus dilakukan di tempat ibadah agama masing-masing.

Melihat hasil kesepakatan ini saya jadi berpikir, apakah pelarangan rumah sebagai tempat ibadah ini berlaku untuk semua ummat, atau hanya berlaku bagi ummat lain?

Jika kesepakatan yang katanya berdasar hukum itu berlaku untuk semua ummat, maka ummat Islam gak boleh shalat jamaah dirumah. Kan rumah bukan tempat ibadah. Umat Islam kalo ibadah harus di masjid. Selanjutnya rumah tinggal tak boleh untuk pengajian, dan berbagai bentuk ibadah lainnya karena bukan tempat ibadah. Bisa dikatakan ummat islam yang membuat pernyataan tersebut telah mempersulit diri…. karena sama dengan memasang tali di leher sendiri.

Kalau aturan seperti itu hanya ditujukan untuk ummat lain itu namanya orang Islam menang-menangan, tidak adil alias dhalim pada ummat lain. Dan itu artinya ummat Islam telah mempertontonkan tindakan arogansi yang justru bisa mencoreng wajah Islam.

Sebagai seorang muslim yang sering beribadah di rumah dan sering melihat kantor dan jalanan umum dikadikan tepat ibadah, muncul pertanyaan dalam hati;  apakah orang-orang Islam yang mengrebeg rumah Bante Nurhalim dan bikin kesepakatan itu pernah berpikir dan membayangkan bagaimana kalau rumahnya, tamunya dan kehidupannya selalu diawasi ummat lain agar tidak dipakai ibadah? Pernahkah mereka membayangkan bagaimana rasaya jika kita menerima tamu kemudian shalat berjamaah di rumah kita, tib-tiba datang segerombolan orang yang membubarkan shalat dan memaksa tuan rumah membuat pernyataan agar tidak mengulangi tidakan tersebut dan bersedia meninggalkan tempat tinggal jika mengulangi? Bayangkan jika itu terjadi pada kita, pada kalian sebagai ummat Islam. Apa yang kalian rasakan?

Sebagai muslim saya kok belum bisa memahami tindakan tersebut. Andai saudara-saudara kita ummat Buddha melaksanakan ibadah di rumah Bante Nurhalim maka tidak layak untuk digrebeg karena ibadah adalah tindakan mulia. Hanya orang  berhati kotor yang tidak senang melihat orang lain beribadah, apalagi jika pakai alasan agama. Jika orang beribadah dibubarkan berarti orang yang membubarkan tersebut menganggap ibadah sama dengan perbuatan maksiat yang nista.

Yang kedua, dalam Islam Nabi Muhammad tidak pernah melarang ummat agama lain beribadah sesuai keyakinannya. Bahkan pernah membiarkan ummat Nasrani beribadah di masjid. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibn Ishaq al-Baihaqy dan Ibn Katsir.

Dikisahkan pada suatu hari Nabi kedatangan 60 orang ummat Nasrani dari Najran yang dipimpim oleh 3 orang tokoh yaitu al-Aqib Abd al-Masih sebagai ketua rombongan, al-Aiha sebagai mediator dan Abu Haritsah bin al-Qomah seorang Uskup Arab yang sekaligus menjadi juru bicara ummat Nasrani.

Rombongan tamu ini sampai di Madinah saat Nabi dan para sahabat sedang melaksanakan shalat Asar di masjid. Karena semua orang berada di masjid, para tamu ini langsung masuk ke masjid. Sambil menunggu Nabi melaksanakan ibadah shalat Ashar, rombongan ummat Nasrani ini melakukan ibadah kebaktian di dalam masjid.

Selesai sholat Nabi melihat ummat Nasrani melakukan kebaktian Beliau tidak membubarkan bahkan beliau bilang “dar’uhum” (biarkan mereka) (Ibn Hisyam dalam Sirah Nabawiyah, juz I, hal. 382-83; Ibn Katsir, al Bidayah wa an Nihayah, juz. VII, hal. 269-72)

Jika ummat lain beribadah di masjid  dibiarkan oleh Nabi, lalu mengapa orang yang beribadah di rumah harus dilarang dan dibubarkan? Jika Nabi membiarkan ummat lain yang  beribadah di masjid lalu siapa yang dicontoh oleh orang Islam yang membubarkan ummat lain beribadah di rumahnya?

Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, atau memperbesar masalah yang sudah dianggap selesai, tapi layak kiranya menjadikan peristiwa Bhante Mulyamto Nurhalim ini sebagai bahan muhasabah bagi ummat Islam dan bangsa Indonesia. Sikap mencurigai, mengawasi dan menggrebeg ummat lain yang sedang beribadah atas nama agama ini tidak saja bisa merobek persaudaraan sebangsa dan menggores luka hati ummat lain tetapi juga dapat mencoreng wajah Islam dan memperburuk citra Islam sebagai agama damai dan penebar rahmat. Karena dengan cara ini wajah Islam menjadi terlihat garang dan arogan.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru