Jumat, 29 Maret 2024

Indonesia Mengalami “Overdosis Regulasi”

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo (Ist)

Tumpang tindih peraturan tak terhindarkan karena liberalisasi hukum dan pemerintahan setelah amandemen UUD’45. Upaya pemerintah untuk mengatur dan membatalkan peraturan bermasalah digagalkanoleh Mahkamah Konstitusi. Riswan Lapagu, Ketua KPKP (Komite Pemantau Kebijakan Publik) menyoroti berbagai peraturan yang merusak tatanan neara dan pemerintahan saat ini dan dimuat di Bergelora.com (Redaksi)

Oleh: Riswan Lapagu

SAYA mulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan “ada berapa banyak jumlah peraturan perundang-undangan atau regulasi yang saat ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia” ?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya melakukan riset kecil. Hasilnya, pejabat maupun kementerian/lembaga  (K/L) hanya dapat memberikan estimasi jumlah regulasi yang sekarang berlaku di Indonesia. Itupun terdapat perbedaan jumlah angka, sebab angka persis tidak ada yang tau. Dalam 15 tahun terakhi diperkirakan tiap tahun pemerintah pusat dan daerah melahirkan 830 regulasi baru.

Indonesian memang negara hukum namun peraturan perundang-undangan yang ada sekarang sudah sangat berlebihan. Kondisi inilah kami sebut dengan istilah  “overdosis/OD regulasi”. Selain masalah OD, Indonesia juga belum sepenuhnya bisa meninggalkan produk hukum buatan di zaman kolonial Belanda, seperti KUH Pidana, KUH Perdata, dan KUH Dagang.  Kedepan mungkin   Indonesia masuk record sebagai negara terbanyak regulasi di dunia, bila kondisi yang ada ini tidak dicarikan solusi yang komprehensif oleh pemerintah.

Presiden Joko Widodo (Jokowi)  pada Rembuk Nasional 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, (23/10/2017), menyatakan prihatin karena terlalu banyak regulasi. Beliau menyebut terdapat 42.000 peraturan perundang-undangan di Indonesia. Angka itu sama dengan data di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) /Bappenas per 2015. Dengan sedikit penjelasan bahwa 42.000 regulasi itu adakah keseluruhan data dari tahun 2010 sampai 2014

Adapun menurut Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara yang mencatat total regulasi di Indonesia hingga akhir 2017 mencapai  62 000 yang tersebar di berbagai instansi baik di pusat maupun daerah. Sedangkan data Kementerian Dalam Negeri menyebutkan ada lebih dari 43.000 peraturan perundang-undangan. Belum termasuk peraturan turunannya dan ditambah dengan regulasi gubernur, bupati, walikota, hingga kepala desa atau lurah

Fakta tersebut sedikit menyadarkan sejumlah pejabat di negeri ini akan bahaya OD regulasi yang sedang berlangsung beserta dampaknya yang sudah terjadi. Yaitu inkonsisten, tumpang tindih, multiitafsir dan ego sektoral, terus terjadi bahkan cenderung meluas. Pada gilirannya bisa mengancam persatuan bangsa dan dalam jangka pendek dapat menghambat investasi.

Maka sudah tepat dan relevan, Jokowi selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan,  segera merespon prihatin  kondisi OD regulasi ini. Sangat banyak dan rentan memiliki makna bertentangan ujarnya. Karena itu “Saya sudah bilang ke DPR, setahun cukup dua UU tapi berkualitas. Tak usah buat 40 UU. Jangan bikin undang-undang dijadikan proyek”, tegas presiden di rembug nasional 2017.

Seyogianya penegasan presiden itu menjadi perhatian serius, K/L yudikatif, legislatif serta eksekutif di pusat hingga daerah. Agar jangan semua urusan pengelolaan negeri ini diselesaikan dengan bikin peraturan baru.  Terkecuali bila sangat dibutuhkan atau keadaan yang memaksa. Itupun dengan tetap memperhatikan aspek kualitas.  

Prolegnas

Kalau dicermati hasil kerja DPR yang terkait dengan program legislasi nasional (Prolegnas), sebetulnya hampir memenuhi harapan presiden Jokowi. Minimal dari aspek kuantitas, sedangkan soal kualitas bisa kita perdebatkan. Ambil contoh jumlah rancangan undang-undang (RUU) yang berhasil disahkan paripurna DPR menjadi UU pada 2017 misalkan. Tercatat hungga menjelang akhir 2017 baru empat RUU dari 49 RUU prolegnas, yang sudah disahkan menjadi UU, yakni (1) UU Pemajuan Kebudayaan, (2) UU Sistem Perbukuan, (3) UU Arsitek, dan (4) UU Penyelenggaraan Pemilu. Kemudian ditambah dengan tiga RUU kumulatif terbuka, yakni (1) RUU Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia-Filipina, (2) RUU Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN tahun 2016 dan (3) RUU tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan.

Berdasarkan data Badan Legislasi (Baleg) DPR mencatat ada 49 RUU Prolegnas 2017. Terdiri dari 40 RUU hasil luncuran 2016 yang belum rampung ditambah 9 RUU terbaru usulan DPR (5 RUU),  Pemerintah (3 RUU) dan DPD (1 RUU). Namun dari 49 RUU yang berhasil disahkan menjadi  UU baru empat seperti dijelaskan di atas.

Di sisi lain, dengan kinerja DPR seperti itu mendapat kritikan dari organisasi non-pemerintah seperti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) serta dari pemangku kepentingan lainnya. Mereka menilai anggota DPR kurang memberikan prioritas dalam menyelesaikan RUU yang mereka sendiri rencanakan. Artinya saya melihat antara RUU yang masuk daftar prolegnas dengan yang menjadi UU sangat timpang. Jika pola kerja DPR masih begitu, maka tiap tahun ada puluhan RUU tahun lalu dimasukkan kembali dalam daftar prolegnas tahun depan. Itupun bukan berarti RUU terbahas di tahun depan itu. Sehingga tak heran ada banyak RUU masuk daftar tunggu hingga bertahun-tahun. Tiap tahun masuk prolegnas tapi belum final jadi UU. Contohnya RUU KUHPidana, di 2018 ini masuk tahun ketiga pembahasannya. Sedangkan kita tahu bersama bahwa (1) KUHP itu sangat strategis keberadaannya bagi penegakan hukum, (2) akan menggantikan KUHPidana era Belanda yang kini masih berlaku, dan (3) 2018-2019 adalah tahun politik dimana semua parpol dan politisi di Senayan pasti sibuk. Sehingga mungkin saja pembahasan RUU KUHP akan berlanjut hingga di anggota baru DPR periode 2019-2024.

Lalu bagaimana di 2018 ? Pada 5 Desember 2017 sidang  paripurna  sudah menyetujui 50 RUU  dimasukkan ke Prolegnas prioritas 2018 oleh Baleg. Perinciannya, 31 RUU merupakan usul DPR RI, 16 RUU dari pemerintah, dan 3 RUU merupakan usulan DPD RI. Selain 50 RUU, juga telah disepakati 5 RUU kumulatif terbuka. Menurut Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas, sebetulnya ada 110 RUU, Baleg lalu melakukan kajian untuk menentukan  Prolegnas prioritas 2018. Hasilnya menjadi 50 RUU saja. Secara keseluruhan ada 225 RUU yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Adapun RUU yang telah disahkan menjadi UU berjumlah 45. Terdiri dari 1 RUU di luar Prolegnas 2014, 12 RUU berasal dari Prolegnas Jangka Menengah, dan 22 RUU berasal dari daftar kumulatif terbuka.

Data dan fakta Baleg tersebut di atas, belum  mempertimbangkan  permintaan Presiden Jokowi dan aspirasi publik yang berharap DPR lebih realistis dalam menyusun prolegnas. Tiap tahun cukup tiga hingga lima RUU tapi tuntas sampai disahkan menjadi UU dan harus berkualitas tentunya. Jangan seperti sekarang direncanakan 50 RUU tapi yang jadi UU hanya tiga misalnya. Bukankah pola kerja demikian hanya menambah daftar panjang penilaian buruk masyarakat terhadap kinerja DPR ?

Menciptakan Ketidakpastian

Kelebihan peraturan perundang-undangan, ternyata pada banyak kasus justru menciptakan konflik berkepanjangan dan ketidak-pastian. Baik terhadap internal aparatur pemerintah/aparat penegakan hukum sendiri, bagi investor hingga kepada rakyat cq masyarakat hukum adat/asli. Penyebabnya yang terlihat di lapangan sering terjadi tumpang tindih, multitafsir, dan inkonsisten.

Tiga contoh kasus di bawah ini setidaknya dapat mewakili tiga  pemangku kepentingan   yakni aparatur negara, pengusaha dan terutama masyaraka miskin dan adat/asli.

Pertama, kasus pro-kontra antar K/L dan pejabat negara terkait dengan wacana Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahyo Kumolo, yang mau menunjuk dua perwira tinggi Polri aktif sebagai Pejabat Gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Rencana kebijakan Mendagri ini sontak menjadi perdebatan terbuka di media. Pejabat dan K/L yang terlibat polemik seperti Menko polhukam, Menhan, Mendagri, panglima TNI, mabes Polri. Lalu para politisi parpol, anggota DPR, pakar hukum tata negara  serta BEM dan publik pun angkat bicara .

Publik menilai koordinasi antar K/P kurang diperhatikan oleh pejabatnya. Masing-masing menunjukkan ego dan otoritas. Beragam argumentasi dan rujukan regulasi pun disampaikan. Publik bertambah puyeng karena bacaan regulasi  sama namun ditafsirkan berbeda sesuai kepentingan sendiri.

Sedikitnya ada tujuh regulasi yang dijadikan dasar para pihak dalam membenarkan argumentasi. Yakni  UU 5/2014 tentang ASN,  UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU 10/2016 tentang Pilkada,  UU 34/2004 tentang TNI, Peraturan Kapolri dan  Permendagri, 74 /2016.

Sayangnya peraturan yang dianggap sudah cukup memadai untuk mengakhiri pro-kontra rencana mendagri tersebut, ternyata tidak bisa. Karena  ada  kekosongan hukum sehingga menjadi ribut begini, kata profesor Salim Said. Kekosongan hukum dimaksud ialah belum ada peraturan yang mengatur secara konkrit dan tegas pada saat kapan pensiunan TNI/Polri bisa terjun ke politik ataupun menduduki jabatan-jabatan sipil ? Kalau di Amerika diperbolehkan setelah dua tahun anggota TNI/Polri menjalani masa pensiun. Adapun di Indonesia Senin seorang pati TNI/Polri mengajukan pensiun dini, lalu Jumat yang bersangkutan sudah diantar tim suksesnya ke KPUD untuk mendaftar sebagai calon kepala daerah. Kasus ini contoh kecil dimana hanya dengan tujuh peraturan saja sudah terlibat problemnya. Bagaimana rumitnya dengan puluhan ribu regulasi yang ada sekarang ? Silahkan saudara bayangkan sendiri.

Kedua,  kasus yang banyak dikeluhan kalangan pengusaha terkait dengan banyaknya regulasi di pusat maupun daerah, yaitu tidak konsisten, tidak efisien, serta beda penafsiran. Sanny Iskandar  Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memberi contoh beberapa peraturan yang tidak sinkron dengan regulasi pendukungnya. Misalnya soal Hak Guna Bangunan (HGB), dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria disebut jangka waktunya 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun ke depan. Sementara, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan HGB dapat diberikan hingga 80 tahun dengan diberikan dan diperpanjang di muka 50 tahun serta diperbarui untuk 30 tahun. Aturan yang berbeda ini menimbulkan kebingungan ketika pengusaha konsultasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) ketika HGB akan berakhir.

Kemudian untuk izin lingkungan, disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri bahwa perusahaan industri dalam kawasan industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan, lingkungan, lokasi, tempat usaha, peruntukan penggunaan tanah, pengesahan rencana tapak tanah dan analisa dampak lalu lintas. Tetapi, kenyataan di lapangan izin lingkungan tetap harus dimiliki pelaku usaha yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

Ketidaksetaraan antarregulasi tentang izin lingkungan jadi kendala bagi kegiatan investasi. PP 142/2015 tidak dapat terlaksana karena pemda dan investor takut kena ancaman pidana dan denda dari UU 32/2009  Masih banyak aturan lain yang saling tumpang tindih dan membuat dunia usaha sulit untuk berkembang. Apindo  Presiden Jokowi meningkatkan peringkat kemudahan berusaha, agar aturan-aturan seperti dicontohkan itu bisa dicari jalan keluar oleh pemerintah sehingga pengusaha dan investor memiliki kepastian.

Contoh ketiga terkait sengketa agraria. Ini merupakan konflik laten yang sudah terjadi sejak zaman presiden Sukarno hingga Jokowi, namun belum jelas ujung penyelesaiannya. Lagi-lagi OD regulasi dan  peraturan/UU yang kerap tumpang tindih dan dengan segala akibatnya, menjadi akar utama konflik agraria, mulai pusat sampai daerah. Berbagai kepentingan yang dituangkan ke dalam sebuah peraturan akhirnya saling bertubrukan dan membuat persoalan baru terus muncul ke permukaan.  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan regulasi tentang kehutanan. Kalau ada kaitannya dengan pertambangan, Kementerian ESDM (Energi, Sumber Daya dan Mineral) juga mengeluarkan. Pun Kementerian Pertanian, BPN, dst. Yang diurus sama yakni tentang tanah. Tapi, berbagai kementerian menyuarakan regulasi mereka masing-masing.

Di bidang lingkungan hidup misalkan, sedikitnya 12 UU terkait sumberdaya alam (SDA) yang tumpang tindih dan inkonsistensi dengan segala dampaknya, baik dari segi normatif maupun empiris. Yaitu UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No. 27/2003 tentang Panas Bumi, UU No.7/2004 tentang Sumberdaya Air, UU No. 31/2004 tentang Perikanan, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Sebagai perbandingan antara UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas (UU Migas) dengan UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, dari aspek orientasi tekstual produksi dan konservasi, secara kontekstual UU Migas menekankan pada produksi, sementara UU Sumberdaya Air secara kontekstual lebih menekankan pada konservasi. Lalu akses memanfaatkan UU Migas secara tekstual adalah badan usaha Indonesia atau asing, negara dan warga dengan kontekstual keadilan yang distributif, sedangkan UU Sumberdaya Air secata tekstual yang memanfaatkan adalah semua kelompok kegiatan dengan kontekstual keadilan yang korektif. Andapun dari aspek Hak Asasi Manusia (HAM), UU Migas secara tekstual memberi perhatian atas tanah warga adat namun secara kontekstual tidak mengakui masyarakat hukum adat, sedangkan UU Sumberdaya Air secara tekstual mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat dengan kontekstual mengakui hak ulayat secara penuh.

Dengan kenyataan seperti itu akibatnya konflik yang terjadi terus bertambah. BPN dalam lima tahun terakhir ini menerima sekitar 6.000 laporan terkait konflik agraria. Perkebunan dan pertambangan menjadi dua sektor pemberi kontribusi terbesar.  Sedangkan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan  terjadi 659 di berbagai provinsi  di Tanah Air pada 2017 dengan luasan 520.491,87 hektare. Jumlah tersebut melonjak 50 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Ada lima provinsi dengan konflik terbanyak, yakni Jawa Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Riau, dan Lampung. Kelima provinsi ini harus mendapatkan perhatian serius mengingat 38,85 persen dari 659 konflik terjadi di sana.

 Oleh sebab itu, Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serius menangani kasus korupsi bidang agraria. KPK diminta mengawasi praktik pemberian izin usaha pertambangan dan perkebunan yang disinyalir berbau korupsi.

Apalagi pemerintahan Jokowi sedang giat mendorong janji reformasi agraria. Itu sangat tidak mungkin jika tidak sejalan dengan pemberantasan korupsi di sektor agraria termasuk di kehutanan dan perkebunan.

K/L Rajin Bikin Regulasi

Kementerian Keuangan adalah K/L yang paling rajin membuat peraturan. Informasi ini berdasarkan data Kemenkum HAM, Oktober 2016. Sepanjang tahun 2015-2016 saja, Kementerian Keuangan telah membuat 328 Peraturan Menteri.

Berikut daftar 10 K/L yang paling banyak menyumbang OD regulasi Indonesia, khususnya berupa Peraturan Menteri (Permen) dalam kurun 2015-2016:

1. Kementerian Keuangan sebanyak 328 permen

2. Kementerian Perhubungan sebanyak 322 permen

3. Kemendagri sebanyak 157 permen

4. Kementerian Kesehatan sebanyak 140 permen

5. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hutan sebanyak 139 permen

6. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebanyak 128 permen

7. Kementerian Perdagangan sebanyak 127 permen

8. Kementerian Perindustrian sebanyak 120 permen

9. Kementerian Agama sebanyak 119 permen

10. Kementerian Ristek dan Pendidikan Tingi sebanyak 109 permen

Sementara di tingkat internasional dari 10 negara tujuan investasi terbaik sejagad versi konsultan internasional, A.T. Kearney dan lembaga PBB, UNCTAD, menempatkan Indonesia di ranking empat Negara Idaman Investor. Posisi pertama hinga tiga masing-masing ditempati oleh China, Amerika Serikat dan India.

MenurutcA.T. Kearney dan UNCTAD posisi Cina masih berada di urutan teratas, sedangkan prospek Indonesia melemah. Penyebabnya adalah karena persoalan regulasi. Sejatinya investor asing masih menaruh harapan tinggi pada perekonomian Indonesia yang digerakkan oleh konsumsi dan eksplorasi sumber daya alam. Namun kepercayaan anjlok setelah pemerintah menelurkan regulasi yang melarang ekspor mineral mentah. Kebijakan tersebut dikhawatirkan bakal mengotori iklim investasi di tanah air.

Akhirnya, kami berharap presiden Jokowi untuk konsisten dengan rencananya yang akan memangkas separoh dari puluhan ribu regulasi yang ada sekarang.

Sekedar mengingatkan sebenarnya Kementrian PPN/Bappenas sudah membuat program yang disebut “empat konsep” untuk merasionalisasi OD regulasi yang sedang terjadi. Tetapi sejauh mana implementasi dan progress dari program itu, publik nampaknya belum terinformasikan secara maksimal. 

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru