Jumat, 19 April 2024

Muhasabah Kebangsaan: Jebolnya PKB, Benteng Kebangsaan ?

Ketua DPP PKB, Lukman Edy (Ist)

Budayawan Gus Durian, Al-Zastrouw yang menyoroti pembentukan poros Islam yang disampaikan oleh Ketua DPP PKB, Lukman Edy. Benarkah PKB telah mentolerir politik sektarian yang bertentangan dengan visi PKB sendiri sebagai benteng kebangsaan. Bergelora.com memuat tulisannya dibawah ini. (Redaksi)

Oleh: Al-Zastrouw

WACANA pembentukan poros Islam yang disampaikan oleh Ketua DPP PKB, Lukman Edy seperti yang diberitakan: https://m.detik.com/news/berita/d-3906349/ini-alasan-pkb-usulkan-ada-poros-islam-di-pilpres-2019, merupakan kabar yang sangat mengejutkan sekaligus memprihatinkan, minimal bagi saya sebagai penggemar Partai tersebut.

Saya terkejut karena selama ini PKB merupakan partai yang memperjuangkan aspirasi ummat Islam dalam bingkai kebangsaan. Dengan bingkai ini PKB selalu menghidari berbagai bentuk formalisme dan simbolisme Islam dalam setiap gerak politiknya. Hal ini dilakukan karena penggunaan simbol agama secara formal tidak saja bisa menyeret agama yang sakral dalam wilayah profan (politik), dalam konteks Indonesia, sikap demikian juga dapat merobek keberagaman bangsa yang telah dirajut oleh para ulama NU (Nahdlatul Ulama).

Sikap ini secara tegas dinyatakan dalam mabda’ siyasi PKB: “Partai Kebangkitan Bangsa adalah partai terbuka dalam pengertian lintas agama, suku, ras, dan lintas golongan yang dimanivestasikan dalam bentuk visi, misi, program perjuangan, keanggotaan dan kepemimpinan”.

Pernyataan ini secara tegas dan jelas mengisyaratkan upaya memperjuangkan aspirasi ummat Islam yang dilakukan oleh PKB menjadi bagian dan terintegrasi dalam perjuangan kebangsaan secara menyeluruh. Dan ini artinya PKB harus menghindari sikap ekslusif dalam memperjuangkan aspirasi ummat Islam, apalagi sampe menggunakan simbol formal agama.

Yang membuat saya prihatin, wacana yang diusung Ketua DPP PKB, Lukman Edy ini  mengingkari dan mencederai spirit perjuangan bahkan menegasikan pemikiran para pejuang dan ulama NU pendiri bangsa yang telah bersusah payah menjaga dan merawat keutuhan bangsa ini dengan segala pengorbanannya.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, dalam upaya menjaga kesatuan dan keutuhan bangsa para ulama pendiri bangsa rela menanggalkan jargon-jargom dan simbol keislam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penting ummat Islam bisa mengamalkan syariat agamanya.

Daripada ribut terus berdebat soal simbol dan legalitas formal, para ulama mengalah, tidak apa-apa tidak pake simbol formal Islam yang penting nilai dan ajaran Islam bisa dijalankan. Jika sulit mewujudkan minyak samin cap onta karena bisa menimbulkan konflik dan perpecahan, maka minyak samin cap babi lebih baik daripada minyak babi cap onta, demikian adagium yang diciptakan mbah Wahab Chasbullak untuk menggambarkan logika fiqh pada saat itu.

Atas dasar inilah maka para ulama, khususnya NU, bisa menerima NKRI sebagai bentuk negara dan Pancasila sebagai dasar negara. Sejak saat itu NU berkomitmen menjaganya dengan melawan berbagai bentuk gerakan yang mengancam keutuhan NKRI dan Pancasila, termasuk penggunaan simbol-simbol agama dalam politik. Demi menjaga NKRI dan Pancasila para ulama ini tidak saja berani melawan PKI yang dianggap telah berkhianat pada NKRI, tetapi juga berani mengambil resiko berhadapan dengan kelompok DII/TII yg memberontak pada NKRI, meskipun jelas-jelas menggunakan simbul Islam.

Pandangan dan sikap politik ulama-ulama NU ini telah menjadikan NU sebagai bagian dari benteng NKRI dan Pancasila. Pandangan keislaman yang teduh, sejuk, toleran dan moderat membuat NU.menjadi pengayom dan pelindung bagi siapa saja yang merasa resah dan tersingkirkan  oleh ulah kelompok intoleran yang selalu menggunakan agama untuk melegitimasi tindakannya. Meski untuk ini NU harus menjadi sasaran caci maki dan hujatan dari kelompok  tersebut.

Dari sini jelas terlihat, manuver politik ketua DPP PKB Lukman Edi yang menggunakan identitas dan simbol keislaman secara eksklusif melalui wacana pembentukan poros Islam, telah mengkhianati garis perjuangan dan menyimpang dari spirit kebangsaan para ulama NU. Bahkan jika hal ini diteruskan bisa merusak fondasi dan tatanan kebangsaan yang selama ini dijaga dan dirawat oleh ulama-ulama NU.

Saya tidak tahu apa yang melarbelakangi wacana seperti ini muncul dari elit PKB yang mengaku sebagai wadah aspirasi politik NU. Dalih memperjuangkan aspirasi ummat Islam yang terpinggirkan menurut saya belum bisa menjadi dasar argumen yang valid, karena mayoritas anggota DPR adalah ummat Islam dan hampir semua partai dikuasai oleh ummat Islam.

Kalau aspirasi ummat Islam masih terpinggirkan itu bukan berarti karena tidak ada poros Islam, tetapi rendahnya komitmen politisi Islam dalam memperjuangkan aspirasi ummat Islam. Dan ini penyelesaiannya bukan membentuk poros Islam tetapi dengan meningkatkan komitmen para politisi. Membentuk poros Islam tanpa ada komitmen justru lebih berbahaya.

Marginalisasi aspirasi tidak hanya dialami oleh ummat Islam tetapi juga oleh ummat lain, khususnya rakyat kecil kelas bawah. Kerakusan sistem ekonomi politik liberal-kapitalis telah menggerus siapa saja dan apa saja yang tidak sesuai dengannya, tidak peduli agama dan golongannya.

Dengan demikian membentuk poros Islam dengan dalih memperjuangkan aspirasi ummat Islam yang dipinggirkan jelas mengabaikan fakta adanya ummat lain yang juga terpinggirkan. Selain itu hal ini juga mencerminkan terjadinya penyempitan cara pandang dan pendangkalan daya pikir.

Karena hal ini juga mengabaikan berapa banyak ummat Islam yang ikut hanyut dalam nikmatnya arus sistem ekonomi-politik yang liberal kapitalis. Jangan-jangan yang menjadi bagian dari poros Islam ini justru mereka yang sudah merasakan nikmatnya sistem tersebut.

Jika PKB serius meneruskan wacana ini, saya khawatir PKB akan hanyut dan larut dalam politik populisme sektarian. Dan ini artinya PKB tidak hanya mengkhianati garis perjuangannya sendiri tetapi ini juga menjadi pertanda jebolnya sebagian benteng kebangsaan oleh gempuran arus populisme.

Sebagai orang yang awam politik saya tidak tahu pertimbangan taktik politik macam apa yg mendorong munculnya wacana tersebut. Kalau hanya taktik strategi merebut kekuasaan maka ini sangat disesalkan, karena terlalu besar resikonya bagi keutuhan bangsa. Dalam politik, kekuasaan memang pe tapi tidak segalanya. Oleh karena itu tidak selayaknya eksistensi dan keutuhan bangsa harus dipertaruhkan dan digadaikan demi kekuasaan.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,100PelangganBerlangganan

Terbaru