Jumat, 29 Maret 2024

Menguak Kembali Petaka Pencemaran Laut Timor 2009

KUPANG- Pemerintah Indonesia membuka laporan bencana pencemaran Laut Timor akibat meledaknya Sumur Pengeboran Ladang Minyak Montara pada tahun 2009. Beberapa waktu lalu, Kepala Balai Penelitian Observasi Laut  Dr. Widodo Pranowo melapor kepada Kementerian Koordinator Bidang Maritim, pada 16-17 Maret 2017 dalam rapat diskusi Kasus Montara menguak kembali kasus petaka Montara 2009 di Laut Timor itu.

Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Montara, Ferdi Tanoni di Kupang, menjelaskan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini aktif bersama dengan kementerian dan lembaga lainnya melakukan tindakan responsif dalam memantau sejauh manakah tumpahan minyak memasuki wilayah ZEE Indonesia bahkan masuk ke perairan teritorial Indonesia.

“Tumpahan minyak akibat ledakan oil rig Montara di West Atlas Australia pada tanggal 21 Agustus 2009 tersebut dipantau oleh Balai Riset dan Observasi Kelautan (BROK) sebagai nomenklatur lama dari Balai Penelitian Observasi Laut  secara kontinyu sejak awal September. Terpantau bahwa laju tumpahan minyak Montara, cenderung menuju arah barat-laut dari sumber ledakan. Terlihat tumpahan minyak mengalami dispersi yang cukup luas. Pantauan dan perekaman citra satelit dilakukan hingga Nopember 2009,” ujarnya mengutip Dr. Widodo Pranowo sebagai Wakil Ketua Tim Advokasi Penanganan Pencemaran Tumpahan Minyak Akibat Meledaknya Sumur Pengeboran Ladang Minyak Montara 2009.

Dalam laporan Dr. Widodo Pranowo disampaikan, posisi tumpahan minyak terdekat (surfacial) dengan daratan berjarak 67.698 km (37.76 Nm) arah tenggara dari Pulau Rote, NTT pada tanggal 10 September 2009.

Pada saat itu, Tim BROK mengestimasi, jika pergerakan minyak ini berlanjut mengikuti arus permukaan laut yang dominan ke arah barat – barat-laut (WNW) sepanjang Agustus – akhir September, dilanjutkan trend mengarah timur sejak awal Oktober bisa terjadi paling tidak tiga kemungkinan.

Kemungkinan pertama adalah diestimasi bahwa tumpahan minyak akan semakin mendekati Pulau Rote, selanjutnya masuk wilayah KKP Laut Sawu. Kemungkinan kedua, bahwa tumpahan minyak mengalami deposisi ke lapisan air laut yang lebih dalam (laut dalam).

Terdapat kemungkinan lainnya, bahwa dengan asumsi volume bocoran minyak bumi mencapai 500 ribu liter per hari (AMSA-Australian Maritime Safety Authority), maka tidak tertutup kemungkinan tumpahan minyak yang terlihat sudah ada sebelumnya mengalami penyebaran atau deposisi dengan pola berbeda.

Tanoni menjelaskan bahwa BROK-BRKP pada rapat di Departemen Luar Negeri memberikan rekomendasi teknis bahwa untuk pembuktian pencemaran laut yang lebih detail dengan melakukan survei laut, pengambilan citra satelit resolusi sangat tinggi dan radar aktif (time-series), pengambilan sample air laut dan biota di berbagai lokasi dan kedalaman, pengukuran arus, survei nelayan penangkap ikan, survei dampak lingkungan. Hal ini dikarenakan ekosistem laut dan pesisir, berikut masyarakat nelayan/pembudidaya sebagai korban pencemaran adalah sebagai tanggungjawab KKP.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, Pada tanggal 18-23 Agustus 2010, KKP menggelar “Timor Sea Rapid Assessment” (TISRA) Operation. TISRA Operation yang dilaksanakan dalam rangka verifikasi tumpahan minyak Montara di perairan Timor dengan melakukan survei mengelilingi perairan pesisir Pulau Rote.

Tanoni menjelaskan, pelaksanaan survei tersebut adalah bersamaan waktunya dengan perjuangan Tim Advokasi Nasional dalam penuntutan ganti rugi, pertemuan kedua, di Australia. Pada saat itu, BROK mengirim beberapa penelitinya, untuk melakukan sampling air dan biota di daerah perairan Laut Timor, Pulau Rote dan Pulau Sabu. Para peneliti tersebut adalah Elvan Ampou, Iis Triyulianti, Faisal Hamzah, Suciadi Catur Nugroho, Yoke Hany dan Nyoman surana. Tim survei dibagi menjadi 2 tim, yakni tim pesisir dan tim laut.

TISRA Operation dilakukan dengan menggunakan Kapal Patroli Perikanan milik KKP Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP). Direktur pada Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan, Dr. Hartanta Tarigan, pada saat itu mengijinkan perjalanan dimulai untuk sampling dimulai hari Jumat tanggal 20 Agustus 2010 dengan menumpang KM Hiu Macan Tutul.

Pada akhir tahun 2014, melalui program “Infrastruktur Development for Space Oceanography“, dilakukanlah analisis ulang terhadap arsip citra satelit radar oleh Dr. Widodo Pranowo bersama Beatrice Nhun Fat dari CLS, memverifikasi kejadian tumpahan minyak Montara. Hasilnya telah dipresentasikan pada acara APEC PRAOS di Korea pada 2014.

Pada Oktober 2016, melalui survei laut untuk penyusunan basis data pulau terdepan Pulau Rote, disempatkan pula untuk melakukan pencarian sisa jejak tumpahan minyak Montara 2009. Didapatkan sejumlah residu minyak tertempel terumbu karang di lokasi yang bernama Mulut Seribu, tepatnya di Desa Daiama, Kecamatan Rote Timor. Hingga saat ini masih menantikan konfirmasi dari LEMIGAS Badan Litbang Kementerian ESDM apakah minyak tersebut adalah sisa jejak tumpahan minyak Montara.

“Selain itu pada kurun waktu 2010 hingga 2012, P3SDLP sebagai nomenklatur lama dari Pusat Riset Kelautan telah aktif dalam pertemuan negosiasi tuntutan ganti rugi akibat pencemaran laut oleh tumpahan minyak Montara 2009,” demikian Ferdi Tanaoni (Leo)

.

Artikel Terkait

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,110PelangganBerlangganan

Terbaru