Jumat, 4 Juli 2025

2018, Pentagon Tetap Lindungi & Latih Eks-ISIS

Pentagon, pusat intelejen Amerika Serikat, tetap merancang menggunakan ISIS sebagai proxy untuk menguasai Timur Tengah (Ist)

Amerika Serikat ternyata masih terus melindungi dan melanjutkan pelatihan militer pada mantan militia ISIS. Bill Van Auken, seorang pengamat politik berkebangsaan Amerika Serikat menulisnya dengan judul ‘Russia Charges Pentagon with Training Ex-ISIS Fighters’ dalam situs www.wsws.org kemudian dimuat lagi oleh www.globalresearch.ca 28 Desember 2017 di Amerika Serikat sendiri. Bergelora.com menterjemahkan dan memuatnya hari ini. (Redaksi)

 Oleh: Bill Van Auken

PASUKAN KHUSUS Amerika Serikat (AS) diam-diam menyimpan dan melatih mantan milisia Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) di pangkalan Amerika yang terpencil di Al Tanf, Suriah,– dekat perbatasan negara tersebut dengan Irak dan Yordania. Hal ini dilaporkan oleh komando militer Rusia.

Rahasia ini dibongkar pada hari Rabu (27/11) oleh Jenderal Angkatan Darat Valery Gerasimov, Kepala staff umum militer Rusia dan Wakil Menteri Pertahanan. Dia mengatakan bahwa pesawat tak berawak Rusia dan satelit telah mendeteksi brigade milisia ISIS di sekitar Al Tanf dan sebuah pangkalan militer AS lainnya di dekat kota Al-Shaddadi yang dikuasai Kurdi di timur laut negara tersebut.

“Mereka (ISIS-red) sebenarnya sedang dilatih di sana,” kata Gerasimov dalam sebuah wawancara dengan harian Rusia Komsomolskaya Pravda. “Mereka sedang mempraktekkan sebuah negara Islam,” tambahnya. “Tapi setelah mereka bekerja sama (dengan pasukan AS-red), mereka mengubah tempat mereka dan mengambil nama lain. Tugas mereka adalah mengacaukan situasi.”

Milisa Islam tersebut, katanya, diberi label ulang sebagai “Tentara Suriah Baru.”

Menurut perkiraannya, ada sekitar 750 milisia di pangkalan Shaddadi, dan sekitar 350 lainnya di Al-Tanf.

Tidak ada tanggapan langsung dari Pentagon, yang sebelumnya telah secara rutin menolak tuduhan kerjasama AS dengan ISIS tersebut. Pada hari-hari yang penggerebekan di kota Raqqa, Suriah,– yang disebut ibukota ISIS,– bukti yang tak terbantahkan muncul bahwa,– Washington dan proxynya, yang didominasi oleh Tentara Demokratik Kurdi, melakukan intervensi untuk menyelamatkan dan memindahkan para milisia ISIS yang terjebak di kota.

Kantor Berita BBC mendokumentasikan fakta bahwa Pentagon dan proxy Kurdi- Suriahnya mengatur sebuah konvoi sepanjang empat mil untuk mengevakuasi ribuan milisia ISIS, bersama dengan sejumlah senjata, amunisi dan bahan peledak dari Raqqa, Oktober lalu.

Laporan tersebut dikonfirmasi oleh mantan juru bicara resmi Pasukan Demokratik Suriah, Talal Silo, yang membelot ke Turki pada bulan Oktober. Dia mengatakan kepada media bahwa sekitar 4.000 orang diusir ke luar kota, tapi sekitar 500 dari mereka adalah milisia ISIS bersenjata.

Silo juga membongkar bahwa operasi yang sama telah dilakukan selama pengepungan Manbij sebelumnya di provinsi Aleppo utara dan Al Tabqah di Sungai Efrat. Saat itu ribuan milisia ISIS lainnya diizinkan pergi dengan senjata dan amunisi mereka.

Strategi Amerika,– tidak seperti yang berulang kali diproklamasikan oleh pejabat tinggi AS,–untuk “memusnahkan” ISIS–, namun sebaliknya untuk mengubahnya melawan tentara Suriah guna mencegah pemerintah melakukan reklamasi wilayah strategis,– termasuk ladang minyak provinsi Deir Ezzor dan perbatasan timur dengan Irak. Di wilayah itu, mana Washington berusaha untuk membangun zona kontrolnya.

Data dari Rusia sepenuhnya sesuai dengan laporan sebelumnya dan menunjukkan pemaparan lain dari apa yang disebut “perang melawan terorisme” yang telah diajukan sebagai dasar pemikiran intervensi imperialisme AS saat ini di Irak dan Suriah, serta perang sebelumnya

ISIS sendiri merupakan bentukan sampingan dari intervensi Washington di Timur Tengah, yang berfungsi sebagai instrumen sekaligus dalih untuk agresi militer Amerika yang bertujuan untuk menegaskan dominasi imperialis AS atas wilayah kaya minyak.

Laporan pasukan AS melatih mantan ISIS untuk ditugaskan sebagai milisi baru anti-pemerintah di Suriah,– merupakan satu indikasi lagi bahwa Washington sedang mempersiapkan fase baru dan jauh lebih berbahaya dari intervensi militernya di negara yang dilanda perang tersebut.

Dalam satu hal, strategi AS kembali cara ke awal,– dengan kekacauan perang yang dilakukan oleh CIA untuk perubahan rezim melalui penyerbuan, pendanaan dan pelatihan milisia Islam terkait Al Qaeda yang diarahkan untuk menggulingkan pemerintah Presiden Bashar al- Assad dan memasang rezim boneka AS yang lebih patuh.

Milisi-milisi ini, bagaimanapun disiagakan tidak hanya untuk menghadapi dukungan militer yang diberikan oleh Rusia dan Iran kepada pasukan Assad. Milisi ini juga disiapkan untuk menghadapi penolakan masyarakat terhadap elemen-elemen Islam reaksioner yang didukung oleh Washington, kekuatan Barat lainnya, dan juga Arab Saudi dan raja-raja minyak di Teluk lainnya, Turki dan Israel. Upaya untuk meluncurkan perang untuk perubahan rezim hanya bisa dilakukan lewat intervensi militer AS secara langsung dan lebih masif di negara ini.

Pemerintah Irak dan Suriah telah mengumumkan kemenangan dalam kampanye melawan ISIS. Namun Pentagon sendiri mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa kurang dari 1.000 pejuang ISIS tetap tinggal di kedua negara.

Militer AS menolak menanggapi sebuah pertanyaan dari Reuters mengenai apakah beberapa pejuang ISIS bisa lolos ke negara lain. Pejabat militer dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak akan “terlibat dalam spekulasi publik.” Namun kenyataannya, aparat militer dan intelijen AS mengetahui dengan pasti dimana para pejuang ini sedang melakukan reorganisasi dan pelatihan-pelatihan ulang.

Terlepas dari kemenangan yang seharusnya terjadi dalam perang melawan ISIS, Washington tidak memberikan indikasi bahwa pihaknya akan mengurangi tingkat pasukannya di Irak atau Suriah.

Rusia, sementara itu, telah mengumumkan perpanjangan kesepakatannya dengan pemerintah Suriah mengenai apa yang disebutnya “basis penyebaran permanen” di pelabuhan Mediterania Tartus dan di lapangan terbang dan pusat komando dan kendali di Hmeymim. Moskow telah mengindikasikan bahwa pihaknya akan memperluas pangkalan angkatan laut Tartus untuk mengakomodasi armada 11 kapal perang, termasuk kapal bertenaga nuklir dan kapal perusak rudal.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan pada hari Rabu bahwa dengan kekalahan ISIS, “tujuan utama anti-teroris” sekarang adalah pemberantasan Front Al Nusra, milisi Islamis yang dibentuk sebagai afiliasi Al Qaeda di Suriah. Dengan kekuatan utamanya yang sekarang terkonsentrasi di provinsi Idlib barat laut, Al Nusra beroperasi dengan beraliansi dengan pemberontak bersenjata dan didanai oleh sekutu regional CIA dan Washington. ISIS telah menjadi penerima manfaat utama dari sejumlah besar senjata yang telah dserahkan ke negara.

Pergeseran menuju strategi “pasca-ISIS” di Suriah menempatkan imperialisme AS lebih langsung pada jalur berbenturan dengan Iran dan Rusia. Sejak awal, tujuan strategis Washington, –yang ditutupi dengan kampanye “perang melawan teror”,– adalah mengerahkan kekuatan militer sebagai alat untuk melawan pengaruh Rusia dan Iran, yang dipandangnya sebagai hambatan utama untuk menancapkan hegemoni AS di wilayah tersebut.

Meningkatnya ancaman konfrontasi militer secara langsung antara dua kekuatan nuklir terbesar di dunia telah digarisbawahi oleh laporan baru-baru ini dari Washington dan Moskow tentang beberapa konfrontasi provokatif antara pesawat tempur AS dan Rusia di diatas langit lembah sungai Efrat, Syiria.

Pada saat yang sama, Pemerintahan Trump telah gencar menjabarkan kebijakan anti-Iran dengan membentuk antara AS, Arab Saudi dan monarki minyak Sunni lainnya dan Israel. Arab Saudi telah berulang kali menuduh tanpa dasar bahwa Teheran melakukan “perang”. Tuduhan lainnya mengatakan bahwa Iran yang mempersenjatai pemberontak Houthi di Yaman dengan rudal menembaki kerajaan tersebut. Untuk bagiannya, Israel telah memperingatkan bahwa hal itu dan akan campur tangan secara militer untuk mencegah terciptanya basis Iran di Suriah.

Ketika imperialisme AS meningkatkan eskalasi di Suriah, dengan ancaman memperluas perang regional dan bahkan global,– korban kampanye anti-ISIS terus meningkat. Ratusan ribu pengungsi yang terpaksa melarikan diri dan melihat rumah mereka dibom menjadi reruntuhan di kota Mosul Irak dan kota Raqqa di Suriah. Dua wilayah itu sekarang menghadapi cuaca dingin yang membeku dan kurangnya makanan serta perawatan medis yang memadai,— yang akan mengarah ke kematian baru.

Sebuah laporan minggu lalu oleh Associated Press, berdasarkan data yang dikumpulkan dari mayat dan penggali kubur di Mosul, mengindikasikan bahwa korban sipil tewas akibat “pembebasan” AS di kota Irak Juli lalu adalah sekitar 11.000 orang. Angka ini-10 kali jumlah korban sipil yang tewas yang diakui oleh Pentagon. Namun tidak termasuk banyak mayat yang masih terkubur di bawah reruntuhan.

Juli lalu, Patrick Cockburn, koresponden veteran Timur Tengah ‘Independen’ Inggris, melaporkan bahwa mantan menteri luar negeri Irak Hoshyar Zebari telah diberitahu oleh dinas intelijen pemerintah daerah Kurdistan-Irak bahwa jumlah korban tewas sebenarnya di Mosul lebih dari 40.000 orang.

Wartawan yang melaporkan angka-angka tersebut, seperti halnya laporan terbaru tentang perlindungan dan pelatihan AS kepada mantan pejuang ISIS,– sebagian besar dipecat oleh perusahaan media AS,– yang dengan setia menutupi kejahatan perang Washington.

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru