JAKARTA — Anggota DPR RI Dapil Bengkulu, Erna Sari Dewi, mengkritik keras lambannya respons pemerintah atas krisis keterisolasian Pulau Enggano yang telah berlangsung selama lebih dari empat bulan.
Menurutnya, jika Enggano memiliki tambang emas, nikel, atau cadangan energi strategis lainnya, perhatian negara kemungkinan besar akan jauh lebih cepat.
“Pulau-pulau lain yang punya tambang atau sumber daya strategis selalu jadi prioritas. Tapi ketika masyarakat Enggano menghadapi kelumpuhan logistik, panen membusuk, listrik nyaris padam, dan pasien kritis tidak bisa dirujuk ke rumah sakit, negara justru lambat bertindak. Apakah perhatian negara hanya hadir ketika ada potensi ekonomi?” tegas Erna dalam pernyataan pers di Jakarta, Senin (23/6).
Kondisi ini, lanjutnya, disebabkan oleh pendangkalan parah di Pelabuhan Pulau Baai, yang membuat kapal perintis tidak dapat bersandar dan memutus jalur logistik utama ke Pulau Enggano. Akibatnya, lebih dari 4.000 warga terisolasi tanpa kepastian hingga hari ini.
“Kerugian warga ditaksir mencapai Rp2 miliar per bulan, tapi ini seakan tidak cukup menggugah perhatian pusat. Coba bandingkan dengan wilayah seperti Morowali, Halmahera, atau Tembagapura—satu hari saja pasokan terganggu, kementerian langsung bergerak,” kata Erna, merujuk pada daerah-daerah dengan investasi besar sektor tambang dan energi.
Ia mengingatkan bahwa Enggano merupakan pulau terluar yang strategis secara geopolitik, berada di jalur perlintasan Samudra Hindia, yang seharusnya mendapatkan perhatian khusus dalam konteks pertahanan dan kedaulatan nasional.
“Negara tidak boleh hadir hanya ketika ada nilai komersial. Masyarakat Enggano adalah warga negara, bukan angka statistik. Mereka berhak atas pelayanan dasar yang adil dan merata,” lanjutnya.
Sebagai anggota Komisi VII DPR RI, Erna meminta Kementerian Perhubungan segera melakukan pengerukan darurat di Pelabuhan Pulau Baai, mengirim kapal logistik pengganti, serta mengoordinasikan respons lintas kementerian untuk penanganan cepat.
150 Mil Laut di Samudera Hindia
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, sejak Maret 2025, transportasi laut menuju Pulau Enggano terhenti akibat dangkalnya alur Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu. Berhentinya angkutan kapal penumpang dan barang menuju Pulau Enggano yang terletak 150 mil laut di Samudera Hindia ini telah membuat pulau ini terisolir.
“Orang-orang terkurung. Warga yang kritis terpaksa bertahan. Sejumlah warga Enggano sudah mendesak agar ada kapal alternatif untuk mereka. Namun tak pernah diwujudkan,” tulisnya.
Menurut warga pulau, pemerintah Bengkulu hanya menunggu proses keruk alur selesai. Padahal, jika memang hendak membantu warga di pulau Enggano maka ada banyak kapal alternatif yang bisa membantu mendistribusikan hasil bumi dan orang atau warga yang kritis.
Hingga pekan pertama Juni 2025, Kapal Ferry Pulo Tello baru bisa berlayar ke Enggano. Ratusan orang bisa dibawa ke kota. Karena pelabuhan belum normal. Mereka akhirnya bersandar di tengah laut dan dipindahkan menggunakan kapal Basarnas.
Sejauh ini, proses antar jemput penumpang sudah mencukupi meski dengan skema turun di tengah. Namun, yang memprihatinkan, belum ada kapal yang bisa membawa hasil bumi milik masyarakat adat Enggano.
Pisang, kakao, pinang, jengkol, kelapa, ikan dan lainnya akhirnya menumpuk dan membusuk di Enggano. Pemerintah enggan menyediakan kapal alternatif khusus barang.
Saat ini, warga yang memiliki relasi dengan penampung di kota, harus merogoh kocek sampai Rp20 juta untuk membayar kapal nelayan agar hasil bumi dibawa ke kota.
Sayangnya, untuk yang tidak memiliki uang, terpaksa membiarkan hasil panen mereka membusuk di kebun. (Web Warouw)