Sabtu, 5 Juli 2025

59 Tahun UUPA No 5/1960: Mengapa Kemiskinan Tetap Bersama Kaum Tani Di Desa?

Ilustrasi petani sedang membajak sawah. (Ist)

Setiap 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional untuk memperingati lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960. Ini adalah Undang-Undang babon yang mengatur sistim agraria secara nasional produk pemerintahan Soekarno dan DPR saat itu. Namun karena Soeharto yang didukung kepentingan Amerika Serikat berhasil menggulingkan Soekarno, maka Undang-Undang ini dimatikan. Bahkan dalam perkembangannya Pemerintah Soeharto dan yang selanjutnya melahirkan berbagai Undang-Undang dan peraturan yang bertentangan dengan Undang-undang Pokok tersebut. Akibatnya, tidak ada kemajuan dalam kehidupan kaum tani Indonesia, sampai saat ini. Ketua Umum Serikat Tani Nasional, Ahmad Rifai, SH menuliskannya kepada Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Ahmad Rifai, SH

PENINGKATAN anggaran untuk perlindungan sosial dalam rangka peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kunci atasi kemiskinan, hal ini tersampaikan pada pekan perlindungan sosial Asian pasifik  Sembilan September 2019 di Manila.

Bank Pembangunan Asia (ADB) menyampaikan bahwa di Asia Pasifik ada 300 juta orang hidup dalam kondisi sangat miskin dan lebih dari 830 juta orang hidup dengan 1,9 Dollar AS per hari, ini menandakan bahwa kesenjangan sangat besar di dalam atau lintas negara.

Termasuk Indonesia negara yang ada di kawasan Asia Pasifik mencatat Angka kemiskinan per maret 2019 sebesar 9,41 persen yang setara dengan 25,14 juta orang, menurut BPS angka ini turun dari posisi September 2018 yakni 9,66 persen.

Jika kita cermati penurunan angka kemiskinan sesungguhnya bukan karena adanya lapangan kerja yang di ciptakan dalam bentuk industri nasional, namun akibat adanya bantuan sosial dan beras rastra (program jaminan sosial). Namun demikian masih terjadi juga disparitas kemiskinan yang tinggi di kota sebesar 6,69 persen dan di desa 12,85 persen, kondisi ini menunjukan kemiskinan di masyarakat agraris (pertanian) jauh lebih tinggi.

Menteri Tenaga Kerja menyampaikan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai angka 5,01 persen, hal ini di sampaikan dengan penuh kebanggaan bahwa angka pengangguran terendah dalam sejarah Indonesia.

Jika di sejajarkan dengan negara di Asean Indonesia berada di urutan ke Dua terbanyak, jika tidak ada Filipina dengan angka 5,1 persen maka Indonesia menjadi negara terbanyak.

Indonesia masih kalah jauh dengan Malaysia yang hanya 3,3 persen (per Juni 2019) dan Vietnam 2,16 Persen (per Juni 2019), bagaimana dengan anggapan tingkat pengangguran Indonesia yang tinggi merupakan pengaruh jumlah penduduk yang banyak?. Hal ini di jawab oleh Bank Dunia, total populasi Indonesia tahun 2018 267,6 Juta jiwa peringkat ke Empat dunia.

Semenatra Vietnam dan Malaysia 95,5 Juta jiwa dan Vietnam 31,5 Juta jiwa, faktanya China dengan populasi 1,39 milliar tahun 2018 mampu menekan angka pengangguran ke level 3,61 Persen (per Juni 2019), banyangkan hampir seperlima populasi bumi ada di China dan hanya memiliki 3,61 persen pengangguran.

RUU Pertanahan Cermin Kehendak Pemilik Modal

 

Imperialisme Belanda tahun 1870 menjalankan politik sewa tanah atas desakan pemilik modal swasta yg ingin berinvestasi di Hindia Belanda, sebagai bentuk dukungan di negeri jajahan.

Nah pemilik modal swasta di era Imperialisme gaya baru saat ini, selain mendukung kekuasaan, pemilik modal pun ikut ambil bagian dalam perebutan kekuasan. Saat Pilpres kemarin kita mengetahui bahwa Presiden Jokowi mendapat dukungan dari 11 pemilik modal bidang usaha Sumber daya alam dalam hal ini tambang dan energi, seperti : Oesman Sapta Odang, Luhut B Panjaitan, Andi Syamsudin, Arsyad, Fachrul Razi, Wahyu Sakti Trenggano,  Hary Tanoe Soedibyo, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Jusf Kalla, Suadi Marabessy.

Jika Presiden Jokowi mau jalankan Trisakti, Pasal 33 UUD 1945, maka pemilik modal di atas atau yang lainnhya harus jadi sasaran Nasionalisasi selain perusahan asing,karena tambang merupakan perusahan vital sehingga kita dapat berdaulat di bidang energi.

Sebagai negara agraris harus meningkatkan kemampuan kaum tani,tentu menyatukannya dengan tanah & teknologi sebagai situasi yang baru. Hal ini merupakan tahapan Kedaulatan Pangan sebelum menuju Swasembada.Tentu hanya bisa di raih dengan cara menjalan ekonomi terpimpin sebagai bentuk perwujutan sosio demokrasi.

Waktu dekat tugas pemerintah harus mampu menyediakan sandang, pangan cukup untuk rakyat,yang dibentuk oleh dua unsur produksi & distribusi. Presiden Jokowi harus berani menjadikan Reforma Agraria sebagai program dasar dalam melakukan perubahan ekonomi bangsa.

Presiden Jokowi harus berani memulai hal diatas walaupun harus banyak mendapatkan tantangan dari elit atau pemilik modal yang telah menyokongnya kembali terpilih, selama ini reforma agraria yang di gaungkan adalah reforma agraria yang terbalik karena di mulai dengan banyak legalisasi (sertpikat) yang dalam reforma agraria sejati merupakan tahapan akhir setelah melakukan pendataan atas tanah,pendataan konflik,penyelesaian konflik dan distribusi tanah yang di iringi dengan pemberian modal, teknologi dan jaminan pasar atas hasil pertanian di atas tanah yang sudah di bagikan.

Presiden Jokowi dalam pandangan kami tidak serius dalam menjalankan Reforma Agraria, walaupun sudah mengeluarkan Perpres No 86 Th 2018 tentang Reforma Agraria, karena di dalam Perpres tersebut masih belum memprioritaskan tanah untuk petani dan dalam kabinet sendiri masih bercorak bisnis, dimana yang memimpin reforma agraria adalah menko ekonomi, jadi kelihatan betul tanah di atur untuk kepentingan bisnis.

Jika Presiden Jokowi menghendaki reforma agraria setidaknya dalam kabinet yang ia pimpin kedepan ada Menko Agraria yang di dalamnya ada BPN RI,Mentan,MenLHK,MenPUPR,Mendes,MenBUMN.

Situasi saat ini sedang berlangsung liberalisasi tanah secara besar besaran dan terang terangan dengan rencana di syahkannya RUU Pertanahan yang kami pandang meminggirkan UUPA tahun 1960.

Pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil bahwa Undang-undang Pokok Agraria tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dengan alasan dulunya Undang-undang Pokok Agraria dibuat mengacu pada fakta bahwa 90% orang Indonesia masih masyarakat agraris, masyarakat yang hidup dari pertanian.

Pernyataan diatas secara langsung terbantah oleh bagian Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal – Kementerian Pertanian 2018 menyampaikan bahwa Tenaga kerja pertanian merupakan tenaga kerja terbesar dengan jumlahnya mencapai 36,91 juta orang pada Februari tahun 2018. Jumlah ini merupakan 28,23% dari jumlah tenaga kerja Indonesia seluruhnya. Sementara jumlah tenaga kerja pada bulan Februari tahun 2017 sebesar 36,96 juta orang mengalami penurunan pada Februari 2018 yaitu sebesar 29,2%.

RUU Pertanahan kedepan menguntungkan para pembisnis tanah (property) dimana mereka menjadikan negara sebagai tangan pemilik modal untuk  mendapatkan tanah dalam melancarkan bisnis mereka, hal ini seiring dengan kepentingan beberapa koporasi besar yang memberi usulan pada RUU Pertanahan agar orang asing dapat memiliki hunian di Indonesia.

RUU Pertanahan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sudah di siapkan rancangan Peraturan Presiden terkait dengan implementasi Bank Tanah yang sekali lagi menjadikan negara ikut berbisnis tanah.

Dengan demikian sudah seharusnya kita Bersatu padu menolak pengesyahan RUU Pertanahan dan menegaskan kepada Presiden Jokowi untuk menjalankan UUPA tahun 1960 untuk Reforma Agraria sejati.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru