Sabtu, 5 Juli 2025

Membaca Putusan MK Pemisahan Pemilu Lokal dan Nasional Secara Kritis dan Bijak

Oleh: Dr. Hermawanto, S.H., M.H. *

KAMIS, 26 Juni 2025 masyarakat pemerhati hukum dan kepemiluan dikagetkan oleh putusan Mahakmah Konstitusi yang kontroversial, karena berbeda dari biasanya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi titik balik dalam diskursus ketatanegaraan kita termasuk tentang kepemiluan. Dalam putusan ini, Mahkamah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan pemilu daerah (kepala daerah dan DPRD) dapat dilakukan dalam dua siklus berbeda. Konsekuensinya, masa jabatan anggota DPRD hasil Pemilu 2024 diperpanjang hingga 2031 untuk menyelaraskan pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara serentak.

Sebagian pihak mempersoalkan perpanjangan masa jabatan ini sebagai pelanggaran terhadap Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali termasuk untuk memilih anggota DPRD. Namun, jika dicermati dalam bingkai teori konstitusi modern dan dinamika sistem ketatanegaraan, putusan ini dapat dibaca sebagai bentuk praktik konstitusionalisme korektif, sebagai respons yudisial terhadap kebuntuan politik dan stagnasi legislasi yang berkepanjangan untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih baik.

Konstitusi yang Hidup, Bukan Sekadar Teks yang Kaku

Secara teori dan dinamika hukum tata negara kontemporer, dikenal konsep living constitution, pandangan bahwa konstitusi tidak boleh dibaca secara beku semata dari bunyi pasalnya, tetapi harus ditafsirkan sesuai konteks sosial, kebutuhan zaman, dan realitas institusional. Sehingga konstitusi bisa mejawab kebutuhan kehidupan bernegara bahkan sebagai alat rekayasa sosial dari masyarakatnya.

Indonesia telah menjalani berkali-kali pemilu, dan model pemilu serentak lima kotak yang dijalankan pada 2019 dan 2024 telah memperlihatkan kelemahan sistemik: kelelahan penyelenggara, rumitnya proses perhitungan dan verifikasi berjenjang, membingungkan pemilih karena banyaknya calon, dan tentunya berdampak pada menurunkan kualitas representasi. Dalam konteks ini, maka Putusan MK dengan pemisahan siklus pemilu nasional dan daerah adalah jawaban rasional atas kompleksitas yang terus membebani sistem demokrasi elektoral kita.

Dan melalui Putusannya MK bukan berarti mengganti konstitusi, tetapi berupaya menafsirkan kembali makna substantif dari asas kedaulatan rakyat, keadilan elektoral, dan efektivitas kelembagaan, yang juga dijamin dalam konstitusi itu sendiri. Dari siniliah penulis melihat MK lebih melihat pada substansi makna pemilu, yang tidak sekedar rutinitas hajatan lima tahunan.

Fleksibilitas Konstitusional dalam Masa Transisi

Publik kemudian mempertanyakan dasar perpanjangan masa jabatan anggota DPRD hingga 2031karena DPRD adalah produk pemilu, bukan produk kebijakan administratif. Hal yang sama juga berlaku untuk kepala daerah yang juga hasil dari pemilukada, bukan sekedar produk kebijakan administratif.

Penulis berpendapat perpanjangan masa jabatan DPRD dan juga Kepala Daerah tidak harus dilihat sebagai pelanggaran. Ia adalah bagian dari masa transisi konstitusional yang bertujuan membentuk sistem baru yang lebih efisien dan terintegrasi. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, masa transisi seperti ini pernah terjadi, misalnya ketika masa jabatan legislatif hasil Pemilu 1997 dipotong demi memfasilitasi reformasi politik dan demokratisasi pada 1999.

Kita perlu memahami bahwa transisi bukanlah penyimpangan, selama tujuannya untuk memperkuat sistem dan bukan mempertahankan kekuasaan. Di sinilah peran Mahkamah menjadi penting: menjembatani stagnasi legislatif dengan terobosan yudisial yang bertanggung jawab secara konstitusional. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih “ ad-dharurat tubih al mahzurat” pada keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang. Hal ini menegaskan bahwa dalam situasi darurat, tindakan yang pada asalnya dilarang dapat dilakukan asalkan untuk menghindari kerusakan atau bahaya yang lebih besar, atau untuk meraih kemaslahatan yang lebih besar (maslahah ammah).

Bukan Judicial Overreach, Melainkan Judicial Responsiveness

Menurut penulis anggapan bahwa Mahkamah telah melampaui batas sebagai negative legislator perlu dikaji ulang. Dalam konteks kebuntuan pembentuk undang-undang yang selama lebih dari satu dekade tidak mampu merevisi sistem pemilu yang kompleks ini, Mahkamah hadir sebagai pengisi kekosongan norma. Hal ini adalah kewajiban konstitusional Mahkamah untuk memastikan sistem pemilu yang berkualitas.

Oleh karena itu hemat penulis Mahkamah Konstisusi hadir justru dalam kondisi demokrasi yang stagnan, peran judicial leadership seperti ini sangat dibutuhkan. Mahkamah mengambil tanggung jawab institusional untuk mendorong reformasi elektoral demi pemilu yang lebih adil, teratur, dan partisipatif.

Putusan Mahkamah tetap membuka ruang bagi DPR dan Pemerintah untuk menyusun regulasi teknis, segera melakukan perubahan UU Pemilu dan Pemilukada, sehingga tidak menutup proses deliberatif demokratis dalam sistem representatif, serta memberikan pijakan teknis konstitusional untuk perpanjangan masa jabatan DPRD dan juga Kepala Daerah.

Membangun Tata Pemilu yang Lebih Sehat dan Demokratis

Melalui Putusan MK model dua siklus pemilu diperkenalkan, hal ini sejalan dengan prinsip efisiensi demokrasi. Dengan waktu dan fokus yang lebih terpisah, pemilih dapat memberikan perhatian lebih dalam menentukan pilihan legislatif dan eksekutif, baik di tingkat nasional maupun daerah. Partai politik dapat merancang kaderisasi dan strategi lebih matang, sementara penyelenggara pemilu dapat bekerja dengan beban yang lebih manusiawi dan proporsional.

Harapannya dalam jangka panjang, pemisahan siklus ini akan memperkuat institusi demokrasi lokal, meningkatkan kapasitas wakil rakyat, dan memperbaiki kualitas pembangunan yang sinkron antara pusat dan daerah.

Koreksi Yudisial untuk Menjaga Masa Depan Demokrasi

Melalui tulisan ini saya ingin menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 bukan sekadar tafsir terhadap norma hukum, tetapi juga cerminan keberanian institusi yudisial dalam menyelamatkan arah demokrasi konstitusional Indonesia. Di tengah stagnasi politik dan minimnya agenda reformasi dari pembentuk UU, Mahkamah hadir sebagai aktor korektif yang bertanggung jawab.

Kini saatnya kita memahami konstitusi tidak hanya sebagai teks yang beku, tapi sebagai dokumen hidup yang memandu keadilan, keterwakilan, dan kemajuan bangsa. Putusan ini tidak hanya menyala sebagai tafsir hukum, tetapi sebagai obor yang menuntun masa depan demokrasi yang lebih bermartabat.

Akhirnya penulis harus menegaskan “Demokrasi bukan sekadar tentang jangka waktu kekuasaan, tetapi tentang kualitas sistem yang menjamin partisipasi rakyat secara adil dan efektif.

*Penulis, Dr. Hermawanto, S.H., M.H., Direktur Sekolah Konstitusi dan Ketua IKABH DPP IKADIN

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru