Jumat, 21 November 2025

DPD-RI & Manuver Oesman Sapta Odang

Ketua DPD-RI, Oesman Sapta Odang (Ist)

Oleh: Derek Manangka

Polemik didlam tubuh DPD RI terus berlangsung. Walaupun pimpinan baru Osman Sapta Odang menggantikan Irman Gusman sudah dilantik oleh Mahkamah Agung. Bergelora.com menurunkan tulisan kritik dari Mantan wartawan senior Sinar Harapan, Derek Managka (Redaksi)

Sebagai wartawan produk Orde Baru, saya memiliki penilaian subyektif dan tersendiri terhadap keberadaan Orde Reformasi. Khususnya eksistensi beberapa Lembaga Tinggi Negara yang lahir di era Orde Reformasi.

Namun untuk sementara saya batasi pada Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD – RI). Kemungkinan berikutnya soal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan MK (Mahkamah Konstitusi).

DPD-RI sebagai lembaga tinggi negara, dibentuk tahun 2004, yang sebelumnya berbentuk Fraksi Utusan Daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI).

Pembentukannya merupakan konsekwensi logis dari diamandemennya UUD 45. Tentu saja amandemen dimaksudkan agar ketatanegaraan kita menjadi lebih baik.

Akan tetapi setelah lebih dari 10 tahun terbentuk, lembaga ini, secara kasat mata memperlihatkan, kinerjanya yang tidak jelas. Tidak menjadi alat kelengkapan ketatanegaraan yang efektif.

Selain peran para anggotanya yang dijuluki Senator, “tidak nyambung” dengan kepentingan para konstituen, sesama anggota berkelahi soal durasi masa jabatan pimpinan. Seperti yang terjadi 3 April 2017 lalu.

Sehingga kehadiran lembaga DPD-RI di Senayan, bersama DPR-RI dan MPR-RI, dalam satu kompleks, mejadi tidak elok. Membuat penyaluran suara rakyat dan manajemen ketata negaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di lembaga itu, menjadi tidak lebih baik.

DPD-RI tercoreng kredibilitasnya setelah Ketua periode 2014 – 2019, Irman Gusman ditahan akibat keterlibatannya dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dituduhkan oleh KPK.

Namun yang lebih memperburuk kredibilitas DPD-RI semenjak Oesman Sapta Odang, dengan latar belakang sebagai Ketua Umum Partai Hanura “mengambil alih” kepemimpinan lembaga tersebut pada 5 April 2017.

Sebagai sebuah Lembaga Tinggi Negara yang disetarakan secara protokoler dengan lembaga lainnya, termasuk Lembaga Kepresidenan, DPD-RI dibawah Sapta Odang, terpecah atau terbelah.

Pro dan Kontra

Hal mana mengingatkan, semua rekam jejak Sapta Odang di luar DPD-RI. Yang terpaksa harus saya katakan, pengusaha yang jadi politisi ini, kayaknya hobi membuat kepemimpinan kembar.

Di tahun 2010 Sapta Odang mendeklarasikan sebagai Ketua Umum HKTI (Kimpinan Koperasi Tani Indonsia), saat Prabowo Subianto masih memimpin ormas tersebut.

Di tahun 2013 Sapta Odang dengan mensponsori Rizal Ramli, juga mendeklarasikan kepengurusan tandingan di DPP KADIN Pusat. Bahwasanya, pengurus tandingan itu memperoleh dukungan, persoalannya bukan di situ. Melainkan terletak pada hobi dan etika.

Bayangkan kalu hobi membuat kepengurusan tandingan ini menjadi sebuah kebanggaan pribadinya. Atau bermunculan lagi orang-orang yang terinspirasi membuat kepengurusan tandingan. Apa kata dunia ?

Jadi bisa disebutkan, gara-gara peristiwa terakhir – masuknya Sapta Odang sebagai Ketua, DPD-RI sebagai sebuah lembaga negara, mencuat sebuah persoalan baru.

Ulah seorang Sapta Odang, yang berpengalaman membuat kepengurusan kembar di HKTI dan KADIN, berimbas seperti virus negatif, ke DPD-RI.

Secara hukum, menurut penafsiran Sapta Odang, dia sah sebagai Ketua DPD-RI selama 2,5 tahun depan.

Namun bukan keabsahannya itu yang menjadi persoalan. Melainkan cara mendapatkaan keabsahan dan etika dalam menjaga nama baik lembaga DPD-RI. Orang sering lupa, keabsahan, tidak selamanya indentik dengan kebenaran.

Kalau hukum atau UU benar-benar ditegakkan, dijalankan secara murni dan konsekwen – sebuah terminologi populer di era Orde Baru, penetapan masa jabatan 2,5 tahun bagi pimpinan DPD-RI, cepat atau lambat pasti akan menimbulkan persoalan.

Persoalan serius yang berkaitan dengan konstitusi. Mari kita lihat. Kepengurusan Sapta Odang otomatis akan berakhir pada 5 Oktober 2019. Karena dengan dilantik pada 5 April 2017. Dua setengah tahun kemudian masa jabatannya berakhir pada tanggal di atas.

Padahal keanggotaan DPD-RI sekarang, termasuk Sapta Odangnya, sudah harus berakhir pada 30 September 2019. Jadi ada kelebihan waktu sebanyak lima hari.

Nah, selisih waktu lima hari ini, jelas merupakan masalah besar yang tidak boleh dianggap kecil. Terutama bila kita bicara penegakkan hukum secara murni dan konsekwen.

Lalu mengenai keanehan durasi jabatan selama 2,5 tahun itu sendiri. Mari kita gunakan logika sehat untuk bertanya. Sejak kapan ada lembaga di republik ini, yang masa jabatannya dibatasi 2,5 tahun ? Angka dua setengah itu dalam konteks tertentu, tidak punya makna sama sekali.

Tapi merubah sebuah “tradisi” dari sistem masa jabatan 5 tahun, di tengah kinerja yang tak ada prestasinya, sama dengan mengoyak sebuah budaya yang sudah dipatenkan. Atau sama dengan mengada-ada, mencari-cari pekerjaan yang tidak menghasilkanesuatu yang positif.

Menciptakan sensasi yang hanya mempermalukan anggota-anggota lembaga itu sendiri. Masa jabatan yang normal selama lima tahun, bukanlah perintah kitab suci. Sehingga secara prinsip, aturan itu bisa dirubah.

Akan tetapi durasi lima tahun itu, dalam jabatan di lembaga-lembaga tinggi negara yang berkantor di kawasan Senayan, tidak lahir begitu saja, tanpa alasan.

Sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit, masa jabatan 5 tahun itu, terkait dengan kalender politik 5 tahunan.

Mari kita tanya lagi – apa sih yang sudah dibuat lembaga DPD-RI bagi NKRI ? Atau apa sih yang sudah dibuat oleh seorang Sapta Odang terhadap DPD-RI sehingga, politisi Hanura ini begitu merasa paling berjasa atau paling berhak mengubah durasi pimpinan? Mengapa semua seperti “terbius” tidak berani berkomentar dan memprotes? Ada apa gerangan? Apakah karena Sapta Odang membawa-bawa nama Partai Hanura (Hati Nurani Rakyat) ?

Agak aneh dan mengejutkan melihat Hanura di tangani Sapta Odang. Sebab Pak Wiranto saja, seorang jenderal, bekas Panglima TNI, bekas orang kepercayaan penguasa Orde Baru, tidak semaunya berpolitik.

Sesuai namanya, Pak Wiranto sebagai pendiri Partai Hati Nurani Rakyat, lebih mengedepankan hati nurani. Wiranto selalu berusaha tampil dan mendengar suara hati nurani rakyat.

Saya justru tambah bertanya – dimana hati nurani seorang Sapta Odang, sebagai tokoh, namun senang bertindak atas hal yang bertentangan dengan hati nurani rakyat. Minimal apa kata hati nurani saya.

Membuat tindakan yang menimbulkan kegaduhan di lembaga DPD-RI bagi saya sama dengan menyakiti hati nurani rakyat. Terutama rakyat banyak yang masih punya hati nurani.

Sebagai orang luar, saya geli melihat apa yang terjadi dengan lembaga negara DPD-RI. Geli, sebab semua pihak yang diam, seperti sudah kehilangan perasaan dan hati nurani. Bersuara pun tidak berani – akibat gaya Sapta Odang yang tak banyak beda dengan “jagoan” yang senang berkelahi.

Ingat tuan-tuan dan saudara-saudari yang masih punya hati nurani. DPD-RI bukan forum, tempat berkelahi. Melainkan tempat berjuang untuk membela kepentingan konstituen. Jangan sekali-kali berjuang tanpa menggunakan hati nurani.

Jujur, untung saya bukan anggota DPD-RI, ketika terjadi manuver yang menyebabkan, sistem 2,5 tahun menggantikan sistem 5 tahun. Sebelum dia dilantik oleh Wakil Ketua Mahkamah Agung, saya pasti akan tantang dia berdebat. Debat dalam koridor dan berbasis hati nurani. Jika dia tidak puas dengan perdebatan sehingga menantang berkelahi, saya pun pasti akan melayaninya.

Bila perlu perkelahian kami – di dalam ruang sidang pleno, disiarkan secara nasional oleh seluruh jaringan televisi. Minimal saya minta wartawan-wartawan produk Orde Baru yang masih punya hati nurtani, ikut meliputnya.

Saya sadar berkelahi dengan cara preman seperti itu, tidak baik dan tidak memberikan pendidikan politik yang berkualitas kepada semua pihak.

Namun menghadapi politisi yang semaunya berbuat sekehendak dewe, sesekali, harus kita layani dengan cara dia. Istilah gaulnya: “loe jual, gue beli”.

Boleh dong, sekali-kali saya jadi “orang gila”. Sebab saya melihat di Era Reformasi sekarang ini, nampaknya dibutuhkan juga “orang gila” yang bisa menghadapi “orang yang berpura-pura gila”.

Presiden Joko Widodo sendiri, menurut hemat saya, karena terlalu baper (bawa perasaan), akhirnya kewalahan menghadapai “mereka yang berpura-pura gila”.

Itu sebabnya sekaligus melalui kesempatan ini, dengan perasaan tidak enak, saya harus menulis dan meminta, tolong Pak Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin, jangan anda diamkan “kegilaan” yang tengah terjadi di DPD-RI.

Politisi semacam Sapta Odang yang berbuat sesuai kemauannya di “Republik Senayan”, sudah saatnya Bapak tegur.

Sudah saatnya Bapak hentikan manuver-manuvernya yang bersifat kontra-produktif. Sebab pada akhirnya baju Bapak yang akan terkena getahnya.

Rangkap jabatan yang berarti rangkap fasilitas, Bapak biarkan. Sapta Odang itu selain Ketua DPD-RI juga merangkap Wakil Ketua MPR-RI, sebagai perwakilan dari unsur DPD-RI.

Kewajiban anggota DPD-RI berstatus non-partisan, bukan anggota Partai Politik, dia langgar. Gile. Mau dibawa kemana negara kita ini ? Atau, apa kata dunia?

Pakde Jokowi, kalau menurut saya, bukan saja orang yang mau melahirkan kembali PKI, yang perlu digebuk.

Politisi yang suka bikin gaduh seperti Saudara Yang Terhormat Sapta Odang ini, juga perlu sampean gebuk.

Matur nuwun Bapak Presiden.

Makasih banyak Pak OSO (Oesman Sapta Odang) sudah membaca atau mendengarkan kritikan saya.

Kalau bapak marah atau tersinggung, maafkan saya. Apalagi kita sedang berada dalam masa berpuasa.

Dan ingat, dulu, di tahun 2008, anda yang mengaku sebagai investor, menawarkan saya menjadi Pemimpin Redaksi harian The Straits Times Singapore, edisi Indonesia. Yang mana peran saya anda harapkan mengkritisi apa yang perlu dikritisi di negara kita ini. Bye bye. 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru