Jumat, 21 November 2025

Mantan KABAIS: Perangi Terorisme dengan UU TNI, Tak Perlu Revisi UU Anti Terorisme

Laksamana Muda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., MH., mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI (2011-2014) (Ist)

JAKARTA- Undang-Undang Anti Terorisme dan Undang-Undang TNI sudah ada. Keduanya sudah sangat cukup untuk menghadapi situasi di Indonesia dalam menghadapi terorisme. Yang dibutuhkan hanya nyali dari pemerintah dalam hal ini Presiden untuk menggunakan Undang-Undang TNI, memerintahkan TNI memerangi Terorisme, tak perlu revisi Undng-undang Anti Terorisme. Hal ini disampaikan Laksamana Muda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., MH., mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI (2011-2014) kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (2/6).

Katanya, bila tidak ada pernyataan pemerintah, maka secara normatif kelompok teroris hanya melanggar tindak pidana dan berlaku Undang-Undang Anti Terorisme.

Memasukan TNI dalam Undang-Undang Anti Terorisme justru memasung TNI untuk tidak bisa melaksanakan operasi militer. TNI memberantas teroris dengan operasi militer sudah diatur dalam Undang-Undang TNI,” tegasnya.

Ia menjelaskan, bila pemerintah memutuskan bahwa tindakan terorisme merupakan kejahatan pada negara yang mengancam kedualatan negara, maka yang berlaku adalah Undang-Undang TNI dan atas dasar itu Presiden dapat memerintahkan  TNI untuk segera melaksanakan Operasi Militer sesuai Undang-Undang TNI.

“Itulah sebabnya TNI tidak perlu dimasukkan ke dalam Undang-Undang Anti Terorisme,” tegasnya.

Menruutnya, untuk memberantas terorisme, tugas dan kewenangan TNI sudah diatur dalam Undang-Undang TNI. Jadi kalau teroris itu sudah diputuskan sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara, maka yang akan berlaku adalah Undang-Undang TNI, disitu TNI dapat melaksanakan operasi militer untuk membarantas terorisme.    

“Sangat tidak tepat kalau TNI dimasukan kedalam Undang-Undang Anti Terorisme. Dalam Undang-Undang Terorisme, karena dalam Undang-Undang Terorisme, teroris itu hanya dianggap sebagai pelanggar hukum saja. Kalau pelanggar hukum dihajar oleh TNI maka akan terjadi pelanggaran HAM,” jelasnya.

Pontoh menjelaskan, ketika pertama kali seseorang melakukan pembunuhan dengan menggunakan bom (teroris) maka  kasusnya adalah sama dengan pembunuhan dengan menggunakan pisau.

“Pembunuhan itu adalah peristiwa atau perbuatan pidana. Sehingga baginya berlaku  tindakan pidana dibawah Undang-Undang Anti Terorisme dan atau Undang –Undang Pidana,” katanya.

Namun apabila ternyata si pembunuh itu tidak sendiri, ada banyak yang terlibat, mereka menguasai wilayah tertentu, mereka mampu menyerang dalam waktu lama,   maka berubah kondisinya, sudah menjadi ancaman terhadap kedaulatan.

“Saat itulah Presiden dan DPR dapat memutuskan bahwa tindakan  yang harus digunakan adalah Operasi militer berdasarkan Undang-Undang TNI. Atau Presiden bisa segera memerintahkan TNI langsung, kemudian nanti melaporkan dan disetujui DPR, sesuai Undang-Undang TNI,” jelasnya.

Segera Perintah TNI

Sebelumnya, Presiden Jokowi menyatakan perlunya pelibatan militer dalam revisi UU tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada 29 mei 2017. Imparsial mengingatkan pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sesungguhnya sudah diatur secara tegas dalam pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI no 34/2004.

“Mengacu pada pasal itu sebenarnya presiden sudah memiliki otoritas dan landasan hukum yang jelas untuk dapat melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sepanjang ada keputusan politik negara,” demikian Direktur Imparial, Al Araf kepada Bergelora.com di Jakarta, Rabu (31/5).

Karena itu, menurutnya keinginan presiden untuk melibatkan militer dalam mengatasi terorisme sebenarnya sudah bisa dilakukan tanpa harus mengatur pelibatan militer dalam revisi uu anti terorisme karena sudah ada dasar hukumnya dalam UU TNI.

“Dalam praktiknya selama inipun, militer juga sudah terlibat dalam mengatasi terorisme sebagaimana terjadi dalam operasi perbantuan di Poso,” tegasnya.

Ia menjelaskan, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tersebut merupakan bentuk tugas perbantuan untuk menghadapi ancaman terorisme yang secara nyata mengancam kedaulatan dan keutuhan teritorial negara. Di sini pelibatan militer seharusnya menjadi pilihan terakhir yang dapat digunakan presiden jika seluruh komponen pemerintah lainnya sudah tidak lagi dapat mengatasi aksi terorisme.

“Dalam konteks itu, alangkah lebih tepat jika pelibatan militer itu cukup mengacu pada UU TNI. seharusnya lebih tepat jika pemerintah dan DPR segera membentuk Undang-Undang Perbantuan sebagai aturan main lebih lanjut unttuk menjabarkan seberapa jauh dan dalam situasi apa militer dapat terlibat dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi terorisme,” katanya.

Namun demikian, jika presiden tetap berkeinginan mengatur dan melibatkan militer dalam Revisi UU anti terorisme, maka pelibatan itu hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik presiden. Di sini militer tidak bisa melaksanakan operasi mengatasi terorisme tanpa adanya keputusan presiden dan pelibatan itupun merupakan pilihan yang terakhir.

“Presiden perlu menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan keinginannya melibatkan TNI dalam revisi UU Anti terorisme. sudah sepatutnya presiden mempertimbangkan aturan hukum yang sudah ada yakni UU TNI yang sudah mempertegas bahwa pelibatan militer dalam mengatasi terorisme harus atas dasar ada keputusan politik negara,” ujarnya. (Web Warouw)                       

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru