Minggu, 13 Juli 2025

Poyu, Gerindra, PDI-P dan PKI

Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Soebianto dan FX Arief Puyono (Ist)

Polemik yang dipicu oleh Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra, Arief Poyuono masih terus ramai. Bergelora.com menurunkan tulisan Aju, wartawan senior Sinar Harapan di SHNet yang berjudul ‘Diplomasi Nasi Goreng dan Tudingan Gerindra bahwa PDIP=PKI’ (Redaksi)

Oleh: Aju

WAKIL KETUA UMUM Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerakan Indonesia Raya (DPP Partai Gerindra), Fransiskus Xaverius Arief Puyono, dilaporkan Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem)  ke Markas Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), Jakarta, Selasa siang, 1 Agustus 2017.

F.X. Arief Puyono dilaporkan lantaran di dalam salah satu pernyataan di media massa, Senin, 31 Juli 2017, mengatakan, “Jadi wajar aja kalau PDIP sering disamakan dengan PKI, habis sering buat lawak politik dan nipu rakyat sih.”

Selaku Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Repdem, Wanto Sugito, mengatakan, laporan polisi dilakukan karena pernyataan F.X. Arief Puyono, tidak memiliki etika politik, tukang tebar fitnah dan mengandung unsur ujaran kebencian.

“F.X. Arief Puyono memfitnah dan menghina PDIP secara kelembagaan sebagaimana diatur dalam pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan pasal 45A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, tentang Informasi dan Transaksi Elektroni (ITE),” kata Wanto.

Di Jakarta, Selasa (1/8), Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menegaskan, tengah berdiskusi dengan bagian hukum untuk meloporkan Arief Puyono ke Polri.

“Dia (Arief) seharusnya bisa disiplin dalam bertindak dan juga berbicara. Janganlah menyampaikan pernyataan tanpa disadari bukti yang akurat, apalagi hanya karena kompetisi. Sebagai pelajaran kami sedang mengkaji dan menyiapkan gugatan,” jelas Hasto.

Hasto memastikan, selama ini PDIP dalam melakukan kegiatan politik selalu berlandaskan Pancasila. “Itu yang menuduh sembarangan,” tegas Hasto Kristianto.

Menurut Hasto, perdebatan masalah PKI dikaitkan dengan PDIP, sebetulnya sangat tidak relevan. PDIP sendiri telah membuat surat ditujukan kepada segenap pengurus, kader dan simpatisan di seluruh Indonesia, berupa instruksi DPP PDIP, Nomor 2588/IN/DPP/II/2017.

Dalam instruksi, menurut Hasto ditegaskan, “PDI Perjuangan adalah partai politik yang berazaskan Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 sesuai dengan jiwa dan semangat lahirnya 1 Juni 1945 (Pasal 5 ayat (1) Anggaran Dasar Partai).dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan PKI.”

Diplomasi Nasi Goreng

Laporan polisi buntut dari diplomasi nasi goreng Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Letjen (Purn) Prabowo Subianto dan Ketua Umum DPP Partai Demokrat yang mantan Presiden Indonesia dua periode, 2004 – 2014, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Usai makan nasi goreng di kediaman SBY di Puri Cikeas, Bogor, Kamis malam, 27 Juli 2017, keduanya memberikan pernyataan pers dengan raut wajah tengang, saat akan mengkritik pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemiu) Presiden, Kamis, 20 Juli 2017.

Menurut SBY, pengesahan Presidential Theshold (PT) 20 persen, merupakan abuse of power dari partai politik pendukung Pemerintah. Prabowo mengatakan, PT20% merupakan lelucon politik.

Pengesahan rancangan Undang-Undang Pemilu Presiden dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui voting. Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memilih keluar saat dilakukan pengumutan suara, sebagai bentuk ketidaksetujuan PT 20%.

Partai politik pendukung Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), terdiri dari PDIP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), memiliki jumlah anggota melebih dua per tiga anggota DPR RI, sehingga hasil voting dinyatakan sah.

Pernyataan pers SBY dan Prabowo, mengundang kontroversi, karena Pemilu Presiden 2009 dan 2014, PT 20% sudah diterapkan, sehingga patut dipertanyakan relevansinya. Apalagi SBY saat jadi Presiden Indonesia dua periode, dua kali pula PT 20% diterapkan.

Masalahnya kemudian, terkait lelucon politik sebagaimana tudingan Prabowo Subianto, kemudian ditanggapi Sekretaris Jenderal DPP PDIP, Hasto Kristianto sebagai tidak ksatria, tidak memiliki etika politik.

Pernyataan Hasto Kristianto inilah yang kemudian mengundang pernyataan nyeleneh Arief Puyono, dengan mengkaitkan PDIP sebagai partai penguasa, dengan PKI. Kata-kata PKI ini akhirnya membuat PDIP berang sehingga implikasi diplomasi nasi goreng Prabowo dan SBY berujung laporan polisi.

Bukan kali ini saja, Arief Puyono, kelahiran Jakarta, 4 Februari 1971, membuat manuver yang membuat marah partai politik lain. Tahun 2015, Arief Puyono mengilustrasikan sebagai langkah klise alasan PAN bergabung dengan pemerintahan Presiden Jokowi – Wakil Presiden JK, hanya lantaran bersatu untuk membendung  kekuatan asing.

‎”Tudingan Arief Poyuono itu kayak kakek-kakek, kalap kehilangan kacamata. Padahal kacamatanya bertengger di kepala‎,” kata Ketua DPP PAN, Teguh Juwarno, Jakarta, 3 September 2015.

Tapi tudingan PKI terhadap PDIP, menggambarkan sampai sejauh mana kualifikasi pemahaman kesejarahan dan ketatanegaraan seorang politisi Arief Puyono yang gagal total berkantor ke Senayan, Jakarta pada Pemilu 2014.

Bicara PKI di era globalisasi, sudah tidak relevan, karena hanya jadi bahan tertawaan banyak pihak. Karena hanya meniru era pemerintahan diktator Presiden Soeharto (1 Juli 1966  – 21 Mei 1998) yang dikenal dengan sebutan Orde Baru (Orba).

Politisi Tukang

Apalagi kalau masih diklaim PKI memberontak dalam insiden G30S 1965, sudah seratus persen dipatahkan dalam dokumen ilmiah yang menyebutkan, merupakan pemberontakan Jenderal Soeharto, memanfaatkan konfik internal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), dengan mendapat dukungan logistik Central Inteligence Agency (CIA) Amerika Serikat (AS).

G30S 1965 dalam disertasi John Roosa, dan analisis mantan diplomat  AS, Peter Dale Scott, 1998, menyebutnya tidak lebih dari upaya AS mendongkel Presiden Soekarno, karena menolak Indonesia bergabung dalam ideologi liberalis.

Pola pikir Arief Puyono, wujud politisi tukang warisan Orba. Roy Murtado, 2015, mengingatkan kita, Orde Baru telah tumbang. Tetapi, secara de facto kaum Orbais, yaitu segerombolan orang atau golongan yang berpikir dan berpolitik dengan ideal-ideal Orde Baru, contohnya Arief Puyono, masih sangat kuat di negeri ini (atau bisa jadi paling kuat).

Tujuan utama mereka adalah mengembalikan Indonesia pada situasi ketakutan, dan melalui ketakutan tersebut sebuah rezim ganas penuh kebencian hendak memancangkan kembali tonggak-tonggaknya.

Sebuah rezim otoriter yang akan menghamba pada kepentingan ekonomi global di mana Indonesia dan rakyat di dalamnya dijadikan bahan bakarnya.

Kiranya wajar kalau rakyat khawatir melihat naiknya arogansi kaum Orbais akhir-akhir ini. Di antaranya melalui diplomasi nasi goreng di Puri Cikeas, Bogor, Kamis malam, 27 Juli 2017.

Secara telanjang, kaum Orbais menyelenggarakan halaqah-halaqah “Bahaya Laten PKI”, memakai preman untuk menyerang dan menggagalkan terselenggaranya pemutaran film Jagal dan Senyap.

Pertemuan-pertemuan keluarga korban G30S 1965, hingga larangan diskusi peristiwa 1965 di kampus-kampus. Semua ini menjadi simptom jika kaum Orbais masih ingin mencengkeramkan kuku-kukunya di negeri ini.

Bagi mereka, termasuk Arief Puyono, PKI tak ada benarnya. Tidak setitik pun. Tentu saja PKI bukan berarti tak ada salahnya. Namun mempersalahkannya secara brutal jauh tak ada benarnya ketimbang apapun juga.

Seolah-olah semua kejahatan di dunia ini ulah kaum komunis, ulah negara penganut ideologi sosialis. Bagi kaum Orbais yang boleh ada di dunia ini adalah cara pandang mereka terhadap dunia saja. Marxisme tidak, karena marxisme baginya sama-sama berbahayanya dengan narkoba.

Pendeknya, segala hal yang dianggap buruk, menjijikkan, ngawur, bejat, anti-tuhan, merusak tatanan, mengalalkan segala cara sama dengan PKI.

Argumen yang sering direplikasi oleh kaum Orbais untuk membuktikan kekeliruan marxisme adalah bangkrutnya Uni Soviet, totalitarianisme Stalin dan Polpot di Kamboja. Namun kelemahan argumen tersebut, menurut Roy Murtadho (2015) adalah: pertama, meletakkan Marxisme bukan sebagai ilmu pengetahuan, melainkan hanya sebagai ideologi jumud (statis) yang kebal kritik, tapi implikasinya menciptakan politisi tukang.

Kedua, melihat marxisme tidak pada nosi (makna) utama marxisme yang mengandaikan dirinya sebagai sosialisme yang ilmiah. Ketiga, menempatkan kekeliruan Marxisme pada figur semacam Stalin dan Polpot maka sama juga dengan menempatkan Muawiyah bin Abi Sufyan dan Yazid bin Muawiyah sebagai representasi Islam (- Roy Murtadho).

Bagaimana rezim Orba dan kaum Orbais seperti Arief Puyono melihat komunisme dalam konteks sejarah Indonesia?

Pertama, mereka menganggap komunisme  atau PKI sebagai ajaran anti Tuhan dan anti agama. Namun tidak ada satu teks tertulis sekalipun dalam semua dokumen PKI yang mensyaratkan dan menganjurkan anggotanya untuk menjadi ateis dan anti agama.

Dalam dokumen-dokumen resmi PKI atau dalam hampir semua pikiran tokoh-tokoh PKI, yang menggema hanya anti imperialisme, anti kapitalisme dan anti feodalisme. Selebihnya tidak. Maka kampanye kaum Orbais yang mengatakan bahwa PKI dengan sendirinya ateis terang keliru dan menyesatkan.

Kedua, PKI dituduh sebagai anti Pancasila. Tuduhan anti Pancasila merupakan turunan dari tuduhan anti Tuhan. PKI harus dibumihanguskan karena oleh Orde Baru dianggap mengajarkan anti Tuhan dan dengan demikian anti Pancasila (sila pertama).

Tuduhan ini jelas tidak berdasar karena sejak semula PKI menerima Pancasila dan menjadi partai yang konsisten mengambil jalan revolusioner melawan Belanda. Namun sayangnya, sedikit dari pelajar dan pemuda di negeri ini, termasuk politisi selevel Arief Puyono, yang memahaminya karena nama PKI telah dihapus dari lembaran sejarah bangsa dan ingatan kita.

Sebagai contoh. Seorang Amir Syarifudin, yang merupakan otak Sumpah Pemuda 1928, mantan Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri di era revolusi kemerdekaan yang nantinya hidupnya berakhir secara tragis ditembus timah panas tentara di masa Kabinet Hatta.

Nama Amir Syarifuddin, pengorbanannya untuk Indonesia, dihapus dari Sejarah Indonesia. Figur lain seperti Soemarsono, pemimpin pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, dicoret dari sejarah Bangsa Indonesia.

Ketiga, melihat komunisme sebagai paham yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Bagi kaum Orbais, Arief Puyono di dalamnya,  perjuangan kelas dan jalan revolusioner marxisme dianggap sebagai sikap semau-maunya, brutal, dan tak tahu aturan. Pekikan Marx, “This bursts asunder. The knell of capitalist private property sounds.
The expropriators are expropriaded” (dekam akan meledak bertebaran. Lonceng kematian hak milik pribadi kaum kapitalis telah berbunyi.Tukang rampok sekarang dirampok),dianggap oleh mereka sebagai landasan pembenaran Marx dan marxisme brutal.

Padahal membincangkan parameter kekerasan akan menggiring siapapun pada medan perdebatan yang tak ada sudahnya. Karena hampir semua ideologi di dunia ini memiliki dimensi kekerasannya sendiri.

AS penganut ideologi liberalis, merupakan aktor penting kekerasan di Timur Tengah, dengan menyulut Perang Irak, 2003 – 20011, sehingga negara ini bangkrut sejak tahun 2008.

AS pula sebagai aktor kekerasan di Afganistan, 1994 – 1996 dengan mendidik jihadis-jihadis Islam radikal untuk mengusir Soviet. Merasa di atas angin di Afganistan, maka jihadis-jihadis didikan AS kemudian melahirkan kelompok teroris selevel Al-Qaida, The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Timur Tengah dan di Philipina Selatan.

Bahkan, kalau boleh jujur, agama apapun di dunia ini yang mengajarkan keluhuran dan kebajikan, tak ada yang tidak pernah bersimbah darah selama rentang perjalanan sejarahnya. Maka menghakimi marxisme, leninisme, maxisme sebagai satu-satunya ideologi penganjur kekerasan sama saja dengan menuding diri sendiri.

RRC Kalahkan AS

Paling kasat mata sekarang, berubahnya konstalasi pertumbuhan ekonomi dunia dari AS ke Republik Rakyat Cina (RRC) sejak tahun 2005. Dulu, mata ajar di sekolah, dalam ranah psikologis peserta didik, ideologi sosialis itu menakutkan, karena identik dengan komunis, identik dengan PKI.

Sosialis menjadi hantu menakutkan, karena simbol kemiskinan, keterbelakangan dan ketidaktatoran. Tapi sejak tahun 2005, RRC, sebuah negara komunis, penganut ideologi sosialis, dinyatakan sebagai negara paling kaya di dunia yang sangat sulit ditandingi keperkasaannya untuk beberapa dekade mendatang.

Malah Jeff Willerstein, sfat pengajar Penn University, AS, mengklaim, kemajuan signifikan RRC di bidang ekonomi, politik dan pertahanan dalam 25 tahun terakhir sejak 2005, mengalahkan perjuangan AS yang diperoleh dengan susah payah selama dua abad. Kunci kemajuan RRC, adalah inovatif, dinamis dan punya ambisi untuk maju.

Kuartal pertama 2017 RRC membukukan pertumbuhan ekonomi 6,9 persen, sebuah pertumbuhan ekonomi paling stabil di seluruh dunia. Sebagai negara paling kaya, investasi RRC tahun 2016 terbesar di dunia berada di AS, urutan kedua di Indonesia, kemudian disusul di Federasi Rusia dan India.

Dalam kondisi perkembangan ekonomi, politik dan pertahanan global yang sangat dinamis, dimana kepongahan AS sudah dikalahkan RRC, maka isu PKI dan atau menuduh pihak lain PKI, hanya akan jadi bahan tertawaan banyak pihak.

Semoga permintaan maaf F.X. Arief Puyono kepada PDIP di Jakarta di atas materai Rp6 ribu, Selasa, 1 Agustus  2017, bisa meredakan ketegangan politik, dan perdebatan tentang menuding pihak lain PKI tanpa ukung pangkal yang sama sekali tidak produktif, tidak terulang kembali di masa mendatang. 

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru