Minggu, 13 Juli 2025

Membumikan Investasi Dana Haji

Ketua Umum PPP, M. Romahurmuziy (Rommy) (Ist)

Polemik penggunaan dana haji yang akan digunakan dalam investasi terus berlangsung. Bergelora.com menurunkan Kulwit Ketua Umum PPP, M. Romahurmuziy (Rommy) tentang polemik Pengelolaan Keuangan Haji. (Redaksi)

 Oleh: M. Romahurmuziy

MUMPUNG di tanah suci, saya coba urun rembug tanggapi polemik soal dana haji, menyusul pelantikan BPKH oleh pak Jokowi. BPKH adalah Badan Pengelola Keuangan Haji, lembaga yang dibentuk sebagai amanat Undang-Undang No. 34/2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji

BPKH terdiri atas orang-orang berintegritas di Badan Pengawas dan Badan Pelaksana yang diseleksi oleh Panitia Seleksi, kemudian dipilih oleh DPR. Dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang “waiting list” selama ini sebelum terbentuknya BPKH telah diinvestasikan ke instrumen bank. Hal ini dimaksudkan agar dana yang sudah mencapai sekitar Rp 98 trilyun dan terus bertambah dapat memberi imbal untuk subsidi jama’ah.

Mestinya keberangkatan haji berbiaya Rp 40 juta-an, namun karena setiap jama’ah mendapat imbal hasil, maka mrk hanya membayar Rp 30 juta-an. Imbal hasil selama ini tentu tidak sesederhana Rp 98 trilyun x 14% bunga pinjaman per tahun atau Rp 14 trilyun per tahun. Dari imbal Rp 14 trilyun & 200rb-an jama’ah haji/tahun diasumsikan keberangkatan jama’ah mestinya gratis? Itu hitungan menyesatkan. Karena investasi dana haji selama ini hanya ditanam di instrumen bank yang super aman yaitu deposito atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Karena itu imbal hasil dana haji hanya dikisaran Sukuk atau BI rate yang saat ini sekitar 5-6% per tahun. Ke depan, seiring imbal hasil yang bertambah karena akumulasi setoran calon jama’ah, dipastikan BPIH akan semakin turun atau tidak naik.

Soal komponen apa saja yang boleh di-BPIH-kan inipun harus didasarkan atas persetujuan Komisi Agama di parlemen. Karena keputusan tentang besaran BPIH selalu didasarkan atas konsultasi Pemerintah dalam hal ini Kemenag, kepada rakyat dalam hal ini Komisi 8 DPR.

Prinsip Syariah

Pasca lahirnya Undang-Undang No. 34/2014, investasi dana haji harus didasarkan prinsip syariah, tidak boleh lagi di instrumen bank konvensional. Pasca BPKH terbentuk, dana haji lebih dioptimalkan untuk aneka investasi syar’i dengan tujuan meningkatkan imbal hasil namun tetap aman. Hasil pengelolaan keuangan haji disamping untuk sebesar-besarnya kepentingan jama’ah, diharapkan juga bermanfaat untuk rakyat banyak. Seperti peningkatan kualitas penyelenggaraan haji, penurunan Biaya BPIH  dan kemaslahatan jama’ah haji lainnya, di satu sisi. Sisi lain, ditanam di emas, SBSN, obligasi syariah, investasi terkait haji, atau pembangunan infrastruktur, yang sudah terbukti berjalan imbal hasilnya.

Instrumen investasi keuangan haji mesti beragam untuk menyebar resiko, karena ini dana calon jama’ah haji, BUKAN milik negara. Pelaksanaan investasi harus penuh kehati-hatian. Yang terpenting harus memenuhi prinsip-prinsip syariah dan perundang-undangan yang berlaku.

Fatwa MUI

Beberapa pihak yang menolak dan memasalahkan investasi menggunakan Dana BPIH , ada perlunya mereka membaca Keputusan Ijtima’ Fatwa MUI 2012. Tepatnya Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV/2012 tentang Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Yang Masuk Daftar Tunggu (Waiting List).

Disebutkan, dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dalam rekening Menteri Agama boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang produktif. Diantaranya penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk lainya. Fatwa MUI 2012 tersebut sejalan dengan aturan perundang-undangan terkait pengelolaan dana haji.

Undang-Undang Nomor 34/ 2014 mengatur, BPKH selaku Wakil menerima mandat dari calon jama’ah selaku Muwakkil untuk menerima dan mengelola setoran BPIH. Terhadap pihak yang berpendapat bahwa pemerintah/BPKH harus meminta izin kpd jemaah haji, secara yuridis tidak lagi perlu. Sebab, untuk mengelola dana haji oleh Kemenag/BPKH, calon jama’ah telah mengisi formulir akad “wakalah” saat membayar setoran awal BPIH.

Dalam akad tersebut, calon jama’ah selaku Muwakkil memberi kuasa kepada Kemenag selaku Wakil utk mengelola dana setoran awal BPIH. Penerapan akad Wakalah sejatinya juga diatur di Undang-Undang Nomor 34/2014 tetang Pengelolaan Keuangan Haji. Plus diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Kalau hari-hari ini masih ada yang mempertanyakan transparansi dana haji, sebenarnya DPR sudah menjawab keresahan itu. Dengan menerbitkan Undang-Undang No 34/2014 yang mengatur tata kelola keuangan haji yang memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance.

Undang-Undang No 34/2014 memenuhi tuntutan transparansi, akuntabilitas, dan kredibilitas pengelolaan keuangan haji. Bahkan Badan Pengawas & Badan Pelaksana BPKH saat ini berisi kombinasi ideal dari eks birokrat, akademisi, bankir, dan wakil-wakil umat. Yang memilih BPKH adalah juga Komisi Agama DPR RI, setelah diseleksi ketat oleh Panitia Seleksi.

Faktor Politis

Kalau hari-hari ini masih ada yang memasalahkan pengelolaan keuangan haji, saya melihat itu lebih karena faktor politis, bukan karena aspek yuridis. Aspek politisnya adalah, upaya tak berkesudahan memperhadapkan pemerintahan ini kepada umat Islam.

Dimulai dari kontestasi tak berkesudahan sejak pilpres 2014, diikuti dengan upaya deligitimasi keislaman presiden Jokowi. Padahal, sejak 17 Agustus 1945, Republik ini tidak pernah dipimpin oleh seorang non-muslim. Tapi selalu ada saja sebagian umat Islam yang mengatakan, rezim A atau B dan seterusnya ini berhadapan dengan Islam. Islam yang mana?

Segala yang disampaikan oleh pak Jokowi atau pemerintah, hampir selalu dibelokkan untuk diperhadapkan pada Islam. Bahkan masih ada yang memviralkan soal PKI yang seolah-olah ‘hidup kembali’, padahal itu ilusi dan se-mata-mata agitasi politik.

Tentu agitasi tentang hidupnya kembali PKI juga untuk kepentingan politik yang menyuarakan. Jadi ini soal manuver politik.

Sampai-sampai harus ada yang minta maaf diatas kertas bermaterai karena agitasinya soal PKI. Lebih baik demikian daripada menyesatkan. Mereka sengaja menutupi sejarah bahwa TAP MPRS XXV/1966 yang melarang PKI dan paham komunisme seolah tiada, padahal masih berlaku.

Logika Miring

Akhirnya seruan soal penggunaan dana haji untuk infrastruktur pun digoreng sedemikian rupa seolah itu inkonstitusional. Padahal pengelolaan dana haji Republik Indonesia jauh lebih prudent dan konservatif ketimbang misal Lembaga Tabunghaji Malaysia (LTM).

LTM investasi properti saat ini market bullish di bursa London, properti di Australia, gedung perkantoran di Putrajaya dan lainnya. LTM juga investasi di equity market, pasar modal, dan fixed income seperti deposito dan sukuk.

Bayangkan kalau BPKH investasi membeli jalan tol Jagorawi atau Cikampek yang cash inflow-nya sudah terbukti sangat menguntungkan.

Berapa banyak banyak yang didapat Jasa Marga yang bisa digunakan percepat pembangunan infrastruktur di tempat lain yang sangat tertinggal. Berapa besar return yang juga bisa didapat BPKH untuk manaikkan imbal hasil dana haji ketimbang hanya deposito atau sukuk.

Mestinya logika ini yang harus dipahami terlebih dulu oleh yang tidak setuju dana haji untuk infrastruktur. Bukan asal main tolak dengan logika miring.

Padahal Nabi SAW mengajarkan:

أنظر ماقال ولاتنظرمن قال

Lihatlah apa yang disampaikan, bukan siapa yg menyampaikan

Imam Nawawi, salah seorang mujtahid besar madzhab Syafi’i, juga mengatakan:

نحن نحكم بالظواهر والله يتول السراءر

Maknanya: kita menghukumi berdasarkan apa yang tampak, hanya Allah lah yang bisa menghukumi apa yang tidak tampak

Kalau semua pendapat didasarkan atas su’uzhon atau informasi miring, maka takkan ada kehidupan kenegaraan yang harmonis. Alih-alih kehidupan harmonis, PR besar bangsa ini adalah kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.

Salah satu solusinya adalah, pembangunan besar-besaran infrastruktur. Yang memang sudah lama berjalan lambat. Selama 72 tahun kita merdeka, masih seperlima jumlah penduduk yang belum menikmati listrik. Sementara separo penduduk free ber-internet ria.

Gambaran lain, penduduk RI nomor 4 di dunia, tapi ekonomi kita masih nomor 10. Artinya, kita masih harus bekerja lebih keras. Padahal sudah Orla (Orde Lama), Orba (Orde Baru), OrRef (Orde Reformasi) dan 7 presiden berjalan. Tapi saat ini justru yang meruyak adalah kegaduhan.

Kita senang meributkan persoalan sepele di DN (dalam negeri-red), tapi persoalan besar seperti kemiskinan, tak banyak yang singsingkan lengan. Mungkin karena kerja-kerja entaskan kemiskinan itu lama, sepi publikasi & tidak ‘heroik’ ketimbang berbagai aksi yang liput-able. Apalagi dibumbui label nasionalis atau label agamis. Tidak salah, tapi seolah itu menjadikan pelakunya yang terhebat.

Padahal Rasul SAW mengajarkan agama yang sangat membumi,–mengentas kemiskinan itu lah yang menyempurna ibadah seseorang.

Kemiskinan tidak bisa dientas sendirian. Ia butuh keroyokan,– pemerintah, DPR, ormas, swasta, BUMN & lembaga keuangan mikro.

Olehnya, marilah kita hentikan segala bentuk kebencian, provokasi, apalagi penerusan berita-berita fitnah. Hentikan meneruskan informasi yang didasari logika miring, tanpa disaring, apalagi hanya untu mengejar bunyi yang nyaring.

Ingat pepatah lama,–tong kosong bunyinya nyaring. Lebih baik menyesal tapi berbuat daripada menggerutu sepanjang waktu.

Dari tanah suci saya berdoa, semoga Indonesia makin stabil negaranya, damai kehidupan warganya dan sejahtera rakyatnya. Wallahu a’lam bi murodihi. Kepada Allah SWT lah seluruh kebenaran akhirnya disandarkan. Salam

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru