JAKARTA- Lagi-lagi! Seorang aktifis lingkungan hidup dan HAM kembali diculik. Belakangan diketahui, Tubagus Budhi Firbany ditangkap di Bandung oleh satuan polisi di Bandung, Jawa Barat. Diduga penangkapan karena Budhi aktif melakukan advokasi masyarakat nelayan dan rakyat kecil yang melawan penambangan timah ilegal di Pulau Bangka, Bangka Belitung dan tempat lainnya. Hal ini disampaikan oleh kakaknya, Linda Christanty, seorang sastrawan yang menerima penghargaan Southeast Asian Write Awards, pada tahun 2013.
Kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (24/8) Linda Chistanty meminta agar Kapolri, Jenderal Tito Karnavian menelusuri dan menindak tegas terhadap setiap aparat kepolisian yang mengkriminalisasi aktifis yang sedang membela rakyat kecil.
“Dua minggu dia hilang dan sekarang mendekam di tahanan Polres Bangka. Kasus ini juga membuktikan bahwa berkali-kali Kapolri menindak oknum Kapolres Bangka, tetapi Budhi tetap saja diculik dan diperlakukan sewenang-wenang,” demikian jelasnya dalam siaran persnya.
Menurut Linda, kasus ini juga menunjukkan sebuah konfrontasi oknum Kapolres Bangka melawan Kapolri dan hukum serta undang-undang negara Indonesia. “Mengingat keganjilan kasus ini dan penyalahgunaan hukum yang dilakukan oknum aparat yang terlibat, maka kasus ini harus ini dibatalkan demi hukum. Budhi harus dibebaskan tanpa syarat,” tegasnya.
Kronologi Kasus
Linda menuliskan kronologi peristiwa adiknya. Tubagus Budhi Firbany alias Budi Tikal alias Budi alias Panglima adalah penasihat hukum yang telah menangani ratusan kasus hukum untuk membantu masyarakat kecil dan nelayan di Pulau Bangka dan berbagai tempat di Indonesia secara suka rela, yang menempuh segala risiko dan tekanan.
Budhi dilantik sebagai panglima adat budaya Bugis dan Melayu di masa Gubernur Bangka Belitung, Rustam Effendi, sehingga “Panglima” menjadi nama keduanya.
Pada 3 Agustus 2017, Budhi diyakini diculik oleh sepasukan oknum polisi bersenjata saat dia keluar dari kantor Polsek Sukasari, Bandung, Jawa Barat. Dia berada di kantor Polsek Sukasari, Bandung, karena tengah memberikan keterangan sebagai korban pengeroyokan dan penganiayaan (pasal 170 KUHP dan pasal 351 KUHP).
Salah seorang oknum mengaku sebagai kepala unit Buser dari Polres Bangka dan seorang oknum lagi mengaku sebagai penyidik perkara Kanit Resum dari Polres Bangka, yang membawa sepucuk surat dan satu-satunya surat, yaitu surat perintah membawa saksi dari oknum Kapolres Bangka saat ini.
Dalam surat perintah membawa saksi itu Budhi juga ditetapkan sebagai tersangka kejahatan berdasarkan sejumlah pasal KUHP dan undang-undang, yaitu Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Ayat 1 yang antara lain berkenaan dengan memimpin dan mengorganisasi pemberontakan bersenjata terhadap negara Republik Indonesia dan separatism, pasal 156 KUHP tentang melawan negara dan pemerintahan yang sah, pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014, dan pasal 55 KUHP dengan tuduhan menyuruh melakukan kejahatan.
Tindakan sepasukan oknum polisi dari Polres Bangka ini ternyata kait dengan peristiwa pada 15 Januari 2015 di kawasan industri Jelitik, Pulau Bangka. Ketika itu Budhi, masyarakat nelayan dan aparat keamanan TNI Angkatan Laut bersama-sama melakukan kewajiban hukum setiap warga negara RI untuk mengurungkan tindak pidana penambangan timah ilegal yang dilakukan oleh ratusan orang di kawasan industri tersebut, di gudang PT. Pulomas. Selain Ketua Umum Forum Bersama Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Nelayan di wilayah Bangka Belitung, Budhi adalah penasihat hukum PT. Pulomas.
Pengurungan tindak pidana penambangan timah ilegal ini telah terjadi berulang kali dan dilaksanakan bersama aparat keamanan negara, tetapi penambang timah ilegal tetap melakukan penambangan ilegal. Para penambang timah ilegal beraksi di gudang PT. Pulomas, karena PT. Pulomas membuka muara yang ada di depan gudang untuk membuat 7.000-an kapal nelayan yang mayoritas suku Bugis bisa masuk dan melaut.
Tiba-tiba Kapolres Bangka AKBP I Bagus Rai Erliyanto melarang muara dibuka tanpa alasan. Dia bahkan sempat menutup muara selama sebulan, sehingga kapal-kapal nelayan tidak bisa melaut dan nelayan-nelayan tidak berpenghasilan. Belum puas dengan itu, dia lantas mengerahkan para penambang ilegal untuk melakukan penambangan timah ilegal di gudang PT. Pulomas dan para penambang timah ilegal ini mengusir nelayan-nelayan yang hendak melaut selama lima hari berturut-turut.
Kasus ini ditindak oleh Kapolri, sehingga Kapolres Bangka AKBP I Bagus Rai Erliyanto langsung diperiksa oleh Irwasda dan Propam. Di tengah proses pemeriksaannya Kapolres Bangka justru membalas dengan mengatur laporannya berdasarkan kesaksian para penambang timah ilegal dan melakukan proses hukum secepat kilat atas dasar laporan mereka.
Bukti bahwa perkara ini direkayasa adalah pada 15 Januari 2015 oknum Kasat Intel Polres Bangka membuat pernyataan di media lokal bahwa dirinya berada di lokasi kejadian dan berjasa mencegah bentrokan antara ratusan penambang melawan aparat keamanan TNI Angkatan Laut yang membantu pihak keamanan PT. Pulomas dan masyarakat nelayan. Padahal oknum yang bersangkutan tidak berada di lokasi.
Peristiwa itu juga bukan bentrokan, melainkan aksi ratusan penambang timah ilegal menyerang aparat negara dan masyarakat.
Pada 17 Januari 2015 sepasukan oknum polisi bersenjata api dengan peluru tajam mengobrak-abrik bandara Depati Amir, Pangkalpinang. Mereka merusak dan merampas CCTV di ruang VVIP, mencari Budhi.
Petugas kepolisian dari Polda Bangka Belitung, petugas keamanan bandara, petugas Angkasa Pura, dan petugas protokol Bangka Belitung yang berada di bandara menghalangi, karena pasukan ini tidak memiliki surat perintah penahanan dan penangkapan orang.
Kapolri mengambil tindakan. Kapolres Bangka I Bagus Rai Erliyanto dimutasikan ke Maluku. Lebih dari dua tahun berlalu sejak kasus itu, intimidasi dan ancaman terhadap masyarakat nelayan belum berhenti, baik dari oknum kepolisian maupun penambang timah ilegal. Budhi dinyatakan berstatus DPO oleh oknum polisi, sedangkan berdasarkan informasi dari Mabes Polri, dia bukan DPO.
Tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum tidak hanya dilakukan Kapolres Bangka I Bagus Rai Erliyanto, tapi dilanjutkan oleh oknum Kapolres Bangka yang menjadi penggantinya dengan memerintahkan penculikan dan penahanan Budi dengan dugaan bertujuan membekingi penambangan ilegal untuk kasus yang sama.
Budhi juga dituduh melarikan diri, meski dia bukan saksi ataupun tersangka kasus hukum saat meninggalkan Bangka.
“Pada 7 Agustus 2017 Budhi di-BAP sebagai saksi dan tersangka oleh oknum polisi Polres Bangka. Tapi oknum yang bersangkutan tidak bersedia memperlihatkan isi BAP sampai hari ini,” jelas Linda. (Web Warouw)