Selasa, 21 Oktober 2025

Genjoot..! 3 Tahun Kerja ESDM: Dari Elektrifikasi Nasional Sampai BBM Satu Harga

Rasio elektrifikasi Indonesia tercatat sebesar 93,08%. (Ist)

JAKARTA- Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) adalah sektor yang paling digenjot oleh Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan kedaulatan energi untuk memaksimalkan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, hingga bulan September 2017, Rasio elektrifikasi Indonesia tercatat sebesar 93,08%. Angka ini telah melebihi target rasio elektrifikasi 2017 yang sebesar 92,75%. Jika ditelisik ke belakang, pada tahun 2016, rasio elektrifikasi sebesar 91,16% Sementara pada 2017 sebesar 92,75%. Capaian ini merupakan upaya Pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap listrik, baik melalui jaringan PT PLN (Persero) maupun dan Pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP).

Berdasarkan data, 94,1 persen wilayah Indonesia rasio elektrifikasinya berada di atas 70%. Provinsi Jawa Barat menempati posisi tertinggi pencapaian elektrifikasi , yaitu di angka 99,87%. Provinsi Banten sampai dengan Provinsi Jawa Timur, pencapaian elektrifikasinya juga terbilang positif rata-rata masih berada di atas 90%.

Beralih ke Provinsi Maluku Utara, rasio elektrifikasinya sudah mencapai 99,53%. Provinsi Maluku Utara menempati posisi kedua tertinggi di Indonesia setelah Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya, rasio elektrifikasi ketiga tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Timur yang sudah mencapai 99,29%. Angka ini juga tidak jauh berbeda dengan rasio elektrifikasi di Provinsi Bangka Belitung yang sudah mencapai 99%. Untuk Sulawesi, elektrifikasi tertinggi ditempati oleh Provinsi Sulawesi Selatan yang sudah mencapai 95,24% dan Pulau Bali yang juga sudah mencapai 94,84%.

Namun, kondisi berbeda terlihat di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua, dengan rasio elektrifikasi masing-masing sebesar 58,99% dan 48,91%. Berdasarkan hal tersebut, tidak mengherankan jika saat ini wilayah Timur Indonesia menjadi fokus Pemerintah fokus dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap listrik.

Pemerintah menerapkan tiga cara dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap listrik, yakni ekspansi atau perluasan jaringan listrik melalui PT PLN (Persero), memberikan pra-elektrifikasi bagi masyarakat yang tinggalnya tersebar dan jaraknya jauh dari instalasi listrik PLN, serta mengembangkan micro grid-off grid untuk masyarakat yang tinggal jauh dari instalasi listrik PLN, tetapi tinggal bersama dalam satu wilayah.

Di samping itu, saat ini pemerintah juga fokus pada lima pilar dalam meningkatkan tata kelola sektor ketenagalistrikan di Indonesia. Kelima pilar yang tersebut adalah meningkatnya rasio elektrifikasi, distribusi yang adil, keberlanjutan terkait kesetaraan dan keberlanjutan, iklim investasi yang kondusif dan pertumbuhan ekonomi serta tata kelola yang baik.

Terkait masih rendahnya rasio elektrifikasi di Papua dan Maluku, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, menegaskan bahwa Pemerintah akan meningkatkan rasio elektrifikasi di kedua wilayah tersebut, karena penyediaan listrik yang mencukupi merupakan bagian dari pembangunan yang adil dan merata.

JTB merupakan proyek pembangunan gas onshore yang paling besar, dengan cadangan mencapai 2 TCF (Trillion Cubic Feet) dan produksi hingga 330 MMSCFD. (Ist)

Proyek Gas JTB

Langkah Pemerintah mendorong pembangunan proyek gas Jambangan Tiung Biru (JTB) bukan tanpa alasan. Selain potensinya yang besar untuk meningkatkan pasokan gas di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah, JTB diharapkan memberikan multiplier effect kepada masyarakat sekitarnya.

Sesuai arahan Presiden, pembangunan proyek minyak dan gas bumi (migas) harus bisa menciptakan multiplier effect di daerah masing-masing. Oleh karenanya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan menyampaikan pentingnya melibatkan sebanyak mungkin pekerja setempat dalam pembangunan JTB ini. Dengan kapasitas dan produksi JTB yang cukup besar, Menteri Jonan memperkirakan akan ada lebih dari 6.000 orang tenaga kerja yang terserap selama masa konstruksi.

Dalam 10 tahun terakhir, JTB merupakan proyek pembangunan gas onshore yang paling besar, dengan cadangan mencapai 2 TCF (Trillion Cubic Feet) dan produksi hingga 330 MMSCFD. Proyek Gas JTB ini akan dikelola oleh PT Pertamina EP Cepu dengan rencana produksi selama 16 tahun (plateu) dan total masa produksi hingga 30 tahun. Masa konstruksi diperkirakan memakan waktu selama 4 tahun, sehingga Commercial Operation Date (COD) diperkirakan sudah dapat dilakukan pada awal tahun 2021.

Investasi yang harus di gelontorkan oleh Pertamina EP untuk pengembangan JTB adalah sebesar USD 1.547 Miliar. Pertamina sebagai pengelola proyek gas JTB akan mengalirkan 100 MMSCFD untuk memasok kebutuhan Pembangkit Listrik PLN di wilayah Gresik dan Tambak Lorok. Selain dimanfaatkan untuk pembangkit listrik, sebanyak 72 MMSCFD gas JTB akan di salurkan kepada beberapa industri di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sedangkan di sisi hilir, Pertagas Niaga berkesempatan membangun pipa gas penyalur mulai dari Semarang, Bojonegoro, Blora dan Gresik dengan panjang pipa sejauh 267 km. Pertagas Niaga harus menyediakan investasi sebesar USD 515 untuk pembangunan infrastruktur distribusi gas JTB tersebut.

Lapangan Gas JTB adalah gabungan/unitisasi dari bagian Wilayah Kerja Cepu atau Blok Cepu serta Wilayah Kerja Pertamina EP. Lapangan Gas JTB diproyeksikan menjadi lapangan gas onshore terbesar di Indonesia. JTB akan memiliki gross production sebesar 330 MMSCFD termasuk CO2 sebesar 34%, dengan Lean Gas sebanyak 217 MMSCFD. Dari jumlah tersebut sebesar 172 MMSCFD dijual sedangkan sisanya sebanyak 45 MMSCFD dialokasikan untuk operasional proyek gas JTB.

Hampir 50 tahun Blok Mahakam dikelola oleh Total E&P Indonesie, mulai 1 Januari 2018, Pemerintah mengalihkelokakan Blok tersebut kepada Pertamina yang merupakan representasi Negara. (Ist)

Ambil Alih Blok Mahakam

Setelah hampir 50 tahun Blok Mahakam dikelola oleh Total E&P Indonesie, mulai 1 Januari 2018, Pemerintah megalihkelokakan Blok tersebut kepada Pertamina yang merupakan representasi Negara.Surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tanggal 14 April 2015 kepada Kepala SKK Migas dan Direktur Utama Pertamina menjadi milestone dalam proses alih kelola Blok Mahakam yang merupakan produsen gas terbesar Indonesia.

Agar transisi pengelolaan dapat dilaksanakan dengan mulus, pada 16 Desember 2015 telah dibuat Head Of Agreement(HoA) antara Pertamina dengan Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation. Salah satu substasi HoA yaitu Transfer Agreement untuk mempertahakan kelanjutan operasi selama masa transisi pasca 2017, mencakup proses peralihan operator yang baik dari Total kepada Pertamina, dengan mempertimbangkan hak-hak dan kewajiban semua pihak, baik kontraktor lama maupun baru, termasuk proses pengalihan karyawan Total di Blok Mahakam menjadi karyawan Pertamina, serta penyiapan anggaran dan rencana kerja pasca 31 Desember 2017 oleh Pertamina melalui PT Pertamina Hulu Mahakam (PT PHM).

Selanjutnya, pada tanggal 25 Oktober 2016, SKK Migas dan PT PHM juga menandatangani amandemen Kontrak Bagi Hasil Blok Mahakam. Amandemen tersebut menjadi dasar bagi Pertamina untuk dapat berinvestasi lebih awal untuk melakukan kegiatan pengeboran Blok Mahakam dalam rangka menjaga tingkat produksi. Amandemen Kontrak Bagi Hasil ini dapat memberikan ruang kepada Pertamina yang berencana untuk melakukan investasi mulai tahun 2017 sebelum pengelolaan penuh oleh Pertamina pada Januari 2018.

Pada tanggal 11 Maret 2017, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan melakukan peninjauan langsung ke Blok Mahakam untuk memastikan agar kegiatan operasi blok tersebut berjalan dengan baik pada masa transisi. Menteri ESDM juga memastikan agar produksi harus dipertahankan dan operasi harus efisien sehingga biaya tidak boleh naik dan hasil produksi tidak boleh turun.

Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Pertamina apabila ingin mengajak mitra untuk mengelola Blok Mahakam. Yang terpenting, BUMN tersebut harus menguasai minimal 51% saham dari total 100%. Sedangkan 10% lainnya dimiliki Pemerintah Daerah sesuai dengan aturan yang ada. Sehingga ada sisa 39% saham yang dapat di-share down ke pihak lain.

Blok Mahakam meliputi lapangan gas Peciko, Tunu, Tambora, Sisi – Nubi dan South Mahakam. Selain itu termasuk juga lapangan minyak Bekapai dan Handil. Wilayah Kerja (WK) ini memiliki luas 2.738,51 km2 dan terletak di Provinsi Kalimantan Timur serta merupakan wilayah kerja onshore dan offshore. WK Mahakam mulai berproduksi pertama kali pada tahun 1974. Rata-rata produksi tahunan WK Mahakam saat ini adalah gas sebesar 1.635 mmscfd (juta kaki kubik per hari) serta minyak bumi sebesar 63.000 bopd (barel oil per hari).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membagikan 16.981 paket konverter kit untuk nelayan kecil atau senilai Rp 120,92 Miliar. (Ist)

LPG Untuk Kapal Nelayan

Upaya Pemerintah dalam mewujudkan program konversi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke Bahan Bakar Gas (BBG), salah satunya dilakukan melalui program pembagian konverter kit gratis kepada nelayan kecil di Indonesia. Hingga akhir tahun 2017, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan membagikan 16.981 paket konverter kit untuk nelayan kecil atau senilai Rp 120,92 Miliar.

Langkah ini diakui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, sebagai salah satu bentuk komitmen Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebisa mungkin dialokasikan kembali untuk kegiatan yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat.

Pembagian konverter kit ini bukan pertama kali dilakukan. Pada tahun 2016 lalu, Kementerian ESDM juga telah membagikan 5.473 unit konverter kit. Paket perdana konversi ini dialokasikan untuk nelayan di 5 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.

Penggunaan konverter kit bagi nelayan kecil ini nyatanya berdampak positif dan mendorong peningkatan kesejahteraan nelayan. Dengan menggunakan konverter kit nelayan dapat menghemat rata-rata Rp 40.000,00 setiap harinya.

Selain terbukti lebih hemat, konverter kit juga dikenal sangat ramah lingkungan. Selain itu, penggunaan konverter kit dapat menekan meningkatnya emisi gas karbon monoksida serta mengurangi kerusakan terumbu karang akibat tumpahan minyak dari perahu nelayan.

Berdasarkan penelitian dan pengalaman di lapangan, penggunaan 7 liter bensin dapat diganti dengan 1 tabung LPG 3 Kg. Harga yang dibayarkan untuk 1 tabung LPG 3 Kg adalah Rp.33.000 (harga 3 Kg LPG non-subsidi) sedangkan harga BBM mencapai Rp.52.500 (harga 7 liter Bensin non-subsidi/Pertalite). Dari perhitungan sederhana tersebut, nelayan yang menggunakan konverter kit dapat menghemat sebesar Rp.19.500 dari satu tabung gas yang digunakan.

Selain itu, dengan kata lain, penggunaan LPG memberikan penghematan sampai dengan 30% (dengan asumsi tanpa subsidi), namun bila dihitung dengan keadaan sesungguhnya dengan harga jual yang telah di subsidi seperti yang berlaku sekarang ini baik untuk bensin maupun LPG, maka penghematan yang diperoleh oleh nelayan bisa mencapai 50%. Dengan menggunakan paket konverter kit ini, nelayan bisa menghemat biaya bahan bakar hingga 50% atau setengahnya, yang biasanya menghabiskan misalkan Rp 100 ribu untuk membeli bensin (BBM), bisa digantikan dengan 2 tabung LPG saja yang jelas harganya jauh lebih murah

Hingga 2 Oktober 2017, telah diselesaikan pembangunan lembaga penyalur BBM Satu Harga di 25 lokasi pada 11 Propinsi. (Ist)

BBM Satu Harga

Pemerintah menerapkan kebijakan BBM satu harga di berbagai pelosok tanah air dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan berkeadilan ini dicanangkan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Yahokimo, Papua pada 18 Oktober 2017. Dalam implementasi kebijakan tersebut, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera menetapkan Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2016 tentang Percepatan Pemberlakuan Satu Harga Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan Secara Nasional.

Kebijakan BBM satu harga dilaksanakan dengan membangun lembaga penyalur BBM di 150 lokasi pada 148 kabupaten hingga tahun 2019. Karena lokasi-lokasi tersebut merupakan daerah terpencil dengan akses sulit, maka harga BBM menjadi sangat mahal. Di kabupaten Puncak, Papua misalnya, harga BBM mencapai Rp. 50.000 hingga Rp. 100.000 per liter. Dengan kebijakan BBM satu harga sekarang harganya menjadi seperti di SPBU pada umumnya yaitu sebesar Rp. 5.150 per liter untuk Solar dan Rp. 6.450 per liter untuk Premium.

Harga BBM yang sama sudah sangat dinantikan oleh masyarakat di berbagai daerah terpencil di seluruh Indonesia terutama di wilayah Papua. Hingga 2 Oktober 2017, telah diselesaikan pembangunan lembaga penyalur di 25 lokasipada 11 Propinsi. Sebelas Propinsi tersebut yaitu Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Maluku, NTT, NTB, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara Kalimantan Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Kini masyarakat sekitar di 25 lokasi tersebut, dapat menikmati harga BBM yang jauh lebih murah dibanding sebelumnya. Dari total rencana pembangunan lembaga penyalur di 150 lokasi, sebanyak 54 lokasi ditargetkan selesai tahun 2017. Sedangkan untuk tahun 2018 dan 2019 masing-masing di 50 lokasi dan 46 lokasi. (ZKA Warouw )

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru