Peringatan Kelahiran Yesus Kristus dalam setiap natal seharusnya merefleksikan kelahiran dari kehidupan baru penuh cinta kasih tanpa penghisapan tanpa penindasan yang emansipasi. Bergelora.com menerima tulisan yang mengulas eksploitasi kapitalisme dalam Natal, oleh Jasman F. Simanjuntak, peneliti dan pengamat Isu Agraria dari Gereja Komunitas Anugerah (GKA) di Jakarta. (Redaksi)
Oleh: Jasman F. Simanjuntak
“SETIAP kali mau Natal, banyak kali pengeluaran,” keluh Mak Bona di warungnya, awal Desember 2016 lalu. Ia harus membayarkan pungutan Natal di sekolah anaknya. Dua anaknya bersekolah. Ia juga harus membayarkan pungutan oleh perkumpulan lain yang diikutinya. Belum lagi membeli baju baru, celana, dan sepatu untuk anak-anaknya, serta suami dan dirinya sendiri.
Keseluruhan biaya itu terasa berat bagi Mak Bona. Keuntungannya dari berdagang kelontong, ditambah penghasilan suaminya sebagai sopir angkutan kota, dirasanya tidak cukup. Namun, tidak membelikan baju baru kepada anak-anaknya, Mak Bona tidak tega hati.
Barangkali banyak yang bernasib serupa dengan keluarga Mak Bona. Sering kali Natal disambut dengan hal-hal yang serba baru, mulai dari pakaian hingga dekorasi rumah. Bila tidak turut dengan situasi ini, gairah Natal rasa-rasanya belum menghampiri. Alhasil, banyak keluarga harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi memenuhi hasrat konsumtif ini. Namun menjadi soal jika keluarga tersebut kurang mampu secara ekonomi, seperti keluarga Mak Bona. Natal seakan asing bagi keluarga, atau siapa saja, yang tak mampu mengikuti hasrat konsumtif ini.
Seumpama janin yang memerlukan nutrisi dalam kandungan sebelum ia lahir, serupa itulah hasrat konsumtif. Ia tidak begitu saja ada. Ia dipiara oleh “asupan” yang memungkinkan ia tetap tumbuh. Kebiasaan mengonsumsi suatu barang dibentuk oleh sistem yang berkembang atau dominan masa ini, yaitu kapitalisme.
Barangkali iklan adalah salah satu cara yang paling gemar dan berhasil menumbuhkan hasrat konsumtif. Di media massa, baik televisi, radio, surat kabar, majalah, internet, bahkan pada spanduk di hampir setiap ruang pinggir jalan kita melihat iklan. Pihak produsen membentuk narasi yang mampu mendongkrak penggunaan barang atau jasa. Di televisi, misalnya, wanita cantik sering kali divisualisasikan sebagai berkulit mulus dan putih, wajah tidak berminyak dan berjerawat, berambut kinclong tanpa ketombe, beralis dan berbulu mata menawan, bertubuh langsing dan tidak pendek, eksis di media sosial, berpakaian mode kekinian, dan lain sebagainya.
Narasi yang dihadirkan oleh iklan ini, salah satunya, membentuk nilai yang berlaku hampir di seluruh tempat yang dimasukinya. Agar imajinasi kecantikan itu berwujud, produk-produk iklan pun dibeli. Hasrat konsumtif pun merekah. Namun, wanita yang tidak memenuhi kategori tersebut di atas, maka dikatakan tidak cantik. Pada titik inilah ia mengalami keterasingan.
Kembali kepada Natal. Di gereja, misalnya, kita akan mendengar dan menyaksikan gambaran yang nyaris tidak berubah tiap tahunnya. Dikatakan di sana, sepasang kekasih yang bertunangan nyaris batal menikah karena sang wanita, Maria, telah mengandung. Kemudain, lewat mimpi, malaikat meyakinkan sang pria, Yusuf, bahwa bayi yang dikandung Maria adalah pemberian roh kudus. Malaikat juga berpesan agar bayi yang lahir itu kelak disebut Immanuel: bahwa Tuhan menyertai.
Sepasang kekasih ini hidup miskin. Mereka pindah dari kampungnya saat Maria akan melahirkan, karena keadaan politik yang tidak aman. Di daerah lain, mereka tak dapat tempat menginap. Seberapa banyak pintu diketuk, tak satu pun yang memberi tumpangan, kecuali di kandang domba. Di kandang domba itulah Yesus lahir.
Kedatangan Tuhan di dunia, yang oleh Kristen dimanifestasikan lewat Yesus, adalah untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan -sebagaimana yang dinubuatkan Nabi Yesaya. Kelahiran Yesus sang juruslamat membawa pesan emansipasi bagi semua.
Hari ini kita memperingati kelahiran Yesus dengan sambutan meriah. Sebagaimana kasus Mak Bona di atas, kita sering kali memperingati Natal dengan hasrat konsumtif. Tentu saja konsumerisme akan mengasingkan mereka yang tak mampu. Persis begitu pula yang kita perlihatkan menjelang Natal, yang kita sebut kelahiran juruslamat. Kita memperlihatkan kemewahan menyambut kemiskinan, bahkan kedaifan bayi Yesus. Sungguh, kita telah berbelok dari makna emansipasi yang dibawa Yesus.
Labih jauh, begitu banyak soal yang dapat kita saksikan bahkan alami, yang tidak mengemansipasi semua kaum. Untuk menyebutkan satu contoh, misalnya, konflik yang dikarenakan pembangunan bandar udara di Kulon Progo. Tentu saja pembangunan bandar udara membutuhkan lahan. Warga di area pembangunan tersebut dipaksa melepaskan tanahnya. Cara-cara yang kerap dilakukan adalah memperhadapkan rakyat dengan militer.
Bila kita masuk lebih dalam: apakah pembangunan bandar udara baru dibutuhkan oleh warga Kulon Progo? Apakah pembangunan itu turut membangun ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya? Melihat pembangunan di berbagai daerah, pembangunan hanya menguntungkan sedikit orang, dan justru menyengsarakan rakyat, karena sistem ekonomi kapitalisme. Sifat kapitalisme adalah menyerap sumber kekayaan dari banyak orang menuju ke sedikit orang pemilik modal, sehingga kesenjangan kian menganga.
Dalam konteks Kulon Progo, rakyat kehilangan tanahnya untuk beranak-pinaknya modal. Padahal, tanah menjadi sumber utama penghidupan mereka. Mereka telah lama hidup dengan mengelola tanah. Membuat warga terpisah dari sumber penghidupannya adalah suatu perlakuan culas.
Sebagaimana tujuan tulisan ini untuk merefleksikan Natal, maka segala bentuk praktek yang membuat manusia tersingkirkan perlu ditentang. Tentu tidak hanya cukup sebagai kritik terhadap diri sendiri yang telah abai terhadap sistem yang menindas, misalnya. Namun perlu kita berpikir hingga ke sumber penghisapan manusia oleh manusia, yakni kapitalisme. Penting untuk menemukan cara atau imajinasi baru untuk mengubah tatanan tidak adil sekarang, menuju kehidupan yang emansipasi. Kita perlu mewujudkan tahun rahmat Tuhan di dunia ini.