JAKARTA- Di saat demokrasi Indonesia membutuhkan penguatan partisipasi publik yang disebabkan oleh maraknya korupsi dan menguatnya diskursus kontra demokrasi, DPR justru melakukan blunder politik dengan memperkuat imunitas politiknya melalui revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Hendardi, Ketua SETARA Institute kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (15/2)
“DPR telah membangun tembok tebal yang semakin menjauhkan lembaga perwakilan dari publik yang diwakili, sekaligus membuka jalan menuju kelembagaan DPR yang lebih koruptif,” tegasnya.
Ia menjelaskan Undang-Undang MD3 menegaskan terjadinya pembusukan politik di lembaga wakil rakyat setelah sebelumnya mereka mengkhianati aspirasi sebagian besar rakyat melalui pembentukan Pansus yang melemahkan dan ingin membubarkan KPK. Undang-Undang MD3 nyata-nyata mengonfirmasi bahwa salah satu problem serius stagnasi bahkan menurunnya kualitas demokrasi kita adalah kegagalan parlemen dalam mereprentasikan kehendak dan kepentingan rakyat.
“Oleh karena itu, perlawanan masyarakat sipil atas Undang-Undang MD3 harus semakin dikonsolidasikan, diperluas dan ditingkatkan demi menyelamatkan demokrasi Indonesia dari kemunduran besar justru di usianya yang memasuki dua dekade ini,” tegasnya.
Menurutnya Undang-Undang MD3 adalah Undang-Undang yang mengatur kedudukan lembaga-lembaga perwakilan dalam menjalankan fungsinya sebagai badan representasi rakyat untuk mewujudkan cita-cita nasional, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, melindungi warga negara, dan turut serta dalam perdamaian dunia.
“Oleh karena itu, seharusnya proses revisi Undang-Undang MD3 adalah urusan warga negara dan bukan hanya urusan anggota DPR dan kelompok anggota DPR semata,” ujarnya.
Ia mengingatkan, proses legislasi yang ekslusif tanpa partisipasi warga ini telah membuktikan bahwa revisi Undang-Undang MD3 hanya ditujukan untuk mempertebal proteksi dan memenuhi kepentingan diri anggota DPR.
“Rumusan-rumusan kontroversial yang telah disahkan menjadi norma baru nyata-nyata tidak disusun atas dasar argumentasi akademik memadai, sehingga menyalahi prinsip rule of law, merusak makna sistem check and balances, dan bertentangan dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Hendardi menegaskan, melalui Undang-Undang MD3, DPR telah menambahkan kekuasaan dirinya sebagai badan legislatif dengan kekuasaan penegakan hukum, bahkan melampaui kewenangan penegak hukum.
“Kekuasaan baru DPR adalah tidak boleh dikritik baik pribadi maupun status keanggotaannya sebagai anggota dewan; mengikis kewenangan penegak hukum untuk memproses anggota DPR yang bermasalah dengan hukum; memaksa, menyandera, dan memperkarakan pihak-pihak yang tidak memenuhi undangan DPR; dan bahkan bisa menolak orang yang akan memberikan keterangan di DPR. DPR juga telah menyulap MKD dari sebelumnya sebagai penegak etik DPR menjadi lembaga pelindung DPR dari proses hukum,” ujarnya.
Proteksi overdosis bagi DPR dan penyebaran ancaman kriminalisasi bagi warga sebagaimana dirumuskan Undang-Undang MD3 katanya menggambarkan betapa revisi Undang-Undang tersebut penuh kompromistis.
“Fraksi-fraksi yang berburu kursi tambahan pimpinan tanpa berpikir kritis menyetujui aspirasi sekelompok anggota DPR yang ingin melindungi dirinya di ujung masa jabatan sebagai dewan,” tandasnya. (Web Warouw)