JAKARTA- Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzily mengatakan, pelibatan anak dalam aksi terorisme diakibatkan karena kehidupan keluarga yang salah tafsir terhadap agama. Menurutnya, sulit untuk menjauhkan anak dari peran keluarga dan orang tua yang memberikan pemahaman agama yang dianggap salah.
Ace menegaskan, seharusnya perlindungan anak ada pada keluarga. Namun ternyata, diantara anak-anak yang terlibat aksi terorisme itu menolak belajar Pendidikan Moral Pancasila. Setiap kali masuk pelajaran, malah keluar. Menurutnya, ini bisa menjadi indikasi masih ada orang-orang yang anti pada dasar negara Pancasila.
“Pembinaan anak harusnya menjadi kewajiban keluaga, lalu di sekolah dan ketiga di lingkungan masing-masing. Ini memiliki tanggungjawab yang berbeda-beda bagi masing-masing, baik sekolah, keluarga dan lingkungan terkecil, RT atau RW. Ketiganya difasilitasi oleh pemerintah, supaya tercipta keluarga yang bisa memahami agama secara toleran, serta diberikan pendidikan sesuai prinsip Islam yang rakhmatan lil-alamiin,” kata Ace di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5).
Kaitannya dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, Ace melihat UU ini tidak bisa menjangkau hal-hal yang sangat privat (keluarga). Bagaimana institusi sekolah atau pemerintah bisa menjangkau ranah keluarga. Untuk itu, pembinaannya harus banyak dilakukan di luar keluarga, misalnya sekolah.
“Kalau ditemukan pemahaman agama anak cenderung radikal, maka sekolah punya tanggung jawab untuk membinanya dan ditelusuri lebih lanjut,” jelas Pimpinan Komisi VIII dari Partai Golkar ini.
Namun Ace mengakui, dalam kasus bom Surabaya, justru orang tua si anak yang merupakan tokoh organisasi terorisme, sehingga institusi apapun tidak bisa terlalu jauh masuk ranah keluarga. Menurutnya, aparat seperti Badan Intelijen Negara (BIN) atau Densus 88 bisa mendeteksi bibit radikal dan melacak aktivitas jaringan teroris.
“Jaringan terorisme cukup mengakar, mudah sekali dideteksi. Kecenderungan orang intoleran mudah disusupi bibit radikalisme. Hal-hal seperti ini bisa dideteksi dengan cara melihat perilaku, relasinya, serta menjadi anggota organisasi apa. Juga bisa dilihat dari cara berpakaian, kendati itu bukan satu-satunya,” pungkas Ace.
Ace juga menyayangkan salah satu Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Kemenag yang terlibat dalam tindakan terorisme. Padahal seharusnya Kemenag menjadi pilar utama bagi tegaknya NKRI, tapi ternyata disusupi oleh paham-paham radikal. Di instansi pemerintah, perlu adanya kontrol terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan yang mencurigakan.
“Itu salah satu hal yang menjadikan pemerintah kecolongan. Harusnya pembinaan keagamaan dilakukan oleh unit kerja di Pemerintah. Dan sejak awal mestinya sudah bisa dideteksi setiap unit kerja yang ada,” ungkap politisi dapil Banten ini.
Pendidikan Karakter
Guna mencegah masuknya pengaruh paham radikal ke dalam institusi pendidikan, Anggota Komisi X DPR RI Mujib Rohmat mengatakan bahwa dirinya sudah mengusulkan agar dilaksanakan sebuah diskusi antara Komisi X DPR dengan Mendikbud serta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mengenai pengertian yang sesungguhnya tentang pendidikan karakter dan bentuknya akan seperti apa.
“Apakah hal ini sudah masuk didalam kurikulum atau belum. Karena hal itu harus dimulai dari kurikulum pendidikan, dan juga terkait dengan intensitas dan guru-gurunya. Seperti apa guru-guru yang akan mengajarkan tentang pendidikan karakter tersebut,” ucap Mujib di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5).
Dari pertemuan tersebut, nantinya diharapkan akan menemukan sebuah hasil kesimpulan yang dapat diterapkan. “Kira-kira akan ketemunya dimana, apakah mereka yang akan membuatkan semacam kurikulum atau memberi catatan metodologinya. Lalu bagaimana pula mengakomodirnya ke dalam pendidikan formal,” paparnya.
Menurutnya, hal tersebut menjadi suatu langkah yang sangat penting, dimana akan dibahas persoalan mulai dari hulunya. “Kita sangat prihatin sekali terhadap model baru, dimana orang tua bisa mengajak anaknya untuk ikut terlibat dalam melakukan kasus teror bom. Ini suatu yang luar biasa dan hal itu harus ada pencegahannya,” tandas politisi Fraksi Golkar itu.
Harus dibedakan antara orang taat dengan orang radikal, sebab orang radikal berbeda dengan orang taat, sambungnya. Mujib juga setuju dengan adanya pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. “Hanya yang menjadi persoalan adalah nanti produknya dalam bentuk apa, kalau dahulu produknya adalah Tap MPR. Karena bentuknya Tap MPR maka eksekutif harus melaksanakannya, mengingat pada saat itu MPR adalah sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
Mujib menyampaikan, sekarang ini yang melaksanakan adalah hanya MPR dengan program Sosialisasi 4 Pilar nya. “Itu tidak cukup sama sekali, karena intensitasnya kurang, tidak masif, dan tidak terstruktur,” pungkasnya. (Enrico N. Abdielli)