DEPOK- Indonesia merupakan sebuah negara yang dibangun di atas keanekaragaman budaya, agama, kondisi lingkungan geografis, dan sebagainya. Keanekaragaman tersebut tidak begitu saja tercipta tanpa adanya upaya maksimal dari seluruh elemen masyarakat terutama generasi muda yang merupakan bagian dari keragaman itu sendiri sekaligus untuk menjaganya. Masyarakat terutama pemuda menjadi ujung tombak untuk memelihara kebhinekaan yang tumbuh di Indonesia dengan segala kekayaan adat budaya dan keragaman suku, agama, ras dan golongan tersebut melalui sikap toleran dan menghargai anti kekerasan.
Sayangnya saat ini seiring dengan perkembangan jaman, termasuk dengan semakin gencarnya penggunaan media sosial, sering terjadi gesekan yang diakibatkan oleh perbedaan dan keberagaman tersebut. Misalnya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan bahwa 8,2 persen pelajar yang menjadi responden menolak Ketua OSIS dari agama berbeda. Selain itu, ada pula 23 persen responden yang merasa lebih nyaman dipimpin oleh seseorang yang satu agama. Penelitian yang dilakukan Kemdikbud pada tahun 2016 ini juga mengungkapkan bahwa sekolah negeri ternyata menjadi ladang meningkatnya intoleransi dibandi SMA swasta berbasis agama. Artinya bahwa kecenderungan sekolah yang plural justru banyak menumbuhkan praktek intoleransi.
Riak-riak kecil yang muncul tersebut melahirkan gagasan bahwa pemuda saat ini harus dibekali dengan berbagai kemampuan untuk membentengi diri dari perpecahan. PIRAC sebagai sebuag organisasi kemasyarakatan di Depok berikhtiar mendorong terciptanya sikap menghargai perbedaan, toleransi, dan sikap anti kekerasan di kalangan siswa SMA dalam sebuah “Program GEMPITA (Generasi Muda Pendukung Keberagaman, Toleransi, dan Antikekerasan)”. Upaya ini akan dibarengi dengan peningkatan wawasan pengetahuan dan kapasitas lingkungan sekolah terutama siswa.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, Kamis, 12 Juli 2018 di SMAN 13 Depok, diselenggarakan kegiatan Workshop Siswa Gempita (Generasi Muda Pendukung Toleransi dan Antikekerasan). Workshop ini dihadiri oleh 50 siswa dengan narasumber Endang Sunandar yang memaparkan materi membuat kampanye toleransi dan anti kekerasan dan menolak ujaran kebencian dengan membekali berita berbasis data. Pada sesi berikutnya menghadirkan narasumber Ari Syarifudin yang memapartkan materi Kampanye Positif di Media Sosial.
Sebelum pemberian materi dimulai, para siswa peserta workshop melakukan deklarasi sebagai siswa gempita.
Bunyi teks deklarasi adalah sebagai berikut; Janji Gempita, Kami Putra Putri Indonesia bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan dan persekusi. Kami Putra Putri Indonesia berbahasa satu, Bahasa kebenaran, tanpa hoax dan bukan kebohongan. Kami Putra Putri Indonesia berbangsa satu, Bangsa yang menghargai keragaman dan anti kekerasan
Endang Sunandar dalam paparannya menekankan pentingnya generasi muda saat ini untuk lebih peduli tentang konten-konten yang ada di internet. Menurutnya, internet juga dapat dijadikan media untuk menyampaikan kampanye mengenai nilai-nilai keberagaman, toleransi, dan antikekerasan. Sedangkan Ari Syarifudin dalam pemaparannya menegaskan, anak-anak muda khususnya para siswa SMA perlu membekali diri dengan sikap berpikir positif. Proses berpikir berkaitan erat dengan konsentrasi, perasaan, sikap, perilaku. Oleh karena itu generasi muda perlu dibekali nilai-nilai berpikir positif yang akan menjadi dasar bagi mereka untuk bertindak positif. (Roy Pangharapan)