Sabtu, 5 Juli 2025

Raka Suwasta: Seni Kontemporer Jangan Hilangkan Keindonesiaan

Raka Suwasta. (Ist)

DENPASAR- Sejarah melukis Raka Suwasta (79 tahun) dimulai dari sekolah tingkat SMA dan semua ia pelajari secara otodidak, tanpa guru. Untuk mencari tambahan ilmu bergaulah ia dengan seniman-seniman yang datang ke Bali yang banyak tinggal di Kedaton, disana belajar tehnik melukis, bagaimana mengapresiasi karya seni rupa, mulai belajar sket, juga ide banyak di dapat dalam pergaulan dengan para pelukis tersebut.

Raka juga rajin mengakses bacaan sebagai referensi dan menambah wawasan, ia berlangganan majalah budaya yang terbit di Jogja. Dari semua pengalaman itu membentuk dirinya hingga punya keinginan untuk total berkesenian, bukan hanya dalam rangka mencari duit.

“Saya melukis sesuai dengan hati nurani dengan tema-tema mengambil kehidupan rakyat. Seperti karya saya lukisan cat minyak di canvas ukuran 1,5 x 90, seorang Ibu duduk membikin garam dalam keadaan bunting (hamil). Itu seperti protes saya ke pemerintah dan kepada banyak orang kenapa orang bunting dibolehkan kerja berat, “katanya.

Lukisan tersebut ikut dalam Pameran Nasional Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di Jakarta tahun 1960, dari pameran lukisan yang laku cuma dua yakni lukisan Raka Suwasta dan Affandi. Tahun itu laku seharga Rp 20.000,-

Raka Suwasta juga pernah di Jakarta ikut Sanggar Agung pimpinan Pak Rahmad dari Salatiga,

“Di sanggar tersebut saya bisa kenal pelukis-pelukis top macam Affandi, Hendra, Trubus. Mereka banyak mensupport dan mengajari tehnik melukis juga bagaimana menggunakan alat-alat lukis. Saya juga menjadi tahu kalau Affandi tahun 1962 menjadi salah satu anggota Konstituante dari perwakilan seniman, “ungkap Raka.

Raka akhirnya total dalam melukis, tapi juga pernah diam-diam membuat karya dalam bentuk lain untuk dijual yang orang tidak tahu itu sebenarnya adalah karyanya.

Sampai terjadi huru-hara politik ‘65 Raka turut ditahan di penjara Denpasar selama dua tahun dua bulan,

“Disana saya belajar mengenai bertuhan karena saya bingung tuhan yang benar itu yang mana, karena ternyata tuhan itu hanya satu tapi nabi yang banyak,“ jelasnya.

“Saya baca Al’Quran, saya baca Injil hingga tuntas dan saya menemukan inti dari kedua kitab tersebut bahwa yang diajarkan adalah cinta kasih juga norma-norma hidup yang wajar, “terangnya.

Raka mengakui banyak ilmu didapat semasa di penjara yang kalau diluaran justru tidak bisa ia pelajari.

Keluar Dari Penjara

Sekeluar dari penjara Raka ingin hidup sebagai orang tua yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada anak-anaknya, berusaha memberikan mereka pendidikan yang tinggi dan kehidupan yang wajar.

Mulailah ia melukis dengan tema-tema yang “menyenangkan” yang laku dijual dan banyak dibeli orang, dari situ ia bisa membeli tanah dan menyekolahkan anak-anaknya.

Rumah Raka di jalan Pinus, Ubud, Bali berdiri di atas lahan seluas empat are, dibangun tahun 1992 terdiri atas 3 bangunan, 2 untuk tempat tinggal dan 1 sebagai studio.

“Saat itu gampang cari uang dengan menjual lukisan, karena saat jaman Soeharto banyak uang berhamburan sampai mereka bingung mau membeli apa dan akhirnya mereka membeli lukisan. Bank-bank seperti BNI, Niaga, BCA beli lukisan untuk dipasang di seluruh anak cabangnya. Lukisan saya diborong dengan harga per satunya 3-4 juta. Saya punya 15 lukisan maka semua habis mereka borong, “katanya diiringi tawa.

Raka menjelaskan bahwa banyak mahasiswa dari institut seni (ISI Bali) melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ke tempatnya,

“Tapi terakhir saya tolak karena usia saya yang sudah tujuh puluh tahun lebih. Mendampingi itu membebani fikiran karena dalam memberikan wawasan di PKL tersebut bagaimanapun saya punya tanggung jawab, harus tepat dan harus mengena. Terakhir juga saya dikunjungi tiga puluh mahasiswa ISI semester VIII dan IX, dosen pembimbing 4, mereka belajar tehnik pastel, setelah PKL saya ajak mereka menggambar model, “ terangnya.

Gong Kronik

Tahun 1963 sampai 1965 akhir bersama Putu Oka Sukanta, Raka pernah tergabung dalam Gong Kronik, sebuah perkumpulan drama modern yang kegiatannya baca deklamasi dan seni pertunjukan lainnya. Pernah pula pentas membawakan naskah Anton Chekov.

Gong Kronik disupport oleh pemerintah saat itu, selain anggotanya yang terdiri dari orang-orang pintar salah satunya Prof. DR. Luh Putu Suryani, seorang Psikiater dari Universitas Udayana.

Putu Oka Sukanta sebagai pimpinan dan Raka Suwasta bertanggung jawab dalam artistik dekorasi di pementasan-pementasan.

“Iklim berkesenian saat itu sangat cair dan kita tidak ada mengkotak-kotakkan diri. Semua berteman karena di barat juga begitu modelnya. Saat saya ke Finlandia seniman komunis, nasionalis dan lainnya bersatu. Memang ada perdebatan soal ide dan wawasan tapi tidak lantas memecah kebersamaan mereka. Tidak seperti disini yang kalau tak cocok lalu bermusuhan,“terang Raka yang masih sehat dan menyediakan sendiri kebutuhan hidupnya ini.

Gong Kronik beranggotakan unsur-unsur dari LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional, mahasiswa-mahasiswa nasionalis (PNI), dan Lekra sendiri.

“Itu sebagai pembuktian bahwa Nasakom memang bisa disatukan dan diwujudkan dalam wadah seni tadi. Seperti ajaran Bung Karno bahwa Nasakom harus bersatu.  Meski pada akhirnya dihancurkan saat huru-hara politik tahun 1965,“ kata pelukis yang pernah masuk list sebagai orang-orang yang tidak boleh ditayangkan Stasiun TVRI seluruh Indonesia ini.

Putu Oka Sukanta saat dihubungi Bergelora.com menambahkan bahwa keberadaannya singkat di Bali, yakni setelah selesai kuliah di Jogja tahun 1963 sampai 1964, pertengahan 1964 pindah ke Jakarta.

Saat di Bali Putu Oka menginap di rumah Permadi Liosta seorang pelukis dari Aceh yang sudah lama menetap di Bali. Banyak murid-murid Permadi yang belajar melukis, anak-anak seusia SMP dan SMA.

Dijelaskan Putu kalau Raka sering datang ke tempat Permadi untuk belajar melukis meski ia sudah bisa melukis, tapi tetap datang untuk memantapkan tehnik.

Di Bali Putu Oka dikenal sebagai deklamator terbaik sejak tahun 1958-59 sampai akhirnya ia mencetuskan ide untuk membuat kelompok bernama Gong Kronik yang lebih pada seni pertunjukan berupa teater, deklamasi dan lainnya.

“Ciri khas Gong Kronik ini anggotanya terdiri atas anak-anak muda, SMP, SMA, mahasiswa, laki-laki juga perempuan, mereka berasal dari organisasi-organisasi seperti Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Saat itu Sukarno tengah menyerukan politik ‘Ganyang Malaysia’, “ujar Putu Oka yang juga seorang akupuntur ini.

Gong Kronik pernah membuat pementasan di panggung hotel Bali dan sukses karena menerapkan sistem efisiensi yang bagus, juga merintis jalan untuk bisa siaran di RRI seminggu sekali, baca puisi, analisa cerita pendek, hingga keberadaan Gong Kronik cukup tenar saat itu.

Jadi itulah intinya pertemuannya dengan Raka yakni usaha untuk menggalang seniman-seniman muda yang tidak fanatik terhadap afiliasi kelompoknya tetapi mencair jadi satu. Hingga pertengahan 1964 Putu Oka pindah ke Jakarta dan Gong Kronik diteruskan oleh kawan-kawannya itu.

Ditanya pendapat pribadinya tentang Raka, Putu mengatakan bahwa Raka adalah soerang yang konsisten. Sejak pertama ketemu, Raka terus bergerak dalam seni lukis. Sekarang dia sudah jadi salah satu pelukis terkenal di Bali yang membangun dirinya sebelum peristiwa tahun ’65. Ini jarang terjadi karena biasanya pelukis-pelukis muda sebelum tahun ‘65 mereka berhenti berkesenian, sementara Raka terus melukis sepulangnya dari penjara.

“Saya sangat mengagumi ketulusan dan kecintaan Raka terhadap seni rupa yang ia jadikan tidak hanya sumber kehidupan tetapi juga sumber kejiwaannya, dia menikmati dunia itu sehingga terpenuhi hidup jasmani dan rohani ia dan keluarganya,”ungkap pria yang belum lama ini menerbitkan novelnya ‘Celah’.

Hilangnya Keindonesiaan

Bergelora.com juga menanyakan perihal iklim berkesenian di Bali saat ini, Raka menjelaskan bahwa seni tradisional yang didukung oleh pemerintah itu hanya seni pertunjukan dalam hal ini seni tari. Karena itu yang bisa dipakai di hotel-hotel sebagai tontonan turis, di seremoni-seremoni kegiatan pemerintah.

Lanjut Raka, di Bali ini memang ada dua kategori kesenian yakni tradisional dan kontemporer, tapi dalam perjalanannya seni tradisional kalah terpojok. Pelaku-pelaku seni tradisional,– pematung, pengukir, pemusik, pelukis secara ekonomis semakin susah dalam mencari pasar dan panggung. Sementara seni kontemporer banyak di iming-imingi dengan harga tinggi, peminatnya lebih banyak juga banyak jadi acuan.

Untuk regenerasi terjadi dilema dimana seharusnya kita tetap mengacu kepada seni tradisi (karena itu adalah ciri khas kebudayaan kita).

“Tapi kalau tidak bisa makan mau ngomong apa? “ katanya.

Ia membedakan dengan seni tradisional di Tiongkok dan Jepang.

“Mereka bisa merawat seni tradisinya sementara kita tidak bisa merawat dan kita sekarang lebih condong kepada apa yang sekarang berkembang, apa yang sekarang lagi tren itu diikuti dan ditiru. Ini juga kesalahan akademi dan sekolah-sekolah seni kita yang tidak pernah mengajarkan rasa nasionalisme dalam berkesenian,” katanya.

Yang melukis model Hendra menurutnya sudah tidak ada lagi. Karya Hendra kental rasa nasionalismenya.

“Sementara banyak seniman kontemporer tidak menunjukkan ciri ke-Indonesiaannya,” katanya.

Disinggung juga oleh Raka persaingan antara seni tradisi dan kontemporer, even-even kesenian sekarang ini dimonopoli oleh kesenian kontemporer.

Seni tradisi hanya pentas dan memainkan alat musik mereka pada upacara keagamaan di pura-pura, tapi itupun hanya tinggal di desa-desa, di kotanya sudah jarang meski harusnya itu menjadi satu-satunya pertahanan untuk meregenerasi seniman.

Bicara Bali yang menjadi destinasi wisata harusnya pemerintah terkait membuat semacam Undang-Undang agar area hijau atau jalur hijau seperti persawahan dan lain-lain itu dilindungi dari massifnya pembangunan villa, toko/art shop.

“Seperti di Tanah Lot itu, harusnya tidak boleh di area itu diadakan kegiatan jual beli, radius dua kilo harus steril dari segala aktifitas yang bersifat komersil, bersih dari bangunan dan kios-kios. Jadi kalau tidak dibatasi akan merusak yang ada dan ini jadi kesalahan pemerintah, “tegas Raka.

Raka memberi contoh bagus Thailand, Pagoda-nya tetap steril dari aktifitas jual beli sehingga tetap indah dan terjaga kesakralannya.

Di akhir perbincangannya dengan Bergelora.com Raka Suwasta mengatakan bahwa sekarang tugasnya sebagai orang tua sudah selesai, anak-anaknya sudah menikah dan punya keluarga, “Saya tinggal mengurus diri saya sendiri dan ingin kembali melukis seperti dulu awal melukis, kembali kepada idealisme saya, “tutupnya. (Sukir Anggraeni)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru