Selasa, 21 Oktober 2025

Perempuan Meregang Nyawa di Trotoar: Jangan di Negeriku!

Mahasiswa Institute Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta menolak Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). (Ist)

KUDUS- Sepotong video mampir di halaman sosmedku. Di sebuah kota di Suriah. Seorang perempuan berjilbab hitam dan berjaket merah digelandang di trotoar. Kedua tangannya diikat di belakang, diperintah berjongkok oleh seorang milisi bersenjata di depan dua pemimpin mereka. Di sekeliling mereka para milisi dengan bedil berurai peluru berjaga-jaga. Mobil-mobil masih berseliweran di jalan raya. Pemandangan yang terbuka. Satu dari dua lelaki Arab itu mulai berkhutbah. Pandangan matanya beralih dari satu sudut ke sudut lainnya, seperti sedang menghadapi publik yang ramai, entah siapa yang mendengar, sebab hampir tak ada masyarakat lain di situ kecuali mereka. Seperti sebuah scene dalam produksi video teror dengan korban sesungguhnya.

Sambil mengumandangkan takbir “Allahu Akbar!”, dia mengingatkan akan beratnya sanksi bagi para penghasut (bughoh) dan penentang milisi yang berjuang di jalan Allah. Ayat-ayat tentang penentangan dibacakan. Semenit kemudian pistol lelaki yang berdiri di sebelahnya, dengan jenggot terburai, tanpa doa, menyalak mengakhiri hidup perempuan itu. Dorr!!! Dor!!! Meledak kepala perempuan itu dan terjengkang, melintang di trotoar.

Sebuah kekerasan tersaji di ruang publik tanpa sedikitpun diedit. Sengaja ditebar untuk menyiram ketakutan. Hantu-hantu yang memburu akan terus terngiang-ngiang di kepala para “penghasut”. Itu tujuannya.

Di negeri yang tenang seperti Indonesia, adegan itu adalah promosi kengerian. “Paham Ora?” Kalimat pendek terpampang di akhir video itu. Mungkin disajikan oleh kelompok moderat Indonesia yang mengampanyekan jangan impor ideologi Suriah di sini, kecuali masyarakat ingin berakhir seperti perempuan itu. Sebaliknya di Suriah. Video itu laksana trailer, promosi film, orang kita menyebutnya extra, dari sebuah film dokumentari panjang, sepanjang sejarah peperangan faksi-faksi di sana. Entah kapan berakhir.

Demonstrasi mendukung ISIS di Jakarta beberapa waktu lalu. (Ist)

Di jazirah Arab, pemerintahan resmi banyak digulingkan. Diawali Irak, lalu Iran yang gagal, Libya, Yaman, Suriah, Somalia, dan Palestina. Ada campur tangan Barat pada kasus Irak, Iran, dan Palestina. Tapi, bara sesungguhnya datang dari panas bumi padang pasir itu sendiri. “Perang di Arab dipicu oleh perang saudara yang bertali kelindan dengan pertalian keluarga. Berbeda dengan di Inggris atau Jerman yang dipicu oleh perang antar warga negara,” jelas Morris Ayek, cendekiawan Suriah.

Di TV, kita menyaksikan para penduduk berbondong-bondong menyelamatkan diri, mencari negeri yang lebih damai, sebagai pelarian atau pengungsi. Hijrah yang harus ditebus dengan harga yang teramat mahal. Anak-anak meregang nyawa di karavan padang pasir, atau di tengah samudra yang terik dan asin. Tapi, mati lebih berarti dari pada setiap petang menghadapi malam jahanam. Dibekuk, ditembak, atau berpeluang diperkosa. Pendek kata, tinggal sebagai penduduk di jazirah Arab seperti hidup di tubir neraka. Ke samping jurang, ke depan senapan.

Di negeri yang damai dan demokratis, gedung pengadilan dibangun, keadilan didirikan. Pada kursi-kursi yang diletakkan berjejer di gedung itu, orang-orang menunggu ketuk palu dengan jantung berdegup seru. Palu keadilan harus selalu dipegang oleh para hakim berjubah hitam yang tersumpah. Kesalahan sekecil apapun harus digelar dengan terang, di gedung itu, bukan di jalanan. Keadilan mungkin masih melayang, tetapi harapan baru harus terus digantungkan di atap ruangan itu.

Di gedung itu, adegan vulgar kadang harus disembunyikan. Sebaliknya di negeri yang sedang berperang, adegan teror justru wajib dipamerkan. Inilah beda negeri yang tenang dan perang. Keduanya punya maksud sendiri-sendiri.

Nun jauh di tahun 1962, Busye mengungkapkan perbedaan itu. “Apa boleh buat dia mati. Kalau hidup, tentu ia akan menyebarkan berita kerusuhan kita ini. Kita mesti rahasiakan ini, Jah!” kata Mat Kontan pada Paijah, seperti ditulis Motinggo Busye dalam “Malam Jahanam” (1962).

Tidak! Kataku. Jangan sekalipun itu terjadi di sini. Negeri damai Indonesia harus kita pupuk setiap waktu. (Hassan Aoni)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru