Akibat Quick Count yang mencerminkan kemenangan Joko Widodo dan Ma’aruf Amin sebesar 55% atas pasangan Prabowo-Sandi yang hanya 45%.,– semua lembaga survei dituduh melakukan kecurangan. Indikasi kebodohan yang akut ini dipaparkan oleh Poppy Ismalina, Dosen Program S1, S2, S3 di FEB UGM, pengajar Ekonometrika-Statistika, telah mengambil mata kuliah Statistik I, II, III, Seminar Statistik, Statistik untuk Penelitian/Survei Ekonomi dan Sosial, Statistik untuk Data Besar dan mata kuliah-kuliah Ekonometrika di kelas S1, S2 di ANU-Australia dan S3 di Univ Groningen-Belanda,–dan dimuat Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Poppy Ismalina, Ph.D
QUICK COUNT (QC) menjadi perdebatan sejak kemarin. Sayangnya merusak keindahan proses demokrasi yang berlangsung kemarin. Kenapa indah? di semua TPS, orang datang dengan antusias, tertib menunggu panggilan, dan berfoto bersama dengan senyum kebanggaan sambil menunjukkan jari yang berlumur tinta.
Dari rekaman-rekaman peristiwa melalui video, saya juga melihat banyak orang yang bertemu dengan tetangga-tetangga yang telah lama tidak bertemu. Silaturahmi terwujud dalam pemilu kemarin. Sampai jam 3 sore, foto dan video yang ada di sosial media merekam keindahan semua itu.
Setelah jam 3 sore, berubah. Kecam, makian, tuduhan kembali muncul. Aarrgghh. Semua berujung pada hasil QC yang diumumkan oleh beberapa lembaga survei yang memang telah malang melintang di dunia survei pemilihan maupun survei-survei sosial dan ekonomi lainnya.
Apa itu QC? Perhitungan cepat, bahasa Indonesianya. Mengapa sering dijadikan acuan? Minimal ada dua faktor yang harus kita timbang untuk percaya pada hasil QC. Pertama, lembaga yang mengadakannya. Cek apakah lembaga tersebut telah memiliki reputasi untuk mengadakan survei. Bagaimana rekam jejak lembaga tersebut dalam hal itu. Apakah lembaga tersebut mensosialisasikan kepada publik apa dan bagaimana metode yang mereka pakai dalam melakukan QC.
Pagi ini saya sudah cek melalui website lembaga-lembaga tersebut, sepuluh lembaga seperti Litbang Kompas, Indobarometer, Charta Politica, Poltracking Indonesia, Indikator Politik Indonesia, SMRC, LSI Denni JA, CSIS dan Cyrus Network, Median, Kedai Kopi telah melakukan sosialisasi metode QC yang dilakukan secara jelas dan detil.

Apabila malas bersusah-susah melihat website lembaga-lembaga tersebut, untuk poin pertama ini, gampang saja, pertama, kita serahkan pada Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi).
Media-media online memberitakan pernyataan para anggota Dewan Etik Persepi tentang lembaga mana yang tidak memiliki rekam jejak yang baik. Pengalaman pada pemilu lalu, Persepi bekerja independen dalam menyeleksi lembaga dengan rekam jejaknya.
Kedua, kenali lembaga-lembaga tersebut, apabila memang setiap pemilu diadakan di Indonesia bertahun-tahun, lembaga-lembaga ini muncul dalam mengumumkan QC, maka pertaruhan reputasi lembaga tersebut menjadi sangat tinggi apabila mereka melakukan kebohongan publik.
Pada website lembaga tersebut atau sosialisasi publik hasil QC, lembaga-lembaga tersebut mengumumkan sudah berapa kali mereka lakukan QC dan bagaimana mereka memperbaiki terus metode yang mereka pakai. Sebagai informasi, sepuluh lembaga yang saya sebut telah eksis bertahun-tahun untuk melakukan survei pemilu dan survei-survei lainnya.
Ketiga, cek metode QC dari lembaga-lembaga tersebut. QC memang bukan real count, metodenya berbeda. Real count adalah hasil perhitungan suara dari seluruh pemilih (populasi) dalam pemilu ini, sementara QC adalah hasil perhitungan suara dari sebagian pemilih (sampel).
Maka, tantangannya adalah bagaimana sampel yang diambil oleh lembaga-lembaga survei tersebut dapat mewakili populasi? SMRC (SaifulMujani Research and Consulting) misalnya membuat makalah khusus untuk menguraikan metode apa yang digunakan dalam QC pilpres 2014 dan publik dapat mengunduh dengan mudah di website SMRC.
Penjelasan SMRC adalah populasi pemilih nasional dikelompokkan (stratifikasi) menurut provinsi, kemudian masing-masing provinsi dipilih TPS (sebagai kluster) secara acak dan proporsional dan seluruh pemilih di TPS terpilih menjadi sampel dalam QC dari SMRC.
Stratifikasi dilakukan untuk meningkatkan representasi sampel sehingga merngurangi resiko kesalahan (error) dalam pengambilan sample secara acak sederhana. Ketika data diolah maka prosedur statistik yang harus dilewati adalah tes validasi dan tingkat kepercayaan metode sampel. Itulah sebabnya di setiap publikasi hasil QC, lembaga survei tidak pernah alpa mengumumkan tingkat kepercayaan data atau batas kesalahan data. Kembali, pertaruhan reputasi lembaga survei adalah resiko tertinggi dalam proses ini.
Tidak hanya SMRC, sembilan lembaga survei tersebut di atas telah mengumumkan metode statistik termasuk tingkat kepercayaan data sampel.
Tentu kita harus menunggu hasil dari KPU, tetapi secara gegabah menyimpulkan QC adalah bentuk kecurangan tanpa paling tidak menimbang dua faktor tersebut, adalah indikasi kebodohan yang akut.