BEIJING- Wakil Presiden Jusuf Kalla kembali menegaskan komitmen Indonesia dalam memerangi diskriminasi Eropa atas produk kelapa sawit Indonesia. Hal tersebut dikemukakan JK saat menyampaikan pandangan dalam pertemuan Roundtable Belt and Road Forum (BRF) edisi II di Ji Xian Hall, International Convention Center, Beijing, China.
“Diskriminasi ini harus dilawan,” tegas JK melalui keterangan resmi kepada pers, Minggu (28/4).
JK mengemukakan, Indonesia merupakan salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Setidaknya, hampir 16 juta orang terlbat dalam perkebunan industri kelapa sawit.
Namun, sektor andalan ini justru mendapatkan diskriminasi dari sejumlah negara, terutama negara Eropa. Bahkan, JK melihat diskriminasi tersebut mengatasnamakan program Sustainable Development Goals (SDG’s).
“Perlakuan diskriminatif ini diterapkan dengan mengatasnamakan isu keberlanjutan kepala sawit. Pada saat yang sama, sustainability ini telah menjadi perhatian dari negara produsen sejak lama,” katanya.
“Diskriminasi ini terus dijalankan, dan tentu akan berpengaruh pada pencapaian SDG’s Indonesia,” tegas Wapres.
Menurut JK, dalam upaya mencapai target-target SDG’s, dibutuhkan sinergi antar pemangku kepentingan terkait dalam bekerja sama. Jika dilakukan sendiri-sendiri, maka mustahil target SDG’s tercapai.
“Kerja sama ini harus bersifat national-driven, bukan donor atau loan giver driven,” katanya.
JK memandang, kerja sama Belt and Road harus mampu memberikan keuntungan secara merata.
“Dunia akan melihat dan mencatat apakah janji kerja sama Belt and Road benar-benar membawa keuntungan,” ungkap JK.
Kepada Bergelora.com dilaporkan, saat ini, permintaan kelapa sawit Indonesia di Cina terus meningkat. Pada 2016 China mengimpor kelapa sawit 3,23 juta ton. Kemudian pada tahun berikutnya menjadi 3,27 ton. Pada 2018 Cina menyetujui penambahan impor 500 ribu ton kelapa sawit dari Indonesia. Sebaliknya, Komisi Eropa memutuskan penghentian impor kelapa sawit sebagai bahan bakar dengan alasan deforestasi.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia sedang menilai lima kantor konsultan hukum internasional sebagai persiapan menggugat Uni-Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gugatan ini akan dilayangkan jika aturan Uni Eropa yang anti-sawit jadi terbit pada 15 Mei 2019 mendatang. (S. Mawikere)