Jumat, 14 November 2025

Boleh Baca, Tapi Hanya Untuk Ucok!

Almarhum Arnold ‘Ucok” Purba. Mahasiswa ITB yang merintis gerakan PRD bawah tanah di Jawa Barat. (Ist)

Dibalik suka-duka perlawanan terhadap Orde Baru Soeharto, banyak kisah romantika yang tak pernah terlupakan. Maruly Hendra Utama, Mantan Ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) menuliskannya untuk melengkapi sejarah Perlawanan. Kali ini ia menulis tentang seorang Arnold ‘Ucok’ Purba mahasiswa Institute Teknologi Bandung (ITB) kader Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang merintis pembangunan gerakan bawah tanah di Jawa Barat melawan Soeharto. Kisah ini diambil bergelora dari akun FB Maruly Reborn yang diupload 26 April 2019 lalu. (Redaksi)

Oleh: Maruly Hendra Utama

Akhir tahun 80an saat masih sekolah di SMA paling keren di Tanjungkarang membaca berita harian Merdeka tentang aksi mahasiswa yang hendak menangkap Rudini, (Mendagri kala itu) di kampus ITB. Berita itu kubaca berulang-ulang hingga berhari-hari. Sejak itu ku tetapkan jika nanti kuliah, harus di Bandung. Selain jarak tempuh yang relatif dekat, aku ingin berteman dengan mahasiswa yang terlibat dalam peristiwa 5 Agustus. Aku kagum dengan keberanian mereka.

Tuhan memang menyanyangiku, keinginan kuliah di Bandung dipenuhi Nya. Awal kuliah aku tinggal bersama mahasiswa ITB yang berasal dari Lampung dibilangan Hegarmanah. Dari mereka inilah aku tahu bahwa kelompok 5 Agustus dipenjara Banceuy, bahkan ada yang dikirim ke Nusakambangan.

Pasca peristiwa 5 Agustus, tidak ada aksi mahasiswa yang radikal di Bandung. Masa itu di Bandung marak dengan aksi mahasiswa tapi dilakukan didalam kampus dengan isu lokal. Pernah ikut aksi SDSB dengan jumlah massa ribuan dari berbagai kampus. Duh… perasaan seperti nonton konser musik sambil mabuk extacy, gembira ditengah keramaian.

Aktivis Bandung masa itu kerap berkumpul di gedung Indonesia Menggugat atau Gelanggang Generasi Muda. Dikedua tempat itu aku merasa asing, tidak kutemukan semangat Bandung Lautan Api. Gedung Indonesia menggugat hanyalah tempat pengadilan Soekarno. Bukan tempat Soekarno menemukan ide-ide besarnya. Sementara GGM hanya tempat anak muda Bandung berkreasi bidang seni dan olahraga.

Tahun kedua di Bandung aku putuskan untuk tinggal di gang Pangampaan, kos an milik Lurah Cicalengka. Saat keluar dari mulut gang dan memalingkan wajah kekanan terlihat rumah asri bersejarah milik Inggit Garnasih (dahulu jalan Ciateul no 8). Perempuan hebat yang memilih meninggalkan Soekarno karena tidak ingin dimadu.

Diseberang rumah ada warung kecil yang menjadi pangkalan becak tempat minum kopi. Dari warung kecil itu aku kerap membayangkan Soekarno pulang kuliah dan membuka pintu disambut Inggit Garnasih. Aku juga membayangkan rumah itu kerap menjadi tempat berkumpulnya Soekarno dkk. Imajinasi liar ku juga membayangkan bagaimana Soekarno merayu Inggit Garnasih. Terbayang juga Inggit Garnasih bolak balik berjalan kaki ke penjara Banceuy untuk membesuk Soekarno yang ditahan Belanda.

Pertengahan tahun 90an saat menginisiasi aksi mogok makan disamping Gedung yang paling angker saat itu, Bakortanasda Jawa Barat. Tidak langsung ditangkap atau dibubarkan aparat karena isu yang diangkat soal moral pejabat kampus. Tuntutan kami dipenuhi pihak kampus. Mahasiswa menang!

Hari kedua mogok makan, seorang dengan celana dasar, kemeja, berkacamata dan bertopi menghampiriku. Ucok ITB katanya sambil menjulurkan tangan, kita harus ngobrol banyak bisiknya. Ini aksi paling keren, kau hati-hati nanti aku mencarimu. Ucok lalu berbalik menjauh dengan menunduk, terkesan dia tidak ingin dikenali. Diam-diam aku ngecek soal Ucok ITB. Hanya Arnold Purba 5 Agustus yang kerap di sapa Ucok, dia sudah bebas dari Nusakambangan, sekarang kuliah di Atmajaya. Informasi yang kuterima benar adanya, rasanya luar biasa senang. Aku dikunjungi oleh legenda 5 Agustus, dan dia berjanji akan mencariku.

Beberapa hari setelah aksi mogok makan yang menggemparkan itu Ucok menepati janjinya. Dia muncul di kos an seorang diri, saat masuk kamar dan melihat majalah Suara Independen dia berkomentar, majalah ini memang penting, untuk bisa membacanya butuh perjuangan, ketauan tentara bisa ditangkap katanya. Tapi yang namanya majalah ya cuma berita, tidak bisa menjawab persoalan rakyat. Pertemuan kedua dengan Ucok sudah mengurungkan niat ku untuk menjadi jurnalis.

Hari-hari berikutnya bila bertemu Ucok selalu diwarung kopi seberang kos-kos an Soekarno dulu. Ucok sangat menguasai pemikiran Tan Malaka. Dia juga paham teori Marxis. Masa itu ITB ada sekolah malam. Kelompok diskusi yang mempelajari teori2 kiri. Kau tidak usah ikut sekolah malam, peserta sekolah malam itu memang pintar-pintar katanya, tapi orientasi mereka bukan untuk perubahan social. Pandangan mereka terhadap Marxisme hanya sebagai ilmu pengetahuan, bukan sebagai alat pembebasan. Banyak materi yang diberikan Ucok tentang Marxisme, tapi yang paling menarik adalah cerita soal penangkapannya hingga dikirim ke Nusakambangan. Sudah saatnya kita mempersiapkan pemberontakan ujarnya berulangkali.

Rutinitas diskusi dengan Ucok dinterupsi oleh crackdown 27 Juli. Ucok ikut berjuang dibawah tanah, sejak itu tidak ada lagi diskusi soal teori. Tiap bertemu Ucok kami selalu membahas taktik menyerang Regim. Bandung jangan kau tinggalkan, harus terus dibakar dengan aksi massa. Kau harus menyeret mahasiswa untuk keluar kampus, lebih baik aksi dengan jumlah massa 10 orang tapi turun kejalan daripada aksi 1000 orang didalam kampus. Sampai sekarang aku masih bisa meniru gaya mu ketika bicara Cok, tangan yang selalu memegang pena itu selalu bergerak mengikuti kalimat yang keluar dari mulutmu dalam bingkai agitasi propaganda.

Pernah aku membawa puluhan mahasiswa Bandung untuk ikut aksi di Jakarta. Aksi dipukul, banyak kawan ditangkap. Kawan-kawan Bandung berhasil lolos tapi tidak memiliki uang untuk ongkos pulang. Kita janjian di Matraman, dekat kos an Ester Indahjani Jusuf, pacar mu yang cantik dan baik hati. Uangmu tidak cukup untuk ongkos puluhan orang ke Bandung, kau berikan uang itu dan menyuruhku menemui Ester di Cikini. Saat itu Ester Direktur LBH Jakarta. Ester senyum2 melihatku yang lusuh dan kumuh. Kamu sudah makan katanya? Aku menjawabnya dengan mengatakan, kawan-kawan Bandung besok ada yang ujian harus pulang sekarang. Ester menghubungi seseorang, dan menyuruhku ke Grogol menemui orang itu. Kamu naik taxi aja biar cepat katanya.

Setelah ongkos untuk teman-teman aku peroleh, segera aku menyampaikan terimakasih pada Ester via pager. Yang membalas pesan pager itu justru Ucok, yang menyuruhku ke daerah Sudirman. Kawan-kawan yang akan ujian kau belikan tiket kereta Parahyangan, sisanya kau pisahkan mereka untuk naik bis dari pulogadung dan kampung rambutan. Kau sendiri harus istirahat, besok saja ke Bandungnya. Malam itu aku tidur di kos an Ucok di bilangan Sudirman.

Sebelum tidur tidak ada diskusi, aku hanya menjadi pendengar tentang keinginanmu pasca lulus kuliah. Kau hanya ingin menjadi think thank. Tidak sulit bagimu mewujudkan keinginan itu, dan memang terbukti toh? Paling tidak pada masa itu kau sudah menjadi tingteng buatku walaupun sifatnya sangat personal.

Setelah dipecat dari ITB, semangat mu untuk sekolah lagi sangat berpengaruh dalam hidupku Cok. Aku juga harus bisa sepertimu, lulus kuliah. Sebagai tingteng aku meminta pendapatmu ketika mengatakan ingin menjadi dosen. Jadi dosen itu baik tapi yang harus kau ketahui, tipikal profesi dosen itu sok tau, sok pinter, pragmatis dan sudah pasti opurtunis. Sayang energimu yang begitu besar dihabiskan dalam lingkungan yang seperti itu. Aku membela diri dengan mencontohkan Arief Budiman, Ariel Heryanto dan George Yunus Aditjondro. Kau hanya tersenyum sambil berkata genit amat sih pengen jadi intelektual yang formalis.

Belasan tahun kemudian aku harus secara rendah hati membenarkan semua apa yang kau sampaikan. Seandainya kau masih hidup, tentu kau datang mengunjungiku, memberikan arahan-arahan agar Rektor Unila yang menyerobot tanah dan menganiaya Rodia ini cepat ditangkap lalu diadili.

Arnold “Ucok” Purba kawan yang aku hormati, sehormat2 nya. Jalan kita ada kemiripan. Jika dulu kamu melawan Mendagri, sekarang aku melawan Menristekdikti.

Maruly Hendra Utama menggugat Rektor Unila dan Kemenristekdikti dengan perkara no.180/Pdt.G/2018/PN Tjk. Tuhan menyayangiku dengan memberikan kemenangan kecil. Pada saat mengajukan eksepsi karena para tergugat menilai gugatan PMH ku lebih tepat di PTUN. Hakim memutuskan eksepsi mereka ditolak!

Belum saatnya merayakan kemenangan, tapi ditolaknya eksepsi itu merupakan pukulan telak di Ulu hati kekuasaan yg pongah di Universitas Negeri kebanggaan rakyat Lampung. Bagaimana tidak, lawyer ku ini adalah generasi setelah kita. Alumni UBL. Universitas Bandar Lampung, bukan Uinstitut Beknologi Landung. Anak muda progresif yg berasal dari UBL telah nge-berak-in Unila. Pelajaran berharga dari PN Tanjungkarang adalah nama besar institusi tidak berbanding lurus dg prestasi jika dipimpin orang berjiwa kerdil!

Kamu tahu Cok, saat aku menulis ini. Ribuan buruh diberbagai kota sedang melakukan rapat2 persiapan mayday, membuat poster, menulis spanduk untuk memperingati hari buruh 1 Mei, tepat di hari kematian mu tahun 2001 lalu. Tentu tidak ada tulisan Hidup Ucok! Karena tulisan Hidup Ucok hanya ada dihatiku. Kau tidak pernah mati, semangat mu selalu mengiringi tindakan ku. Berbahagialah kau disana kawan, aku akan mengenangmu. Selalu!

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru