Jumat, 14 November 2025

Uji Kualitas Adrenalin !

Irwan Ardiansyah Wijaya. (Ist)

Dibalik suka-duka perlawanan terhadap Orde Baru Soeharto, banyak kisah romantika yang tak pernah terlupakan. Maruly Hendra Utama, Mantan Ketua PRD (Partai Rakyat Demokratik) Jawa Barat menuliskannya untuk melengkapi sejarah Perlawanan. Kali ini ia menulis tentang beberapa mahasiswa Bandung yang ikut dalam perjuangan bawah tanah menjelang kejatuhan Soeharto. Kisah ini diambil bergelora dari akun FB Maruly Reborn yang diupload Kamis, 9 Mei 2019. (Redaksi)

Oleh: Maruly Hendra Utama

DIA bukan teman yang masuk dalam kategori cerdas. Tapi semangat untuk belajar dan ketekunan yang luar biasa mampu melampaui apa yang kumaksud cerdas. Orang tuanya pimpinan HMI Jawa Barat yang kecewa pada gerakan mahasiswa 66. Latar belakang itu yang membuatnya melarang semua anaknya terlibat dalam aktivitas politik. Mengenal Irwan, selain bertukar kebaikan juga menyadarkan diriku bahwa aku memiliki kemampuan untuk bisa diterima kelompok manapun. Dari kelompok eki – ekstrim kiri sampai kelompok eka – ekstrim kanan. Sementara Irwan dan keluarganya mewakili kelompok konservatif.

Irwan adalah pribadi yg berani. Berani menolong disaat dia sendiri butuh pertolongan. Semua dilakukannya tanpa pamrih. Hidupnya juga sederhana, sesederhana cita2nya utk cepat menyelesaikan studi lalu bekerja agar bisa cepat menikah dg pacarnya. Pasca crackdown 27 Juli banyak kawan2 gerakan yg diburu tidur dikosannya dan utk itu dia rela mengungsi dikamar lain agar bisa belajar.

Akhir Februari 1997, Komando – Komite Anti Diktator Soeharto – mencetak 100 ribu selebaran untuk mempersiapkan aksi 11 Maret. Aksi akan dilakukan serentak disemua kota Jawa Barat. Percetakan tidak ada yang berani mengambil order ini, maka diputuskan untuk membeli mesin cetak manual yg murah. Komando mengontrak kamar kecil di salah satu gang daerah Suci. Karena keterbatasan ruangan yang tidak bisa menampung seluruh hasil cetakan, maka setiap 10 ribu selebaran dibawa keluar agar bisa didistribusikan ke daerah. Tempat terdekat dari produksi selebaran adalah kosan Irwan di Pahlawan. Supaya tidak diketahui banyak orang, aku sendiri yang membawa selebaran itu menggunakan becak dan meletakannya dikamar Irwan. Titip buku wan, besok aku ambil. Irwan yang nampak buru-buru bersama pacarnya melempar kunci kamar, lalu mengajak aku nonton. Film apa yang bagus tanyanya. Evita Peron kataku. Karena dia bersama pacarnya aku menolak untuk ikut.

Dari tempat Irwan aku pulang ke asrama Lampung. Diteras asrama aku bertemu Bara Sofie, kakak kelas di SMAN 2 Tanjungkarang. Cewek cantik dan baik ini memang sering main ke asrama, aku cukup dekat dengannya. Kami diskusi sebentar soal metode penelitian yang akan digunakannya dalam menyusun skripsi. Saat aku mengajaknya makan dia malah menawarkan makan di kosannya. Dalam perjalanan menuju kosannya didaerah Lengkong, angkot kami terjebak macet dekat BIP, aku mengajak turun untuk nonton. Pilihannya menonton film kartun aku tertawakan, aku membeli tiket film Evita Peron. Didalam bioskop bertemu dengan Irwan tapi kami duduk terpisah. Banyak pertanyaan dari Puyi, panggilan Bara Sofie dalam setiap adegan film. Aku menjawab nanti aja diskusinya karena aku tidak mau terganggu saat sedang menonton.

Sepulang nonton Irwan mengajak pulang bareng menggunakan mobil pacarnya, aku menolak karena Puyi terus mendesak makan di kosannya. Sambil makan masakan Puyi kami diskusi soal film tadi. Puyi banyak menolak pendapat-pendapatku karena menurutnya terlalu liberal dan tidak cocok dengan budaya kita. Selesai makan pagerku bergetar, cepetan ditunggu di kosan sekarang – irwan. Aku mengenal Irwan cukup lama, dan selama ini aku belum pernah merasa terdesak oleh keinginannya. Kata-kata cepetan itu membuatku curiga. Aku ceritakan semua kecurigaan ini sama Puyi. Ayo kita pastikan kesana katanya.

Dalam angkot saat perjalanan lagi-lagi pager bergetar dengan pesan yang sama. Aku semakin yakin bahwa ini bukan Irwan. Angkot dari arah katamso menyebrang jalan suci dan masuk jalan pahlawan. Dari kejauhan aku melihat dua unit mobil kijang parkir dimulut gang. Aku meminta Puyi untuk masuk ke kosan, sementara aku turun di lampu merah. Beberapa saat Puyi keluar dari mulut gang, aku segera sembunyi untuk memastikan dia tidak diikuti. Saat kebingungan mencari, aku Tarik tangannya untuk segera naik angkot. Gawat, banyak orang seperti apparat dan ada beberapa orang yang buka baju disuruh tiarap katanya. Aku berusaha tetap tenang agar Puyi tidak ketakutan. Puyi ingin pulang, tapi aku katakan bahwa Irwan tau kau bersama aku. Saat itu menjelang magrib, aku mengajak Puyi untuk memastikan bahwa Irwan memang telah ditangkap dan aku target selanjutnya

Bersama Puyi menuju asrama tapi melalui jalan yang tak lazim dengan sedikit memutar. Saat itu depan asrama masih berdiri TK milik Kak Seto yang dihuni oleh mbak Tri salah seorang gurunya. Aku melompat pagar dan mengetuk pintu dari samping. Mbak Tri memberi kunci agar Puyi bisa masuk. Saat dia hendak keluar untuk membeli makan aku suruh masak indomie saja sementara Puyi tidak nafsu makan, tegang katanya. Semua lampu dalam ruangan aku matikan, sementara lampu diluar menyala semua. Mbak Tri masuk ke kamar sementara Puyi walaupun ketakutan ingin tetap bersamaku di ruang depan agar bisa menyaksikan apa yang akan terjadi.

Jam 8 malam lewat sedikit, 2 unit mobil yang datang secara beriringan langsung parkir didepan asrama. 1 unit yang terpisah parkir menghalangi pintu belakang asrama, sementara 1 unit lagi parkir tepat di depan TK. Aku dan Puyi segera merunduk untuk menghindari sorot lampu. Total ada 4 unit mobil dengan penumpang puluhan orang yang langsung mendekat ke asrama. Mereka benar-benar terlatih, tidak langsung masuk ke asrama tapi menurunkan termis listrik dulu beberapa saat sehingga asrama menjadi gelap gulita. Saat penghuni keluar karena mati lampu mereka segera menaikan termis lagi dan menerobos masuk kedalam. Aku memastikan memang mereka mencariku.

Hampir sejam mereka didalam asrama Lampung, mengetahui yang dicarinya tidak ada mereka segera keluar. 2 mobil yang didepan asrama segera pergi tetapi penumpang mobil yang parkir didepan TK melompati pagar seperti orang latihan kungfu. Mereka lompat tanpa berpegangan dengan memanfaatkan kap mobil land rover untuk melontarkan badannya masuk ke dalam halaman TK. Puyi tercekat melihat aksi itu, aku segera menutup mulutnya dan berbisik, aku yang dicari mereka, kau tidak usah takut. Sambil membekap mulut Puyi aku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ternyata mereka hanya duduk diteras untuk memantau asrama. Aku menarik Puyi sambil tangan tetap membekap mulutnya, aku ketuk perlahan kamar mbak Tri. Kalian berdua tidur saja aku tetap diluar kataku.

Setelah pintu kamar ku tutup aku segera mencari telpon. Aku menelpon ke nomor darurat yang pernah diberikan Kingkong jika terjadi sesuatu. Itu nomor ratelindo di Jakarta. Demi keamanan nomor itu tidak pernah kucatat, hanya kusimpan dalam memoriku. Mungkin karena panic dan diantara nomor itu ada kode-kode untuk dikurang atau ditambahi, berulangkali aku telpon selalu salah sambung. Dalam hati aku memaki-maki kingkong, dalam situasi seperti ini dia tidak ada di Bandung dan nomor yang diberikannya juga salah. Ditengah keputusasaan diruangan yang gelap itu Puyi keluar dan duduk disampingku. Aku cerita soal telpon yang salah sambung. Berapa nomornya? kata Puyi, aku sebutkan beberapa angka dan mengatakan jika 2 angka terakhir dikurangi 1. Puyi memutar nomor pada telpon rumah itu dan terdengar suara halo. Suara yang aku kenal, itu suara Andi Arief. Segera gagang telpon yang dipegang Puyi aku ambil dan aku ceritakan situasi terakhir, kau jangan sampai tertangkap. Bandung penting sebagai daerah penyangga, jika kau tertangkap akan sulit bagi kita untuk memulai lagi katanya. Andi menyarankan untuk masuk Jakarta secepatnya.

Aku bisa mengontrol diri untuk tetap tenang setelah komunikasi dengan Andi Arief. Aku mengajak Puyi ke kamar dan memaksanya untuk tidur bersama mbak Tri, sementara aku mulai menginventarisir nama-nama kawan yang dikenal Irwan. Semua kawan yang dikenal Irwan tidak boleh aku hubungi lagi. Itu protap jika tidak ingin tertangkap. Setelah adzan subuh, orang yang memantau asrama pergi. Akupun berkemas dengan membawa odol rasa strawberry milik anak TK. Saat pamit, mbak tri matanya berkaca-kaca, hati-hati katanya sambil memberikan sabun switzal dan sikat gigi kecil milik anak muridnya yang masih disegel.

Bertahun kemudian aku kembali mengunjungi Irwan, dia cerita soal penangkapan dan penyiksaan yang dilakukan apparat kala itu. Dia ditahan beberapa bulan dan dikenakan wajib lapor. Tapi yang paling membuatnya stres saat berhadapan langsung dengan Gorris Mere, Direskrim Polda Jabar saat itu, sekarang stafsus Presiden. Ketika aku diundang dalam satu acara oleh Jenderal Hendropriyono bersama Komjend. Gorris Mere di museum Narkoba kawasan Jakarta Timur aku mengajak Irwan. Sekarang jika bertemu dengan Irwan dia selalu menanyakan, kapan kita silaturahmi lagi dengan Jenderal yang pernah nangkep gua?

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru