Jumat, 14 November 2025

Yamin, Tukang Comot Puisi Yang Ceroboh Mengantar Pleidoi

Almarhum M. Yamin. (Ist)

Kenangan pada Kawan Yamin, Ketua Umum Seknas Jokowi masih terus diingat-ingat. Kawan yang selalu membawa keceriaan dan semangat kembali ditulis seorang budayawan, Bambang Isti Nugroho,–yang pernah menjadi narapidana politik penjara Orde Baru Soeharto, karena membaca dan menyebarkan buku Pramudya Ananta Toer. Isti sekarang menjadi Koordinator Komunitas Politik G49 dan aktif di Indemo. Isti mengirimkan tulisannya kepada pembaca Bergelora.com (Redaksi)

Oleh: Bambang Isti Nugroho

MAUT mengintai dia yang hidup. Apa dan di mana orang itu berada, renggutan maut tak tertawar semenitpun. Kuasa maut terjadi kapan saja. Tak terinterupsi protes siapapun manusia fana. Nabiel Ahmad, remaja bertumbuh dewasa, si sulung anak Yamin yang akrab disapa Billy, mampukah marah?

Alexandre Dumas, novelis sejarah di Perancis yang aktivis Republiken abad 19, ingin mendatangi Tuhan di surga karena telah memanggil ayahnya secara tiba-tiba. Si bocah Dumas saat masih 3 tahun ingin menembak jidat Tuhan. “Kenapa Tuhan mendadak memanggil ayahku ketika diriku tidak sedang berada disampingnya”.

Kita dan juga Billy, bukan Alexandre Dumas. Mau main pistol menembak Tuhan karena merenggut Muhammad Yamin secara mendadak. Inallilahi wa inalillahi rojiun. Daging dan tulang manusia mencari liangnya.

Sebelum berpulang pada minggu yang lalu saya bertemu almarhum dalam suasana happy di acara peluncuran buku Rizal Malarangeng, Dari Jokowi Sampai Harari di kafe samping kantor Golkar DKI. Sambil terus lempar ledekan dan cekakakan kita luapkan obrolan. Raut muka dan tubuh gempalnya tampak sehat. Penuh optimis berdiskusi meyakini kemenangan petahana dalam Pilpres 2019.

Bambang Isti Nugroho. (Ist)

Ketua Umum Seknas Jokowi dan Wakil Direktur Relawan di Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi – KMA ini menanyakan tentang kawan-kawan yang telah sukses.  Apakah mereka pernah ke Guntur 49 bersedekah bantu rumah Guntur yang kurang layak akibat tidak terawat lama ditinggal pemiliknya. Kujawab padanya, ada satu dua yang datang.  Selebihnya, lebih banyak yang tak pernah. Denny JA kirim donasi bantu membangun G49. Rumah tua hunian dan singgahan para aktivis gerakan ini jadi lebih layak buat diskusi rutin.

Kukenal Yamin pada 1985 melalui Raziku Amin. Dari sejak itu persahabatan tetap terjaga. Sekalipun saya bukan anggota Seknas Jokowi, jauh sebelumnya ketika 2012 saya bersama Eko Sulistio, sekarang Deputi 4 Kantor Staf Presiden, kami membantu Jokowi – BTP pada Pilgub DKI Jakarta. Selalu berkolaborasi secara informal dan lanjut hingga Pilpres 2014.

Yamin muda memang organisator handal. 1980-an sudah gencar mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan sembari mengorganisasi mahasiswa dan petani, korban represif pemerintahan Orde Baru Suharto. Kasus pembangunan waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah jadi pole attraction antarkota dari pelbagai kelompok gerakan demokratik saat itu.

Baru-baru ini, akhir 2018 ketika peringatan Rumah Gerakan Rode digelar di Kaliurang, Yogyakarta, almarhum Yamin berorasi pendek dialamatkan padaku di depan ratusan hadirin. “Bung Isti Nugroho, sekarang saya katakan padamu ya, bahwa ketika dirimu ditangkap dan diadili, moment itu kami jadikan untuk konsolidasi gerakan mahasiswa, terutama mahasiswa Jogja”, kata Yamin.

Di tengah sahabat-sahabatnya dia mengenang romantisme 80-an pada milad Rode ke 35 tahun. Seperti diakui Yamin dan Raziku, jejak langkah Rode memang berhubungan erat dengan apa yang disingkat B3. Penamaan kasus terhadap kami, yakn…

[9:24 PM, 5/11/2019] Bambang Isti Nugroho: –(Lanjutan)

Yamin adalah pribadi tegas. Sesekali mengucap keras dan kasar. Kudengar sikapnya kadang tak disukai orang. Sosoknya memberi kesan Melayu yang temperamental. Tetapi kepadaku, Yamin suka menolong. Humornya masih sedikit kaku. Lumayanlah untuk mencairkan suasana kami. Setiap bertemu denganku, dia mengucapkan 2 bait puisiku berjudul “Ku Buka Lembaran Pagi”. Menyindirku dengan puisi tersebut. Selorohnya, “Kubuka lembaran pagi dengan perut lapar. Kuurai hari yang airnya keruh seperti hidupku”. 

Selain Yamin, Wahyu Susilo adiknya Wiji Thukul pun juga hapal puisiku ini. Judul puisi itu akhirnya dimuat dalam buku Pledoiku,  berjudul: Membela Hak-Hak Asasi dan Demokrasi di Indonesia. Setelah keluar dari penjara aku berdomisili di Jakarta. Tinggal dan bekerja di Pusat Dokumentasi Politik Guntur 49, di Jalan Guntur 49,  Jakarta Selatan. Rumah tersebut milik Soebadio Sastrosatomo dan Maria Ulfah SS. Sejak 1996 mondar mandir Jakarta – Jogja, sama seperti Yamin.

Libido politiknya tak pernah jeda. Belajar dari mentornya, almarhum Taufiq Kiemas, Yamin ulet berkiprah jadi kader PDI Perjuangan. Jadi anggota DPR RI dan sempat kalah dalam pemilihan bupati 2005 di Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Baru tahu dari cerita Eko Sulistio, Yamin berperan mendekatkan hubungan antara Jokowi dan Taufiq Kiemas. Di puncak karirnya, ia ingin menjadi partisan yang profesional. Sebelum meninggal, almarhum duduk sebagai Dewan Komisaris dari sebuah BUMN papan atas, PT RNI.

Kepada kawan dekat yang lama mengenalnya, ia menghargai perbedaan politik. Pilihan sikap boleh, asal tak harus konfrontatif. Yamin mau bergaul dan blusukan ke beragam jaringan politik yang tak tersentuh tangan Istana. Semakin ke sini, ia memperkokoh diri menjadi bagian “orang dalam”. Dan, aku tetap “orang luar” yang tak pernah teraba jantung kekuasaan.

Jika Yamin loyalis radikal bagi kekuasaan, saya melangkah moderat bergulat menekuni realisme sosial. Kita sama-sama organik, hanya beda track. Walaupun tidak memilih menjadi oposisi militan, saya pun mengenal baik mereka satu dan lain tokohnya. Peralihan tahun 2018 ke 2019 menyentakkan atmosfer politik nasional makin terbelah tajam dalam preferensi politik adu panas.

Lomba dukung mendukung 01 versus 02 gegap menerjang. Barisan 02 mengklaim kubu 01 kekurangan akal sehat. Barisan 01 mengatakan kubu 02 akal sehatnya tersesat. Karena tersesat maka akalnya berubah menjadi akal sesat. Kesemuanya bersikukuh saling mengakali. Partisan buta yang diikuti para followers masing-masing mempersengit dan mempersempit ekosistem pemilih dualisme kandidat. Jika Anda mendukung pihak sana, Anda mesti musuh kami. Jika Anda mendukung pihak sini, Anda harus menentang mereka.

Kita harus berani mengatakan yang kurang dan salah pada kekuasaan walau pahit resikonya. Sikap critical terhadap pemerintah bukan berarti beroposisi melalui tindakan politik konfrontatif. Di sini, Yamin menghormati pilihan sikapku yang mengambil jarak terhadap kekuasaan Presiden Jokowi.

Tetiba jadi ingat Edward W. Said. Baginya peran seorang intelektual itu pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa. Intelektual bekerja profesional mencapai taraf emansipasi dan pencerahan. Terikat organik dari pengalaman riel masyarakat dengan menjadi civitas politics dan menolak bekerja sama pada kekuatan yang menjadi biang penderitaan rakyat. Selalu sadar akan tugasnya untuk tidak membiarkan kebenaran diselewengkan. Berpihak kepada kelompok terlemah dan tersingkir.

Berbeda dengan Yamin, emansipasi politik saya menyudut ke arah pinggiran bilamana dilihat dari konteks pemilikan, kuasa dan kehormatan. Transformasi dari tokoh pergerakan ke elite kekuasaan tak lekang menjadi hujatan kritik terhadap Yamin. Ia memilih bukan sebagai intelektual yang independen dan melawan “si pencipta bahasa”, pinjam Edward Said.

Meskipun banyak kawan menyebut saya sedang bergiat menguatkan civil society, namun saya emoh dengan istilah ini. Pemaknaan istilah ini variatif. Ada yang menganggap sebagai kekuatan pengimbang di luar kekuasaan negara, ada pula merasa peran warga di ruang publik yang bebas. Ada yang menginginkan sebagai kebebasan dan supremasi hukum, ada juga yang menilai wadah kompetisi memperebutkan hegemoni kekuasaan.

Hari ini kepentingan politik demikian “supreme”. Dengannya apapun mampu diintervensi. Ada kaki tangan yang mengoperasikan kerja-kerja “servants of power”. Bukan saja berburu rente tapi juga order. Semua ingin jadi komisioner, pedagang komisi. Imbalan upah atas jasa.

Jokowi berkata kritik itu dimaksudkan mencari solusi untuk kebijakan yang lebih baik. Kritik berbeda dengan mencela. Lain dengan mencemooh. Bukan menghujat apalagi memfitnah. Kritik itu tidak asbun, tapi base on data.

Barangkali soal waktu, sebagian janji kampanye 2014 memang selama 4,5 tahun ini belum terbukti. Pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan 7 persen, terealisasi hanya 5.2 persen terhadap PDB. Menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu, masih isapan jempol. Menciptakan 10 juta lapangan kerja baru, koq yang datang TKA untuk pekerjaan harian kasar dan banjir impor tenaga profesional. Celakanya, kasus pelanggaran TKA meningkat 290 persen seperti ketiadaan izin kerja, dll.

Inilah yang belum diurus hingga Yamin meninggal. Catatan di atas dimunajatkan seorang terpinggir seperti saya untuk Indonesia jaya. Saya bukan penulis obituari yang baik. Verba Voland Scripta Manent. Apa yang terkatakan akan segera lenyap. Apa yang tertulis akan abadi. Jejak Yamin terus berbekas. Jejaknya tidak lenyap. Gone with the wind.

Dari liangnya, suara alam kubur, “Hari ini aku, besok kamu”. Yamin memberi tahu kita bahwa Sang Maut itu tidak pernah jauh. Maut itu akrab. Tak perlu ditakuti, juga tak perlu ditunggu. Sang Maut tetap datang, dengan atau tanpa undangan. Kematian Muhammad Yamin diiringi beratus-ratus rangkaian bunga duka cita, menggambarkan siapa dirinya.  Selamat jalan bung Yamin

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru