Sabtu, 12 Juli 2025

Kisah-Kisah Seputar Gerakan 1998 di Jogjakarta (4): Awal Dari Kesadaran

Partai Rakyat Demokratik di Yogyakarta 2019. (Ist)

Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di

https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-kisah-seputar-gerakan-1998-di-jogjakarta-1995-1998-malam-menegangkan-maret-1998-PKm92 dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)

 

Oleh: Sri Wahyuningsih

SEKITAR pertengahan tahun 1995, Badan Semi Otonom “Retorika”, lembaga kemahasiswaan di Fakultas Filsafat bidang seni budaya (teater) mengadakan diskusi cukup besar bertema “Membongkar Budaya Bisu”.

Saya ditunjuk sebagai ketua panitia, sedang Nor Hiqmah sebagai sekretaris. Pembicaranya empat orang, yaitu: Widji Thukul (penyair progresif), Mulyadi J. Amalik (mahasiswa Filsafat UGM 1990), M. Dwi Marianto (dosen ISI Jogjakarta), dan I Made Tony Supriatma (peneliti Lembaga Studi Realino).

Diskusi sukses digelar. Saya dan Hiqmah sungguh tidak menyangka bahwa penyelenggaraan diskusi itu merupakan semacam “ujian” bagi kami untuk kemudian memenuhi syarat direkrut dalam kolektif organizer mahasiswa di Yogyakarta. Pasca diskusi, kami langsung direkrut masuk oleh Antun Joko Susmono yang adalah juga Ketua BSO “Retorika”.

Pada Desember 1995 itu juga, kami langsung diikutsertakan dalam Kongres Kolektif Nasional, kongres para organizer. Di situlah, kali pertama kami bertemu para organizer dari berbagai kota di Indonesia dan para tokoh pergerakannya. Sejak saat itu, saya dan Hiqmah mulai melakukan segala kegiatan dengan kesadaran penuh akan dasar dan tujuan kami bergerak dan berkegiatan.

Pendeknya, kesadaran kami sudah lebih bersifat ideologis. Sebelumnya, kami berkegiatan hanya dengan tujuan mencari pengalaman, mengisi waktu dengan kegiatan yang kami nilai baik dan positif saja. Status keanggotaan dalam Kolektif Organizer Nasional itu juga yang kemudian melegitimasi penunjukan saya menjadi ketua panitia Kongres Luar Biasa PRD (KLB-PRD) tahun 1996.

Saya, yang sebelumnya minim pengalaman berorganisasi, harus berjuang meng-upgrade kemampuan saya sendiri untuk memimpin kepanitiaan yang bertaraf nasional, dengan anggota kepanitiaan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Dimulailah petualangan baru saya pulang pergi Jogja-Jakarta, dengan variasi rute yang berbeda-beda, dengan berbagai macam tantangan adaptasi yang harus diatasi, dengan kondisi sekretariat yang sering kebanjiran karena berada di area tepi sungai Ciliwung.

Awalnya, Kawan Wibowo Arief (Filsafat UGM 1990) alias Jemek ditunjuk sebagai Koordinator Keamanan. “Aman, ada teman berangkat dari Jogja ke Jakarta,” pikir saya. Ya, saya memang pernah pergi ke Jakarta, namun itu ketika study tour SMP. Tentu saja, pasti blank soal Jakarta. Setelah pasti tentang penugasan kami, kami berangkat malam itu juga ke Jakarta, menuju sekretariat kawan-kawan di Jalan F Gang Z II, Kebon Baru, Jakarta Selatan.

Koordinasi pertama hanya dihadiri beberapa orang. Kalau tidak salah hanya saya, Jemek (Koor. Keamanan), Fransisca Ria Susanti (Koor. Acara, mahasiswa UNDIP), Alm. Arnold Purba alias Ucok (Koor. Pencarian Dana, tadinya dia mahasiswa ITB, tetapi setelah keluar dari penjara karena kasus peristiwa Lima Agustus di ITB, dia kemudian masuk ke Atma Jaya), ada juga Ipung Purwandono (Sie Dana, membantu Ucok, mahasiswa ITB).

Berat… Saya yang anak daerah, tidak terbiasa bicara di depan forum, harus memimpin rapat para aktivis yang jauh lebih senior dari saya. Ya sudah, dengan plegak-pleguk saya jabanin saja…

Formasi kepanitiaan juga sungguh dinamis. Jemek setelah pertemuan koordinasi pertama kemudian sakit. Koordinator Keamanan kemudian ditugaskan pada Amin Sayoga (Sospol-UGM 1992). Sie Dana juga sulit dikoordinasi. Pernah juga Yakobus Eko Kurniawan ditunjuk untuk membantu, tapi juga tidak maksimal secara kerja. Koordinasi sering tidak efektif, secara kerja juga tersendat.

Untuk kerja Sie Acara, saya bisa pasrah seratus persen pada koordinatornya, F. Ria Susanti, dia yang memimpin sidang ketika pembahasan AD/ART Kongres Kolektif Nasional, sesi sidang terlama dan terberat.

Ketika Jemek sakit, saya pernah ke Jakarta bareng Tri Fajar Marhaeni Dewi, aktivis SMID Jakarta, mahasiswa UI yang kebetulan sedang ke Jogjakarta. Sekretariat SMID Jakarta waktu itu berada di Kober, Depok, masih merupakan daerah di mana banyak mahasiswa UI ngekos atau ngontrak. Jika tidak ke Jl. F Gang Z II di Kebon Baru, Jakarta Selatan (karena sedang kebanjiran, misalnya), maka tempat yang bisa dituju adalah Sekretariat SMID ini.

Mau tidak mau, saya harus segera menghapal rute dari Tebet ke Depok, menghafal stasiun apa saja yang harus dilewati agar tidak salah turun. Waktu itu saya diinstruksikan untuk menemui Budiman Sudjatmiko, ketua Presidum Sementara Persatuan Rakyat Demokratik (PS-PRD) untuk diberi arahan bagaimana kepanitiaan harus bekerja.

Pagi dini hari, Budiman baru muncul entah dari mana, dan ngomel-ngomel mendengar acara “Santapan Rohani” dari radio, katanya, “Nggak ada sarapan yang lebih kongkrit, nih, kecuali santapan rohani…?!”

Radio itu memang tidak mati sejak semalam, dan tidak ada yang berniat mematikan atau mengganti stasiunnya. Dan saya tidak mendapatkan arahan apa-apa.

Dan benar, tugas mengetuai acara bertingkat nasional memang tidak mudah. Mulai dari watak orang-orangnya yang sulit tertib (mahasiswa, demonstran lagi), soal dana yang sulit didapat, alat komunikasi yang belum secanggih sekarang, alat transportasi yang hanya mengandalkan transportasi umum kelas rendah, dan sebagainya.

Di Jakarta, ternyata jauh lebih rumit untuk bisa mendapatkan kebutuhan tulis-menulis kecil-kecil seperti pulpen, tip-ex, amplop, tempat fotokopi, dan lain sebagainya. Minimal harus ke Kampung Melayu, itu pun prosedurnya cukup rumit.

Dari sekretariat di Tebet, kami harus jalan kaki lewat gang-gang kecil ke tepi Ciliwung untuk bisa menyeberang naik getek bambu dengan bayar cepek (seratus) kalau air sedang biasa, kalau agak banjir, tarif jadi nopek (200).

Tapi asyik juga. Ketika menyebrang sungai itu, kami akan disuguhi pemandangan ikan sapu-sapu meloncat-loncat di sekitar getek. Habis menyeberang, kami harus jalan kaki lewat gang-gang sempit lagi menuju pinggir Jalan Otista, menunggu mikrolet ke arah Kampung Melayu.

Nah, di pinggir jalan sekitar terminal Kampung Melayu inilah, baru bisa didapat tempat fotokopi dan toko alat-alat tulis. Jika lupa suatu barang tidak terbeli, maka prosedur rumit tadi harus dilewati lagi. Jika Ciliwung banjir dan getek tidak berani beroperasi, maka kami harus jalan kaki memutar lewat jalan-jalan tikus ke arah Stasiun Tebet. “Benar-benar kota yang sangat tidak efektif,” begitu pikir saya.

Alat komunikasi saat itu belum secanggih sekarang. Telepon seluler belum ada. Alat komunikasi tercanggih baru ada pager. Ada juga telepon kartu, tetapi hanya di tempat tertentu terpasang alatnya. Jika ingin menyampaikan pesan ke pemegang pager, kita harus menelepon operator perusahaan tempat pemilik pager berlangganan. Telepon umum hanya ada di wilayah tertentu yang berjarak lumayan jika harus ditempuh jalan kaki.

Di wilayah perkampungan Jakarta, di warung kelontong, kadang ada telepon rumah yang dimodifikasi dengan boks khusus sehingga dapat dipakai untuk umum memakai dua koin seratusan lebar.

Pertama kita masukkan satu koin, jika terdengar semacam bunyi klik, kita harus cepat-cepat memasukkan koin kedua. Jika waktu memasukan koin kedua kurang pas, maka hilanglah dua koin kita tanpa pernah berkesempatan memakai telepon. Prosedur harus diulang lagi. Jika berhasil terhubung, dan tiba-tiba terdengar bunyi khusus, itu tanda kita harus memasukkan koin lain, maka pembicaraan masih dapat berlanjut, itu pun waktunya harus tepat. Jika tidak, maka kita harus mengulang dari prosedur awal.

Sungguh, keterampilan, kewaspadaan serta ke-multitasking-an kita terlatih dan teruji dengan telepon jenis ini. Dan boros, tentu saja. Modifikasi semau-maunya pemilik telepon. Dua koin itu hanya ditukar sekian detik atau menit saja, tergantung maunya pemilik.

Seratus rupiah pada waktu itu setara dengan satu potong gorengan. Hilang dua ratus rupiah adalah setara dengan hilangnya dua potong gorengan pengganjal lapar…

Karena acara kongres berlevel nasional, koordinasi antarkota adalah kebutuhan. Dalam komunikasi interlokal dengan telepon, terdapat kesulitan tersendiri. Jika mau berhemat, seingat saya ada dua pilihan: potongan 25% mulai jam 06.00-07.00 WIB, kemudian jam 20.00-23.00 WIB, sedang potongan 75% baru dimulai jam 23.00-06.00 WIB. Jika di jam yang lain, maka kita akan bicara sambil serasa dikejar-kejar setan.

Dari ketentuan soal jam diskon telepon ini, ada kesulitan tersendiri berkaitan dengan waktu gerbang kost kami dibuka. Aturan di kost adalah: gerbang dibuka sejak azan subuh berkumandang, ditutup pukul 21.00. Jika ada keperluan khusus, kita bisa minta tolong seseorang untuk menjaga gerbang agar jangan dikunci sebelum kembali ke kost.

Belum lagi, jarak kost kami di Asrama Kartini-Kartini di Blok E 8 C Karangmalang cukup lumayan menuju Wartel Kopma-UGM di Bulaksumur, atau Wartel Kopma IKIP di Jalan Kolombo, atau Wartel Jalan Gejayan, jika ditempuh dengan berjalan kaki. Sudah sampai di Wartel masih harus antri. Fiuh…!

Belum lagi soal perbedaan waktu antara WIB, WITA, dan WIT. Jika saya pilih telepon jam 23.00 WIB ke Palu, dan masih harus mengantri setengah jam, maka di Palu sudah jam 00.30 dini hari. Biasanya orang bersangkutan sudah tidur. Kalaupun dapat bangun, maka responnya lemot karena baru bangun, diajak bicara cepat-cepat biar hemat pulsa malah tidak juga paham. Apalagi jika di sana ternyata memakai telepon satelit, suara kita akan bergema, respon pun lambat beberapa detik.

Jika pilih telpon pagi sebelum jam 06.00 WIB untuk menelepon Jakarta, maka orang yang dituju justru belum bangun. Biasa, aktivis tidurnya malam atau dini hari, bangunnya siang. Kalaupun bisa terbangun (biasanya yang bisa bangun pagi hanya Petrus sang Sekjen) maka responnya sama: Lemot. Padahal kita sedang dikejar waktu diskon yang sebentar kemudian berakhir. Huft…

Soal pembiayaan dalam rangka koordinasi (lebih sering di Jakarta) merupakan masalah tersendiri. Organisasi hanya menugasi kader untuk melaksanakan kerja, soal bagaimana mendapatkan uang transportasi ke sana ke mari, itu masalah kader sendiri. Tentu dapat dibayangkan tingkat militansi kami pada waktu itu.

Saya biasanya akan bergerilya menemui beberapa kerabat saya yang tinggal di Jakarta untuk sekadar bisa mendapatkan tiket pulang ke Yogyakarta. Kadang juga, Santi mengajak saya mengunjungi kakaknya untuk minta ongkos pulang kami masing-masing. Belum lagi masalah makan. Makan di warung terasa sangat mahal. Untuk berhemat kami lebih sering makan mie instan yang hanya tahan beberapa jam mengganjal lapar. Jika ingin merasa lebih kenyang, kami akan patungan membeli beras seliter berlauk mie instan juga…

Masalah dana menjadi kendala utama. Kongres tidak bisa segera dilaksanakan terutama karena ketiadaan dana. Proposal sudah saya susun dan gandakan, setelah terlebih dahulu “berjuang” mempelajari bagaimana mengetik menggunakan komputer.

Sebagian proposal sudah dikirim ke daerah untuk penggalian dana, terutama untuk ongkos transportasi kawan-kawan daerah menuju ke lokasi kongres nantinya. Karena Sie Dana tidak efektif bekerja, Petrus sang Sekjen pun turun tangan mengedarkan proposal. Namun, Petrus hanya bisa mendapatkan dana recehan yang kemudian habis lagi untuk biaya transportasi ke sana ke mari mengedarkan proposal, makan sekadarnya, dan kemudian menggandakan proposal lagi. Jadi semacam lingkaran setan saja…

Saya pun demikian. Beberapa nama simpatisan diberikan Faisol Riza untuk dimohon bantuan dana. Namun, sama halnya dengan Petrus, karena hanya dapat recehan, maka sekejap habis hanya untuk transportasi ke sana kemari dan keperluan-keperluan kecil.

Akhirnya, kawan-kawan pun mendesak dan menekan Budiman. Dia yang paling punya akses berhubungan dengan donator besar karena banyak bergaul dengan kalangan elit. Setelah didesak sedemikian rupa, Budiman pun memberanikan diri menghubungi sang donatur. Cukup seorang, dan masalah pembiayaan kongres selesai sudah. Bahkan karena kami terbiasa irit, dana itu pun kemudian dapat dipakai untuk pembiayaan Kongres STN di Bantul dan membantu pelaksanaan Kongres SMID di Purwokerto.

Moda transportasi antarkota jelas kereta api, lebih sering di kelas ekonomi dengan segala dukanya. Sepertinya memang sangat sedikit sukanya naik kereta ekonomi zaman itu. Ketika bertepatan dengan hari-hari menjelang Lebaran, kami naik kelas ekonomi Parcel yang penuh sesak sampai tidak dapat beringsut.

Saya sampai pernah muntah-muntah di kereta tanpa diketahui siapa pun, bahkan teman seperjalanan saya, Santi. Malam itu, lampu gerbong mati, suasana gelap gulita, untung saya berhasil mengambil kantong plastik dari tas. Ya, kaca jendela pecah sehingga angin malam kencang bertiup, sementara gerbong sangat penuh sehingga pori-pori kulit terbuka dan baju basah karena keringat siang harinya. Masuk angin, begitu istilah orang-orang tua.

Sampailah dalam tahap pelaksanaan. Acara diadakan di sebuah Rumah Retreat yang dikelola Komunitas Susteran di Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Soal tempat ini, pilihan dijatuhkan tentu saja karena alasan keamanan sebagai yang utama. Baru kemudian alasan kedua adalah karena murah.

Ada juga satu prinsip pendidikan yang coba diterapkan dalam pengelolaan Rumah Retreat di Susteran ini, yaitu: kami harus menjaga kebersihan dan ketertiban tempat itu sendiri, termasuk mencuci sendiri alat-alat makan kami. Jadi, kami pun menerapkan sistem kelompok piket tak pandang bulu, untuk mencuci alat makan.

Ternyata, mengelola pertemuan yang pesertanya didominasi mahasiswa demonstran bukanlah perkara mudah. Apalagi acara dilaksanakan maraton dari jam delapan pagi sampai jam sebelas malam. Lelah dan jenuh membuat masing-masing peserta kadang sulit mengontrol suara dan tubuhnya.

Meski sudah ada aturan tidak boleh membawa alat makan di ruang sidang, tetap ada yang membawa gelas. Akibatnya di akhir acara, kami panitia harus mengganti kerugian karena beberapa kursi rusak, beberapa piring dan gelas pecah, dan lain sebagainya. Entah bagaimana mereka duduk sampai kursi besi berjok merah ada yang patah ataupun melengkung tak karuan. Gelas tersenggol kaki, dan lain sebagainya.

Jika waktu makan tiba, entah itu coffee break ataupun makan besar, peserta seringkali berebut, atau mengambil jatah lebih. Mungkin karena terbiasa kelaparan. Berbeda sekali ketika saya diperbantukan untuk mengurus kongres STN di tahun yang sama. Para peserta, yang sebagian besar adalah petani, sangat santun, bahkan harus dipersilakan berkali-kali untuk kemudian mau mengambil jatah makan mereka.

Urusan keamanan adalah hal paling rumit untuk kongres yang harus dilakukan tertutup, bawah tanah. Itulah yang menyebabkan personel keamanan terhitung banyak. Soal waktu dan tempat penyelenggaraan, otomatis ada disinformasi.

Biasanya waktu di surat dan proposal yang keluar dimundurkan beberapa minggu dari waktu yang sebenarnya. Kota tempat pelaksanaan juga jelas berbeda dengan yang ada di surat dan proposal. Juga teknis peserta masuk ke kota tempat penyelenggaraan diatur sedemikian rupa.

Jalur komunikasi, sandi, polling, susunan kloter masuk dan pengaturan waktu masuk, penjemputan dan kurir, aturan barang yang harus dibawa dan yang tidak boleh dibawa, briefing soal cadangan acara, dan lain sebagainya. Peserta kongres yang datang dari luar kota datang menggunakan moda transportasi yang sudah ditentukan: bis atau kereta. Mereka datang dalam kelompok-kelompok kecil dan dijemput kurir di tempat penjemputan: stasiun, terminal, atau tempat pemberhentian lain.

Peserta kongres dan kurir belum tentu saling kenal. Untuk itu ada tanda yang sudah ditentukan dan sandi yang harus disampaikan beserta balasannya. Misalnya saja, ditentukan bahwa kurir memakai baju biru, bertopi hitam, dan membawa gulungan map merah.

Ketua kelompok yang dijemput juga harus menggunakan tanda pengenal tertentu, misalnya koran yang digulung dan dijepit di ketiak. Ketika sudah bertemu, akan ada sandi yang harus sesuai dan kemudian jalan berdekatan seolah tak saling kenal. Dari tempat penjemputan tidak langsung ke lokasi kongres, namun ada beberapa stage point yang harus dilalui. Setelah beberapa kali naik angkutan umum, baru kemudian sampai di satu titik yang harus ditempuh dengan berjalan kaki hingga lokasi.

Sejak awal perjalanan dari kota asal, sudah ditentukan bahwa tidak diperkenankan membawa barang berbau politik, termasuk pakaian yang dikenakan harus selazim mungkin dengan kebanyakan orang. Tidak boleh memakai kaos bergambar Megawati, misalnya. Kebutuhan pribadi seperti perlengkapan mandi dan obat-obatan harus dibawa sendiri, panitia tidak menyediakan. Beberapa peserta kongres yang datang lebih awal, harus disediakan polling sebagai tempat sementara mereka beristirahat hingga waktu kongres tiba.

Sebelum acara dimulai, hal pertama yang harus dilakukan adalah briefing keamanan dan pemahaman tentang cadangan acara. Bagaimana teknis pengumpulan paling efektif dari konsep materi kongres diganti materi cadangan jika terjadi hal yang tidak terduga. Bagaimana skenario jika tiba-tiba ada penggerebekan, bagaimana teknis evakuasi, bagaimana pengelompokannya, dan siapa saja yang ditunjuk menjadi kepala regu masing-masing kelompok evakuasi. Kepala regulah yang akan tahu ke mana arah yang harus dituju.

Keamanan dibagi menjadi dua bagian: keamanan luar dan keamanan dalam. Keamanan luar bertugas di perimeter tertentu mengawasi pergerakan di luar dan mengurus arus barang keperluan (seperti materi kongres) keluar-masuk. Keamanan dalam bertugas memastikan keamanan acara di lokasi kongres, termasuk mengontrol volume suara.

Kami sudah menyusun cadangan acara bila terjadi penggerebekan. Materi cadangan sudah disusun dan selalu tersedia di dalam ruangan. Bila keadaan mendadak berbahaya, maka materi kongres yang asli segera ditarik dengan mekanisme tumpuk pinggir dan akan disapu dari belakang untuk segera dievakuasi ke safe house yang terletak terpisah jarak sekian dari lokasi kongres. Dengan aba-aba tertentu, salah satu dari panitia akan bergaya sebagai pengisi acara cadangan.

Ketika kongres selesai, kepulangan dari lokasi juga dilaksanakan per kelompok yang sudah disusun. Dari lokasi kongres diantar kurir ke tempat tertentu, selanjutnya kembali ke kota asal. Beberapa peserta tidak langsung pulang ke kota asal, tetapi mampir dan menginap di sekretariat SMID di Sendowo. Di antaranya yang masih saya ingat adalah Lilik Hastuti, dari Solo. Waktu itu dia kehabisan baju dan meminjam hem jeans biru andalan saya, saya beli dari mengumpulkan uang hasil melukis wajah pesanan orang. Hem itu tak pernah kembali.

Kongres berjalan aman dan sukses. Sukses menghasilkan keputusan-keputusan penting.

Sayang, dokumen satu-satunya yang tersisa dari surat-surat keputusan kongres ini hilang entah diambil siapa di sekretariat Komite Persiapan Legalisasi-PRD (KEPAL-PRD) di Utan Kayu. Dokumen itu dibawa ke sekretariat Utan Kayu karena akan dipakai sebagai contoh Surat Keputusan ketika  mempersiapan kongres PRD 1998. Maka, referensi tentang sikap politik PRD yang dihasilkan dalam kongres ini bersumber dari Manifesto yang dibacakan dalam deklarasi Tanggal 22 Juli 1996, lima hari sebelum peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996. (Bersambung)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru