Sabtu, 12 Juli 2025

Kisah-Kisah Seputar Gerakan 1998 di Jogjakarta (5): Sikap Politik PRD dan Perburuan Pertama

Aksi Partai Rakyat Demokratik (PRD) tetap mendampingi rakyat menyelesaikan persoalannya. (Ist)

Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di

https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-kisah-seputar-gerakan-1998-di-jogjakarta-1995-1998-malam-menegangkan-maret-1998-PKm92 dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)

 

Oleh: Sri Wahyuningsih

PARTAI Rakyat Demokratik (PRD) mendadak mencuri perhatian nasional pada April 1996. Apalagi kalau bukan sikap politiknya hasil Kongres Luar Biasa pada 14-17 April 1996.

Dalam manifesto yang dibacakan pada 22 Juli 1996, sekaligus deklarasi berdirinya partai tersebut, di Kantor YLBHI Jalan Diponegoro, Jakarta, ada sejumlah pernyataan yang menghentak situasi nasional.

Kami di PRD menyimpulkan tidak ada demokrasi di Indonesia, dan karenanya kami menuntut pencabutan Paket Lima UU Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI. Dinyatakan juga keberpihakan yang jelas terhadap perjuangan rakyat Timor Leste untuk menentukan nasib sendiri.

Kerjasama Internasional harus berada di bawah syarat damai dan kemanusiaan, maka PRD menilai bahwa perjuangan demokrasi Indonesia tidaklah lengkap dan palsu jika tidak dihubungkan dengan tuntutan kemerdekaan bagi rakyat Maubere.

Keberadaan Paket Lima UU Politik adalah benteng pengabsahan pemerintah dalam membatasi hak-hak politik rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan tata-kenegaraan.

Berdasarkan UU No. 3 tahun 1985 pasal 1 ayat 1 ditentukan bahwa hanya ada dua partai politik yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan satu Golongan Karya (Golkar). Dua partai dan satu Golkar tersebut pun sudah dalam kondisi terkooptasi.

Dari sini dapat diketahui secara pasti bahwa UU Kepartaian di Indonesia tidak pernah mengatur syarat-syarat ataupun cara-cara pendirian partai politik baru karena menurut UU tersebut, hanya ada PDI, PPP, dan Golkar. UU Kepartaian itu pun nyata-nyata menghalangi partisipasi politik rakyat. Ini nampak dari pasal 10 ayat 1 yang mengatur kepengurusan partai politik hanya sampai tingkat kecamatan.

Ketentuan tersebut merupakan legitimasi formal bagi politik massa mengambang yang mengisolasi partai politik dari rakyat yang adalah daya hidup dan aspirasinya. Rakyat dikondisikan untuk apolitis, asing, dan jauh dari aktivitas politik praktis, hanya diberi kesempatan berpolitik sekali dalam lima tahun.

Kemudian, UU No. 8 tahun 1985 tentang Keormasan menentukan bahwa organisasi kemasyarakatan masuk dalam teritori pembinaan pemerintah. Ada ketentuan dalam UU Keormasan ini yang melarang ormas untuk berafiliasi ke sebuah partai politik (pasal 8) dan dihambat dalam pendiriannya.

Penjelasan pasal 8 ini berkonsekuensi hanya ada satu wadah untuk satu jenis sektor, misalnya ormas yang diakui untuk sektor tani hanya HKTI, untuk Pemuda hanya KNPI, untuk buruh hanya SPSI, dan sebagainya.

Pemerintah juga memiliki kewenangan membekukan dan membubarkan kepengurusan ormas jika ormas tersebut “disinyalir” melakukan aktivitas yang dilarang dalam UU Keormasan. Tindakan pembubaran ini pun dilakukan tanpa prosedur pengawasan melalui jalur hukum (pasal 12-13).

Dalam perkembangannya, UU No. 8 tahun 1985 ini sudah dinyatakan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga perlu diganti (ini tercantum di poin D pertimbangan UU No, 17 tahun 2013).

Dalam UU No. 17 tahun 2013 yang merupakan pengganti UU No. 8 tahun 1985 tentang Keormasan tersebut dikatakan bahwa pencabutan status badan hukum ormas dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum (pasal 68 ayat 2).

Pengajuan permohonan pembubaran ormas berbadan hukum diajukan ke Pengadilan Negeri oleh kejaksaan hanya atas permintaan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia (pasal 71 ayat 1).

Perkembangannya kemudian, Perpu No. 2 tahun 2017 memberikan kewenangan pada pemerintah, lewat Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan HAM, melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Berdasarkan pasal 80 A, pencabutan status badan hukum ormas adalah sekaligus bermakna pembubaran. Perpu yang ditetapkan Presiden pada 10 Juli 2017 kemudian ditetapkan menjadi UU dalam UU No. 16 tahun 2017 yang disahkan 22 November 2017.

Kemudian soal ABRI, mereka mendapat hak khusus diangkat oleh Presiden tanpa melalui Pemilu. Hal ini didasarkan aturan tentang pengangkatan anggota DPR menurut UU tentang susunan dan kedudukan DPR/MPR berjumlah 100 orang. Selain itu, UU ini juga memungkinkan terjadinya “pengusiran” alias recall bagi anggota parlemen yang dianggap ancaman karena bersikap kritis.

UU No. 1 tahun 1985 tentang Pemilu memberikan peluang pemerintah untuk menyelenggarakan screening terhadap calon anggota legislatif sesuai kepentingannya. Ada satu pernyataan juga dalam UU ini bahwa Pemilu dilaksanakan oleh pemerintah di bawah presiden. Untuk menyelenggarakan pemilu dibentuk Lembaga Pemilihan Umum diketuai Mendagri.

Hampir seluruh struktur panitia dan penyelenggara Pemilu dikuasai oleh birokrasi yang adalah wakil penguasa dan Golkar, mulai dari Mendagri hingga Lurah, yang notabene hanya berkepentingan untuk memenangkan Golkar sebagai partai penguasa.

MPR melalui Tap MPR No. IV/MPR 1983 pasal 1 menyatakan tidak akan mengubah UUD 1945. Pasal 2  menyatakan bahwa apabila MPR berkehendak untuk merubah UUD 1945 terlebih dulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Pasal 3 menyatakan bahwa referendum dilaksanakan oleh Presiden/mandataris MPR yang diatur dengan UU. Atas dasar pasal 3 inilah dilahirkan UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum.

Karena hanya mengatur tentang perubahan UUD 1945, UU tentang referendum ini sama sekali tidak membahas dimungkinkannya referendum untuk menentukan nasib sendiri rakyat Maubere (Timor Leste). Di sisi lain, UUD 1945 berubah menjadi sesuatu yang sakral dan tak bisa diganggu gugat tanpa mempertimbangkan perubahan situasi ekonomi, politik dan budaya dunia.

Tidak hanya program, manifesto PRD juga memberikan gambaran sektor-sektor yang potensial untuk disatukan dalam sebuah gerakan. Pertama, kaum buruh; kedua, mahasiswa dan kaum intelektual dalam posisi pelopor karena kemampuan ideologi, politik dan organisasinya; ketiga, kaum miskin perkotaan; dan terakhir, kaum tani.

Sedang bagaimana menggerakan kekuatan-kekuatan demokratik itu adalah dengan platform bersama yang tidak cukup hanya persamaan dalam program dan metode, namun harus mampu menggerakkan dalam kesatuan aksi dan tindakan, juga kecakapan menerjemahkan momentum politik yang mampu menyeret partisipasi rakyat secara luas.

Untuk itu, momentum Pemilu 1997 dinyatakan harus direspon dan diantisipasi. Sedangkan alat untuk mengorganisir dan memperluas jaringan gerak perlawanan adalah dengan membentuk Komite Independen Pemantau Pemilu atau KIPP.

KIPP bukan sekedar alat dari konsep pemantauan proses Pemilu. KIPP harus mampu mendidik dan mengaktifkan rakyat, memberi pemahaman bahwa Pemilu harus dihubungkan dengan kedaulatan rakyat. Dan kedaulatan rakyat harus selalu dihubungkan dengan Paket lima Undang-undang Politik 1985 dan Dwi Fungsi ABRI.

Manifesto PRD juga menyatakan bahwa langkah penting yang mendesak dan harus diciptakan adalah membangun Front Persatuan dengan platform bersama untuk mencapai sasaran strategis bagi kedaulatan rakyat seperti pencabutan lima Undang-undang Politik dan pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Dan Front Perjuangan yang serius dan sejati harus mempunyai program-program, strategi-taktik, dan slogan-slogan yang mengakar ke basis massa.

Front adalah wadah pengerahan massa, bukan sekedar wadah kampanye isu politik, maka front harus dibangun dengan bersendikan kantong-kantong massa.

Dalam Manifesto ini juga, PRD memandang pentingnya menyelesaikan solusi-solusi politik terlebih dahulu untuk mempermudah solusi-solusi ekonomi Indonesia. Pembangunan demokrasi sejati dan sepenuh-penuhnya harus diabdikan pada kedaulatan rakyat.

Untuk itu, suatu Pemerintahan Koalisi-sipil Demokratik Kerakyatan harus diciptakan di masa depan untuk menyalurkan partisipasi rakyat dengan saling menghormati aliran ideologi dan alat-alat politiknya masing-masing secara damai tanpa kekerasan.

Berangkat dari kondisi konkrit di masyarakat, PRD percaya dan yakin bahwa pengorganisiran rakyat adalah satu-satunya cara. Berdirinya PRD merupakan salah satu manifestasi dan jawaban atas kebekuan dan kebuntuan alat-alat politik ekstraparlementer untuk meningkatkan kualitas gerakan rakyat menuju masyarakat Demokratik Multipartai Kerakyatan yang damai tanpa kekerasan.

Didirikannya Partai Rakyat Demokratik adalah gambaran sikap dan posisi frontal berhadap-hadapannya organisasi ini menentang rezim Orde Baru, dengan program politiknya yang radikal mengancam posisi pemerintah pada waktu itu.

Orde Baru dengan watak aslinya yang otoriter, tentu saja kebakaran jenggot dengan manifesto PRD tersebut. Sebab, itu gugatan langsung terhadap pusat-pusat cengkeraman kekuasaannya. Siapa dulu berani menggugat kursi gratis Fraksi ABRI di DPR? Siapa dulu berani menanyakan dwi fungsi ABRI dan meminta pembubarannya?

Itulah mengapa, hanya beberapa hari setelah dideklarasikan, PRD dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Alasan formalnya? PRD disebut sebagai dalang peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli). Itu terjadi hanya dalam jangka waktu tiga bulan lebih sedikit, setelah PRD dinyatakan resmi berdiri dalam Kongres Luar Biasa pada 14-17 April 1996 di Jogjakarta.

Baru beberapa lama berdiri, kini semua eksponen PRD dan para aktivis demokrasi harus menjalani kehidupan klandestin.

Kerusuhan 27 Juli

Saya mencoba menyusun kilas balik yang akan memberikan konteks terjadinya Peristiwa 27 Juli 1996. Kerusuhan ini sebenarnya adalah campur tangan pemerintah dalam urusan internal PDI. Ketika itu, Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum PDI hasil dari Munaslub Surabaya pada Desember 1993.

Rezim melihat Megawati sebagai ancaman. Ada banyak alasan untuk itu. Megawati lebih mempunyai massa akar rumput yang kuat ketimbang ketua yang lama, Soeryadi. Belum lagi, bicara tentang figur ayahanda Megawati, Ir. Soekarno. Singkat kata, Megawati tak bisa dikontrol Orde Baru dan punya potensi menjadi oposisi yang kuat. Sesuatu yang diharamkan saat itu.

Kemudian dengan cara-cara yang licik, rezim Orde Baru merancang skenario menjatuhkan Megawati. Rezim lalu mempengaruhi beberapa fungsionaris DPP PDI dan mendorong terjadinya KLB Medan, dengan tokoh utamanya Fatimah Ahmad.

Beberapa bulan sebelum dilaksanakannya Kongres Medan, massa PDI pendukung Megawati sudah mulai bergerak di berbagai kota. PRD mendukung gerakan penggalangan aksi massa dan mobilisasi untuk memprotes rencana Kongres Medan di antaranya di Surabaya, Semarang, dan Salatiga, dan itu meluas ke berbagai kota lain.

PRD waktu itu melihat Megawati sebagai simbol oposisi. PRD juga meyakinkan bahwa melawan dengan pengerahan massa dan aksi massa adalah jalan utama melawan politik intervensi pemerintah dalam tubuh PDI.

Pada 20 Juni 1996, ketika Yogi S. Memet (Mendagri waktu itu) membuka KLB-PDI di Medan, di Jakarta, massa PDI Megawati dan berbagai Kelompok Gerakan melakukan aksi rally menuju kantor Mendagri di Jalan Medan Merdeka Utara. Mereka dipukul di sekitar Stasiun Gambir. Korban berjatuhan dalam peristiwa yang dikenal dengan “Insiden Gambir”.

Peristiwa Gambir membuat kesadaran baru anti militerisme di kalangan massa. Massa merasakan langsung tindakan kekerasan aparat.

Sejak Peristiwa itu, kantor DPP-PDI di Jl. Diponegoro 58 menjadi ajang Mimbar Bebas untuk menghindari aksi di jalanan yang berpotensi bentrok dengan aparat. Setiap hari, massa berduyun-duyun menghadiri Mimbar Bebas tersebut. PRD menugaskan kadernya secara bergantian, bahkan turut menginap di sana.

Mereka bertugas memberikan dukungan politik kepada Megawati, melakukan kerja-kerja agitasi (membangkitkan semangat rakyat), menyebarkan selebaran dan bacaan, mendorong kesadaran, dan radikalisasai massa yang saat itu mulai tumbuh. Mimbar Bebas tersebut menjadi ajang konsolidasi politik, menjadi simbol kedaulatan rakyat sekaligus simbol perlawanan terhadap Rezim Soeharto. Semakin lama semakin besar, menjadi embrio people power…

Pagi hari, tanggal 27 Juli 1996, kantor DPP-PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta, tempat berlangsungnya terus menerus mimbar bebas, diserbu massa yang mengaku sebagai pendukung PDI pimpinan Soeryadi hasil KLB-PDI Medan, didukung aparat pemerintah Orde Baru.

Hasil penyelidikan Komnas HAM menyebut lima orang tewas, 149 orang luka-luka, dan 23 orang hilang. Bisik-bisik di kalangan bawah tanah, massa PDI Soeryadi tersebut tak lain dan tak bukan adalah tentara.

Dalam tulisan Petrus H. Haryanto (Sekjend PRD waktu itu) di historia.id diceritakan, kumpulan massa di Jalan Diponegoro dan Megaria tidak terpimpin dengan baik. Terjadi semacam mimbar bebas di sana. Teriakan “pembunuh”, “Soeryadi antek Soharto”, nyanyian “Mega Pasti Menang” bergema berkali-kali. Entah siapa yang memulai, mereka mulai melempari Brimob dengan batu.

Tak satu pun pimpinan struktural PDI muncul memimpin massa. Yang berorasi dan membakar semangat massa adalah para aktivis yang biasa turun ke jalan. Begitu juga dengan kelompok-kelompok pro-Demokrasi lain. Insting Petrus menyatakan akan terjadi kerusuhan besar.

Dia ingat yang dikatakan Alm. Munir kepadanya dan Yakobus Eko Kurniawan: “Aku mendapat informasi dari intelijen. Ini sangat valid. Mimbar Bebas akan dibubarkan karena semakin hari menciptakan efek bola salju. Tercipta kesadaran rakyat untuk berani melawan Soeharto. Caranya, kantor diambil alih dengan paksa. Kalau perlu jatuh korban. Dan akan diciptakan kerusuhan. Dan kalian akan jadi kambing hitam”.

Petrus berusaha mengkoordinir kawan-kawan yang ada di lapangan agar bisa memimpin massa. Mereka harus mencegah konsentrasi massa yang berlawan itu menjadi kerusuhan. Massa dijaga selama mungkin terkonsentrasi di sekitar Megaria, agar mampu menyeret massa lain. Mereka harus berorasi program Cabut Dwi fungsi ABRI dan Paket Lima Undang-undang Politik, meneriakkan slogan “Satu Perlawanan Satu Perubahan”.

Dalam koran harian Berita Yudha, tiga hari berturut-turut (25, 26, dan 27 Juli) dimuat berita tentang PRD. Diberitakan tentang deklarasinya, dikutip manifestonya panjang lebar, dianalisis struktur organisasinya, dan disimpulkan mirip PKI.

Mereka juga menyebut ayah Budiman adalah mantan anggota PKI. Mereka ingin membuat opini PRD adalah penjelmaan PKI. Rupanya militer sudah menyiapkan prakondisi untuk memukul PRD, menghentikan langkah PRD berjuang bersama elemen radikal di tubuh PDI melawan rezim Soeharto.

Keyakinan Petrus terhadap informasi Munir bertambah kuat setelah membaca koran tersebut. Apalagi, sekitar pukul dua dini hari, wartawan majalah Gatra terkesan “memaksa” mewawancarai Budiman, seperti tidak akan ada kesempatan lain. Mereka bertanya tentang ideologi PRD dan kenapa struktur organisasi PRD ada istilah underbow segala. Petrus merasakan kejanggalan, demikian juga Budiman.

Akan ada peristiwa luar biasa, demikian pikir mereka. Sementara massa terus diprovokasi oleh oknum berambut cepak untuk merebut kembali kantor DPP-PDI. Petrus berkesimpulan bahwa usaha mereka akan gagal karena tidak ada kepemimpinan dari struktural PDI.

Petrus segera berusaha mengkoordinasikan kawan-kawan di lapangan dibantu Garda Sembiring untuk merencanakan langkah selanjutnya di tempat yang belum terdeteksi aparat di dekat IISIP, Lenteng Agung.

Massa berhasil dipukul mundur. Mereka lari ke arah RSCM dan RS Carolus di Salemba. Suara berdebum tiba-tiba terdengar begitu keras. Ternyata bus tingkat PPD dibakar. Luar biasa. Lautan massa begitu banyak. Mereka dalam keadaan marah karena rezim Soeharto merebut markas PDI dengan cara-cara kekerasan. Aparat sepertinya membiarkan agar kerumunan itu berubah menjadi amok. Mereka tidak lagi mengejar dan kembali ke areal kantor DPP-PDI.

Massa yang dipukul dan digiring ke arah Salemba ketika itu berubah menjadi kerusuhan. Sepanjang Jalan Salemba ke Matraman dan juga ke arah Senen, gedung-gedung dibakar massa. Mereka juga melempari gedung-gedung sepanjang jalan itu dengan batu. Aksi massa yang berpotensi membesar berhasil diarahkan menjadi amok. Dengan begitu, ada alasan bagi rezim untuk menindak.

Tanggal 29 Juli 1996, Menko Polkam Soesilo Soedarman mengumumkan bahwa PRD adalah dalang Kerusuhan. Pernyataan itu dimuat di semua media massa. Media sudah di-briefing sebelumnya. Beritanya seragam. Bahkan TVRI dan RRI memberitakannya berulang-ulang. Para Pimpinan PRD ditangkap, kadernya diburu, semua elemen Gerakan direpresi. Gerakan pro-Demokrasi pun tiarap…

(Bersambung)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru