Ada dua angin yang belum ketahuan mana yang lebih kuat: Angin Pasca Pilpres 2019 yang sengit pertarungan ataukah angin Lebaran 2019 yang menjanjikan silahturahmi. Tulisan Parduru, seorang pengamat budaya dan politik menyorotinya buat pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Parduru
MENDARAS kampanye bertemu capres 01 terbanyak pemilih dengan capres 02. Oleh beberapa begawan universitas maupun politikus. Para begawan tersohor serta elite politik papan atas penghimpun kader, anggota, maupun fans tersebar banyak di seluruh pelosok tanah air ini. Itu indikasikan sesuatu yang istimewa. Selain super istimewanya tokoh capres no 1 dan no 2 itu, yang disasar kampanye itu untuk katanya demi kemaslahatan negeri kita ini.
Tanpa kampanye begini apakah elite politik yang berbeda sikap tidak akan jumpa silahturahmi? Anak kecil saja berkelahi bisa langsung salaman. Jadi buat apa nasehati orang dewasa apalagi petahana presiden bertemu dengan pecundang yang tadinya telah ditokohkan namun kalah? Apakah ditujukan kearah pecundang berhubung si pecundang itu harus perlu dinasehati?
Kalaupun terselenggara pertemuan dimaksud itu berarti bukan bersumber dari niat ataupun isi hati sejati masing-masing kedua pihak. Atau salah satu diantaranya mungkin hanya ikut anjuran pengkampanye. Jika demikian pertemuan berporsi blow up itu akan sekadar adegan cerita, atau akting doang.
Kompromi? Barangkali!
Yang dinasehati agar tidak kehilangan etika silahturahmi, kebanyakan adalah anak atau orang bertabiat brandalan. Biasanya sosok suka bawa senjata tajam,– jagoan, begitulah. Untuk sosok begitu, selayaknya memang perlu nasehat. Jika pun diturutinya sekarang, nantinya jangan banyak berharap karena basis sifatnya itu tidak berubah: menggenggam hartanya dengan sistim konglomerasi privat. Bukankah causaprimer ‘dimana hartamu disitu kalbumu’ tetap berlaku dan tak tergantikan kebenarannya sampai kapanpun?
Kemungkinan situasi nihil silahturahmi terjadi bila korelasi posisi kedua pihak sudah tipe antagonistis. Adakah manfaatnya proses antagonistis itu? Yang pasti bisa diprediksi akan terjadi suatu perubahan spektakuler ekstrim. Tergantung kalkulasi kekuatan masing-masing pihak.
Dari perolehan angka pilpres 2019 pemilih kedua kontestan berbeda sekitar 11%, memang mengusung dua kali beda prosentase dibanding pilpres 2014. Secara selisih angka absolut sesungguhnya sekitar 10 juta suara saja. Jika pemilihan itu benar jurdil tanpa intimidasi dan disosor hepeng, berarti diajang 2019 ini pencoblos lembaran pemilih tiap capres pada dasarnya, sekali lagi, pada dasarnya serupa orangnya dengan pencoblos pilpres 2014. Tentu pasti ada orang mengganti pilihannya, tapi itu hanya sedikit seperti dinyatakan angka hasil real-count KPU.
Sementara itu tadinya sebagian elemen kiri, ormas ataupun perorangan serta sebagian LSM yang bersikap menjauhi Jokowi dengan alasan rasionalnya, menggaungkan persepsi tidak adanya kontestan yang layak dipilih rakyat, menganjurkan pemilik suara mengajak golput sekalipun mau berdiri di bilik suara terlindungi itu.
Hasil real-count KPU menunjukkan dugaan bahwa mereka tetap memilih pujaannya semula. Ada yang menyebut, silent mayority itu kembali faktor penentu memenangkan Jokowi.
Bila diperhatikan golput pilpres 2019 sekitar 20%, ternyata berkurang dari pilpres 2014 sebanyak kurang lebih 30% itu. Angka ini pertanda lebih separuh golputers semula semakin cendrung tepat logika. Katakanlah suara mereka terbagi sama dengan perolehan real-count KPU, maka angka absolut capres 01 bertambah dibanding pilpres 2014.
Apakah sumber tersusunnya kekuatan petahana? Sepintas suara silent mayority terdengar sepoi-sepoi, mempercayai Jokowi masih mungkin berbijak adanya kehidupan sospol nuansa demokratis sekalipun kualitas bawah, dibanding jika tampil lagi inisator dan aktor kuda tuli.
Meskipun silent mayority itu, tetap memperhatikan kebijakan agraria Jokowi membagi sertifikat bukan melaksanakan program reform agraria membagi tanah kepada buruh tani dan tani miskin dengan mensita tanahnya sosok guntai tanah dan tuan tanah.
Kekuatan massa buruh usia muda urban dan millenial terpelajar tidak digalang simultan oleh petahana. Program unicorn, start-up, disruption bisnis, hanya menjangkau millenial terpelajar enterpreuner yang diprogram juga oleh kubu capres 02. Sedang terhadap massa buruh muda urban kurang perhatian padahal golongan ini berpotensi unggul untuk perubahan.
Barangkali masih banyak faktor obyektif yang patut di kalkulasi.
Selain itu faktor subyektif perseorangan, turut dikalkulasi atas peran masing-masing sehingga laju perombakan menjadikan kita Indonesia, kita Pancasila benar bisa terrealisasi kongkrit secara sosial, budaya dan tatanan institusional.
Kalkulasi komprehensif oleh pihak petahana itulah menentukan isi pertemuan silahturahmi kedua capres, jika agenda itu terjadi, di cuaca sepoi-sepoi angin pasca pilpres dan lebaran 2019 ini.

