Jogjakarta sudah dikenal sebagai kota pelopor gerakan mahasiswa secara terorganisir sejak pertengahan 1980-an. Bukan satu kebetulan gerakan mahasiswa meluas ke berbagai kota dan keluar dari kampus masuk ke rakyat,–mengakselerasi militansi dan radikalisme sampai kejatuhan Soeharto Mei 1998. Tulisan ini mengisahkan potongan pengalaman salah satu penggerak mahasiswa di Yogyakarta yang dimuat di https://dnk.id/artikel/sri-wahyuningsih/kisah-seputar-gerakan-1998-di-jogjakarta-9-counter-propaganda-hitam-dan-kerja-advokasi-2n4f0 dan dimuat ulang di Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Sri Wahyuningsih
PASCA crackdown 27 Juli, beberapa pekerjaan tidak bisa ditunda meski situasi sangat tidak kondusif. Pekerjaan awal yang sudah berhasil dilakukan adalah mengkoordinasi kawan-kawan agar tidak larut dalam ketidakjelasan situasi sehingga dikhawatirkan justru akan mengalami demoralisasi.
Setelah berhasil menata kondisi organisasi sebisa mungkin, tahap membentuk komite-komite taktis juga sudah dilaksanakan dan mulai dapat menjalankan fungsinya, di antaranya memecahkan kebisuan situasi sehingga atmosfer perlawanan terhadap kediktatoran terbuka kembali. Bahkan, bonus dari terpecahkannya kebisuan adalah sentimen anti kediktatoran manifest dalam kehidupan keseharian, dalam lingkungan terdekat, seperti yang terjadi di Fakultas Filsafat UGM pada 18 Desember 1996, aksi menuntut PD III untuk turun dari jabatannya, dan berhasil.

Pekerjaan yang juga mendesak adalah counter “propaganda hitam” rezim yang menjadikan PRD sebagai “kambing hitam”. PRD dinyatakannya sebagai “dalang kerusuhan” dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang sehingga para aktivisnya diburu dan ditangkap.
PRD melaksanakan pekerjaan tersebut melalui dua cara: membuat terbitan dan terus berpropaganda melalui komite-komite taktis di pusat dan daerah yang sudah berhasil dibentuk. Komite-komite taktis inilah yang kemudian mengambil alih tugas propaganda yang selama ini dilakukan mengatasnamakan Partai dan organisasi-organisasi massa yang selama ini dipayunginya (SMID, PPBI, STN, Jaker dan SPRIM). Selain itu, komite-komite tersebut juga berfungsi sebagai alat untuk berhubungan dengan organisasi-organisasi lain.
Terbitan dari Komite Pimpinan Pusat-Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) yang muncul pasca crackdown 27 Juli bernama “Pembebasan”. Formatnya majalah dan hanya dikirim dalam bentuk master dari Pusat ke kota-kota cabang. Menjadi tugas pengurus di kota masing-masing untuk menggandakannya dengan memfoto kopi sekaligus mendistribusikan kepada kader, agen dan kontak yang ada.

Pembebasan adalah media propaganda sekaligus arahan tentang apa yang harus dilakukan. Di situ terkandung analisa situasi nasional terbaru sekaligus kesimpulan-kesimpulan tentang apa yang harus dilakukan menghadapi situasi tersebut, alat-alat apa yang harus dibentuk, referensi tentang alat dan bagaimana menggunakannya. Karena bukan bacaan sederhana, maka, untuk memahami isi terbitan Pembebasan ini perlu dibentuk kelompok-kelompok diskusi yang sekaligus dapat berfungsi sebagai alat pengorganisiran.
Pembebasan edisi pertama terbit di bulan Oktober 1996 dengan tajuk: PRD Menjawab Fitnah dan Tuduhan. Seorang kader dari Jogjakarta yang sebelumnya mengurus terbitan SMID (Suara Massa) ditarik sebagai Pemimpin Redaksi dengan nama pena Muhammad Ma’ruf.
Dia mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM yang bernama asli Margiyono alias Megi. Beberapa nama lain tercantum sebagai anggota Tim Redaksi antara lain: Nurhuda bin Harun Syah, Tan Hoe Tjien, Julius E. Haryanto (Edy Haryadi-Filsafat UGM), Hj. Siti Halimah. Dalam edisi kedua, beberapa nama baru masuk dalam Staff Redaksi, antara lain: Mujahid (Faisol Riza-Sastra UGM), Mirah Mahardika (Andi Arief-Sospol UGM), dan Ayu Anggrahini menggantikan Tan Hoe Tjian dan Hj. Siti Halimah.

Contoh paling nyata tentang apa yang disebut “arahan tentang apa yang harus dilakukan” sangat jelas nampak dalam Pembebasan edisi III yang terbit bulan Januari 1997, bertajuk: Membangun Front Aliansi. Dalam edisi ini dikupas tentang seluk-beluk Front Aliansi: apa itu Front Aliansi, bedanya dengan bentuk aliansi-aliansi lain, pengalaman aliansi-aliansi yang sudah pernah terbangun dan bentuk terbaik aliansi yang harus dibentuk untuk menyikapi situasi saat itu.
Pekerjaan lain yang tidak kalah penting dan mendesak adalah advokasi terhadap kawan-kawan yang tertangkap di Surabaya (Dita Indah Sari, Coen Hussein Pontoh, dan Mohammad Soleh) dan Jakarta (Budiman Sudjatmiko, Petrus H. Haryanto, Anom Astika, Wilson, Ken Budha Kusumandaru, Garda Sembiring, Suroso, Ignatius Pranowo, Yakobus Eko Kurniawan, Puthut Arintoko dan Victor da Costa). Saat itu proses hukum sudah masuk dalam tahap persidangan yang dimulai November 1996 untuk kawan-kawan yang tertangkap di Surabaya dan tanggal 12 Desember 1996 untuk kawan-kawan yang ditahan di Jakarta.
Beberapa kawan dipindahtugaskan atau dideploy dalam rangka kerja advokasi ini ke kedua kota tersebut. Juga dilakukan beberapa program dalam rangka kerja ini. Meski tidak semua kawan ikut dideploy, biasanya akan ada instruksi mobilisasi kawan-kawan dari berbagai kota untuk mengikuti proses sidang kawan-kawan di kedua kota tersebut. Ya, moment sidang dimanfaatkan sebagai panggung-panggung propaganda mengcounter propaganda hitam rejim sekaligus tetap mempropagandakan arahan program kerja lain yang harus terus dituntut dan dilaksanakan. Serta, tentu saja, usaha semaksimal mungkin meminimalisir vonis yang akan dijatuhkan dan memberikan semangat pada kawan-kawan yang harus menghabiskan sebagian hidupnya dalam penjara.

Dari Jogjakarta, beberapa kader ditarik ke pusat dan dideploy (baik permanen ataupun non permanen) ke Jakarta dan Surabaya dalam rangka kerja advokasi ini, serta melaksanakan instruksi mobilisasi dalam rangka menghadiri sidang-sidang yang sudah mulai dilaksanakan. Selain itu, ada beberapa kerja lain yang dilaksanakan.
Bukan pekerjaan mudah saat itu untuk begitu saja mengangkat isu yang isinya mengadvokasi kawan-kawan PRD yang tertangkap dan sedang dalam proses persidangan. Pembentukan komite-komite taktis melibatkan kawan-kawan yang sama sekali baru dan diusahakan seminimal mungkin teridentifikasi sebagai organ bentukan PRD.
Dengan mengangkat tema advokasi terhadap kawan-kawan PRD, hal ini berresiko bahwa orang-orang, organ-organ dan kelompok-kelompok lain akan sulit dapat dilibatkan dan bekerja-sama dalam kerja-kerja. Maka, langkah-langkah pra-kondisi harus dilaksanakan terlebih dahulu.

Sebagai latar, perlu saya ungkapkan di sini bahwa setelah melaksanakan Rapat Umum pada akhir Desember 1996, organ taktis bernama Jaringan Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (JKMY) berubah nama menjadi Perjuangan Pemuda untuk Demokrasi (PPD). Mengapa memakai term “Pemuda”? Agar organ ini mampu mewadahi tidak hanya mahasiswa, tapi juga massa lebih luas lagi: Pemuda.
Sebagaimana diketahui, keputusan yang diambil Partai terhadap PDI saat itu adalah PRD memberikan “dukungan kritis” kepada PDI, yang bermakna memberikan dukungan politiknya, namun dengan tetap bersikap kritis jika terdapat hal-hal yang dinilai “kurang pas” dalam sikap dan tindakan yang diambil PDI. Nah, langkah kerja PPD ini diawali dengan penyebaran selebaran di akhir Desember 1996 dengan tema: Di Mana Keadilan Hukum Kita? Sebuah tema yang umum. Setelah itu, diadakan diskusi dengan tema: Advokasi terhadap HAM, Demokrasi dan Tata Peradilan Hukum, dilaksanakan di Ruang Senat Fakultas Sastra UGM Tanggal 2 Januari 1997.
Setelah dua kerja pra-kondisi tersebut dilaksanakan, baru pada 10 Januari 1997, PPD melaksanakan Aksi Advokasi terhadap para Tapol dan Napol, termasuk Tapol-Napol dari PRD. Dalam aksi tersebut dinyatakan secara gamblang sikap PPD yaitu:

Menolak segala bentuk perundang-undangan atau kebijakan Rejim Orde Baru yang memangkas dan membunuh nilai kemanusiaan dan hak-hak politik rakyat.
Mengecam keras terhadap pengejaran, penangkapan, penyiksaan, serta segala bentuk tindak represif lainnya yang dilakukan oleh militer terhadap aktivis gerakan rakyat pro-demokrasi.
Mendukung segala bentuk perjuangan dan perlawanan dalam menegakkan negara Indonesia yang lebih demokratis.
Beberapa tuntutan yang diajukan adalah:
1. Mencabut Dwi Fungsi ABRI;
2. Mencabut Lima Paket UU Politik;
3. Menegakkan Lembaga Peradilan yang independent, serta mencabut UU anti Subversi;
4. Membebaskan Budiman, Dita, Pakpahan, serta semua aktivis gerakan rakyat pro-demokrasi lainnya;
5. Menghentikan pengejaran, penangkapan dan penyiksaan terhadap semua aktivis pro-demokrasi lainnya;
6. Dudukkan kembali Megawati Soekarnoputri menjadi Ketua Umum DPP-PDI;
7. Adili Soeryadi serta dalang sesungguhnya dari kerusuhan 27 Juli.
Selain pernyataan sikap dan tuntutan, dalam statemennya, PPD juga mencantumkan beberapa seruan, yaitu:
1. Kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak politiknya.
2. Kepada seluruh aktivis gerakan pro-demokrasi untuk terus berjuang menegakkan demokrasi.
3. Kepada seluruh rakyat dan seluruh aktivis pro-demokrasi untuk turut mengadvokasi aktivis gerakan rakyat pro-demokrasi dari jeratan UU anti Subversi.
Beberapa organ dan kelompok terlibat dalam aksi ini. Selain statemen resmi dari PPD sebagai penyelenggara, beberapa organ lain membacakan statemennya masing-masing di antaranya dari Komite Perjuangan Demokrasi (KPD), juga Dewan Mahasiswa Universitas Sanata Dharma (DEMA-USD), dan dari Dewan Mahasiswa UGM (DEMA-UGM). Juga terdapat perwakilan Mahasiswa dari Timor Leste bernama Pedro yang berorasi dalam aksi ini, mengungkapkan soal rekayasa referendum dan pernyataan kemerdekaan yang sebenarnya telah mereka proklamasikan pada tahun 1975, dengan presiden pertamanya yang saat itu menjalani tahanan rumah.
Anggota PPD sendiri relatif cukup heterogen. Selain dari UGM, beberapa berasal dari Universitas Sanata Dharma (USD), dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi-Syariah Banking Institute (STIE-SBI), dari Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Atma Jaya (UAJY). Dilihat dari latar belakang kegiatan yang sebelumnya digeluti juga cukup berragam. Mayoritas memang berasal dari aktivis Pers Mahasiswa, ada yang aktif di Teater Kampus, dari Senat Mahasiswa Fakultas, Dewan Mahasiswa (non UGM) bahkan ada yang dari HMI (Haris Rusli Moty).
Saat itu, saya masih sering mendapatkan saran dari Faisol Riza yang masih bolak-balik Jakarta-Jogjakarta. Sebelumnya, dia adalah ketua kolektif bawah-tanah kami di Jogjakarta, namun kemudian ditarik ke Jakarta, setelah sebelumnya juga bertugas mengurus Jawa Tengah. Dua hal sering dia tekankan pada saya: kritik terhadap kecenderungan saya untuk suka melakukan “pekerjaan remeh-temeh” dan keengganan saya untuk tampil di depan massa. Ya, Riza selalu nampak tidak suka melihat saya menjilid sendiri proposal kegiatan dan merapikan arsip.
Dia lebih mendorong saya untuk berlatih bicara di depan forum, mengajukan pertanyaan atau pendapat dalam seminar, misalnya. Dan saya pada dasarnya adalah manusia pemalu yang terpaksa menerima tugas sebagai ketua organ mahasiswa yang harus dibentuk dan harus dipimpin secara organisasi dan politik. Itulah mengapa, saya lebih suka menyerahkan tugas-tugas orasi dan pidato di depan massa pada kawan-kawan PPD yang lain. Saya sangat mudah grogi dan situasi emosional sangat mudah membuat suara bahkan anggota tubuh saya, seperti tangan, bergetar. Tentu saja saya bukan tidak berusaha semaksimal mungkin mengatasi kelemahan saya itu.
Jika Riza masih intens di Jogjakarta pada saat bulan Ramadhan di bulan Januari-Februari 1997, tentu dia tidak akan sepakat dengan metode panggalian dana yang kami lakukan. Ya, kami berjualan kolak dan koktail di sekitar Boulevard UGM di sore hari menjelang buka puasa. Jadi, jika di sekitaran UGM pernah booming mahasiswa yang mencari peruntungan dengan berjualan segala macam barang baik di Minggu pagi maupun sepanjang bulan Ramadhan, kami sudah melakukannya hal itu di awal tahun 1997.
Bukan mencari keuntungan pribadi, namun untuk mencari biaya penggandaan selebaran dan perlengkapan aksi, serta keperluan-keperluan lain dalam gerakan pro-demokrasi. Kami merasa tidak cukup nyaman dengan metode penggalian dana dengan terus-menerus mengedarkan proposal ataupun mengharap sumbangan dari simpatisan. Kami namakan dagangan kami: Kolak Demokrasi.
Sehabis berjualan, kami akan berbuka puasa masih di lokasi jualan di sekitar Boulevard. Setelah itu kami ke Sekretariat Dian Budaya di Fakultas Sastra. Tengah malam kami akan mengisi waktu berboncengan motor berramai-ramai ke alun-alun selatan keraton sekedar bergembira “Masangin” sambil menunggu Pasar Beringhardjo mulai buka sekitar pukul 02.00 dini hari.
Setelah belanja bahan kolak dan koktail serta bahan makanan buka, kami akan balik ke kampus sambil mampir di warung padang “Murah Meriah” untuk membeli makan sahur kami. Baru setelah kira-kira pintu gerbang kost dibuka di pagi hari dan situasi tidak gelap lagi, kami, pasukan penjual Kolak Demokrasi (Saya, Nor Hiqmah, Nuraini minus Susi Ivvaty yang punya motor), akan jalan kaki pulang ke kost kami di Asrama Kartini-Kartini Karangmalang Blok E-8 C. Setelah mandi dan beristirahat, siang kami akan mulai masak dagangan dan makanan berbuka kami. Begitu terus setiap hari…
Saya jadi teringat satu peristiwa konyol di bulan puasa itu. Saat itu kami belanja di Pasar Demangan Jalan Gejayan. Melewati kios penjual jamu godhog, muncul ide membeli. Saya pikir agar badan lebih sehat dan fresh. Sore itu saya rebus ramuan jamu tersebut dan saya minum ketika berbuka dan sahur. Beberapa kawan ikut minum. Salah satu yang saya ingat betul adalah Susi Ivvaty, mahasiswa Sastra Arab UGM yang juga aktif di UKM Teater sehingga berpembawaan sangat ekspresif dan “bocor” meski berjilbab.
Ternyata efek jamu yang kami minum salah satunya adalah “menambah nafsu makan” sehingga puasa kami menjadi jauuuhhh… lebih berat… Dan Susi pun teriak “Wuasyemmm…! Gara-gara jamu-mu, Ning, wetengku ngelih tenannn…!!!” Hahaha…
***
Bersambung…
Sumber tulisan:
1. Keterangan dari Petrus H. Haryanto dan Dita Indah Sari;
2. Bundel majalah Pembebasan;
3. Kronologi Aksi Advokasi PPD;
4. Statemen dari PPD dan KPD;
5. Selebaran dan Undangan diskusi.