Akankah rekonsiliasi bisa nyata? Apakah Presiden Jokowi mampu memastikannya? Apakah rakyat harus tetap menunggu saja sambil menonton? Himawan ‘Japrak’ Sutanto, aktivis 1980-an dari Yogyakarta menyorotinya kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Himawan Sutanto
KETIKA kekuasaan diraih dengan legitimasi kurang, maka seharusnya kita maknai dengan semangat persatuan. Agar apa yang diraih menjadi legitimasi penuh. Hal itu masih terlihat dengan berbagai komentar yang masih saja saling mengejek, nyinyir, menghina dan lain sebagainya yang ada di sosial media. Tidak ada satupun orang atau kelompok yang menghentikan, kecuali pemerintah menghentikannya.
Kita harus belajar dengan tindakan Menkoinfo yang menghentikan sosial media ketika terjadi kerusuhan tanggal 21 Mei 2019 dan dihentikan semua sosial media tanggal 22 Mei 2019. Hal itu menjadi penting karena tanpa sosial media semua menjadi tidak berdaya dalam komunikasi, kecuali dengan SMS kembali. Bahkan mencari alternatif yang pemerintah sendiri kebingungan karena membuka cara pemerintah dalam memblokir situs porno jadi ketahuan “tidak sempurna”.
Melihat hal di atas perlu kita kritisi, bahwa politik kita sedang berada dalam posisi tanpa tanda baca. Sebab semua menjadi tak terkendali dengan serangan info baik yang benar ataupun yang hoax. Semua bisa menjadi alasan sesuai dengan kepentingannya. Dimana kekuasaan hanya bisa melakukan cara-cara konservatif dengan menghentikan sosial media yang tidak memberikan pesan edukasi. Hal itu dilakukan karena media mainstream juga tidak bisa mengabarkan sesuatu yang seharusnya diketahui dan dimiliki masyarakat.
Pernyataan Rocky Gerung di ILC adalah fakta, bahwa Jokowi menang, tapi legitimasinya ada di Prabowo. Hal itulah yang harus kita lihat ke depan, bahwa rakyat masih terbelah dan rekonsiliasi sangat sulit dilakukan. Sebab tidak mungkin efektif pemerintah melakukan kerja jika legitimasinya lemah.
Kita hanya bisa menduga-duga saja, bahwa persatuan yang diamanatkan kepada pemenang akan sulit dilaksanakan. Sebab Jokowi sendiri tidak memiliki kapasitas merealisasikan rekonsiliasi tersebut. Hanya orang-orang yang disekelilinglah yang mampu, lalu siapa yang disiapkan untuk melakukan lobby ke kubu Prabowo ? Prabowo sendiri juga delematis, sebab pertemuannya dengan Jokowi akan mengganggu emosi para pendukung Prabowo.
Itulah yang ada dalam realitas politik kita. Dimana politik sentimen dikedepankan dan sekarang menjadi kenyataan, bahwa polarisasi benar-benar sangat kuat dan militan. Sampai kita menjadi negara miskin “negarawan”. Karena semua sudah terbelah karena kepentingan kekuasaan belaka yang berdasarkan like and dislike.
Seharusnya kita belajar dari apa yang dikatakan Nelson Mandela bahwa seorang pemimpin seperti seorang gembala. Dia tetap berada di belakang kawanan domba, membiarkan yang paling gesit maju, lalu yang lainnya mengikuti, tanpa menyadari bahwa selama ini mereka diarahkan dari belakang.
Inilah realitas politik kita dewasa ini,– tidak mampu mencerdaskan kehidupan berbangsa dan mundur dari nilai demokrasi yang telah diperjuangkan selama ini. Karena politik hanya sekedar mengejar kekuasaan, bukan sebagai cara untuk memperbaiki kehidupan berbangsa kita. Sepertinya kita jauh dengan peradaban yang selama ini ada dan seperti kata Martin Luther King,– bahwa kita bukan pembuat sejarah. Kita dibentuk oleh sejarah.

