Sekelompok umat Islam yang terpapar ideologi Islam Radikal, menginginkan negara berbentuk Khilafah dan Undang-Uundang diatur sesuai dengan syariat islam versi Ideologi Trans Nasional. Muhammad Ikhyar Velayati Harahap mengulasnya untuk pembaca Bergelora.com. Penulis adalah Ketua Partai Kebangkitan Nasional Ulama Sumut Priode 2007-2014, Ketua Forum Aktifis 98 Sumut dan Ketua Relawan Capres Jokowi-KH Ma’ruf Amin yang tergabung dalam Jaringan Amar Ma’ruf Sumatera Utara.
Oleh: Muhammad Ikhyar Velayati Harahap
FENOMENA keragaman aliran yang rentan meletuskan konflik ideologi, sosial dan politik umat Islam bukan cuma terjadi sekarang. Berpuluh abad silam, di zaman para sahabat ketika perkembangan Islam mulai signifikan, konfrontasi politik maupun perbedaan pemikiran teologi telah sukses membidani kelahiran banyak sekte atau aliran (firqah) dalam Islam. Konflik elit pertama di mulai dari perang Jamal (35 H/656 M) antara pasukan Ali Bin Abi Thalib dengan pasukan Aisyah (Istri Nabi) yang di bantu oleh Zubair dan Thalhah. Perang ini di latar belakangi tuntutan keadilan atas terbunuhnya khalifah terdahulu yaitu Usman Bin Affan.
Tuntutan akan keadilan dalam proses terbunuhnya Usman Bin Affan berlanjut menjadi perselisihan suksesi memperebutkan tampuk ke kekhalifahan dalam perang Siffin(37 H/657 M) antara Ali Bin Abi Thalib versus Muawwiyah Bin Abu Sofyan. Perang ini berakhir dengan Tahkim (Arbitrase) antara kedua belah pihak. Sikap berbagai kelompok dalam menyikapi Tahkim (Arbitrase) tersebut memunculkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti Syiah, Khawarij dan Murjiah.
Sebahagian kelompok yang bersikap netral dalam menyikapi arbitrase tersebut di kenal dengan Mur’jiah. Dalam perkembangan sejarah Murji’ah ini selalu berada dalam posisi di tengah dan hati hati dalam merespon dan menyikapi fenomena politik. Sementara Syi’ah adalah kelompok politik yang mendukung Ali secara penuh setiap kebijakannya dalam perang Siffin, Syi’ah menganggap Ali adalah sebagai pewaris sah kepemimpinan Rasulullah. Syi’ah mengukuhi sistem imamah sebagai landasan politik Islam, yang secara ideologis dipertentangkan dengan khilafah. Dalil politik itu lantas mekar dalam wacana teologi Syi’ah yang meyakini keturunan Ali (ahl al-bait) sebagai imam sejati.
Di sisi lain, Khawarij adalah kelompok yang pada mulanya pendukung setia Ali Bin Thalib tetapi keluar dari barisan, karena beranggapan Ali berhianat dan berkompromi dengan musuh (Muawwiyah Bin Abu Sofyan) karena menerima Tahkim/Arbitrase , di saat kemenangan sudah di depan mata. Dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan/ideologi.
Kelompok politik ini (Khawariz) berulang kali mengangkat senjata menuntut hak istimewa Bany Quraisy untuk menduduki tahta kekhalifahan. Dalam teologi, khawarij tergolong pendukung utama gerakan puritanisme Islam. Melarang praktik-praktik kultus terhadap orang suci, selain memberangus kelompok-kelompok persaudaraaan para sufi
Gerakan Trans Nasional Global saat ini merupakan pewaris ideologi, politik dan metode perjuangan kaum khawariz terdahulu. Ada tiga gerakan transnasional modern global yang semuanya berasal dari Timur Tengah, yaitu al-Ikhwan al- Muslimun, gerakan yang muncul di Mesir pada tahun 1928 di bawah kepemimpinan Hasan al-Banna. Gerakan ini lahir untuk merespon arus sekularisme di Mesir.
Kemudian Hizb al-Tahrir, gerakan yang muncul di Yordania tahun 1952 di bawah kepemimpinan Taqiyuddin an-Nabhani, yang bercita-cita mengembalikan Khilafah Islamiyyah di dunia Islam.
Dan yang ketiga Salafiyah/Salafy, gerakan yang muncul di Saudi Arabia di bawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahhab pada tahun 1745, yang mengumandangkan perang terhadap praktek-praktek bid’ah, khurafat, syirik, dan menyeru kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah.
Semua orang Islam yang tidak sepaham dengan ajaran Ibnu Abdul Wahhab dan pengikutnya, dianggap kafir, musyrik, dan murtad. Tuduhan-tuduhan seperti ini sering mereka lontarkan ketika belum memiliki kekuatan bersenjata, terutama pada awal-awal berdirinya aliran ini, pertengahan abad ke-18 M.
Dalam perkembangan sejarah, ketiga model gerakan dan paham ideologi ini, dikenal sebagai aliran keagamaan yang fundamental, revivalis, atau transnasional anggota-anggotanya.
Gerakan Islam Radikal di Indonesia
Radikalisme agama yang dilakukan oleh gerakan Islam garis keras dapat ditelusuri lebih jauh ke belakang. Gerakan ini telah muncul pada masa kemerdekaan Indonesia, bahkan dapat dikatakan sebagai akar gerakan Islam garis keras era awal berdirinya NKRI. Gerakan dimaksud adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang muncul era 1950- an (tepatnya 1949). Darul Islam atau NII mulanya di Jawa Barat, Aceh dan Makassar. Gerakan ini disatukan oleh visi dan misi untuk menjadikan syariat sebagai dasar negara Indonesia.
Gerakan DI berhenti setelah semua pimpinannya atau terbunuh pada awal 1960- an. Sungguhpun demikian, bukan berarti gerakan semacam ini lenyap dari Indonesia. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an gerakan Islam garis keras muncul kembali, seperti Komando Jihad, Ali Imron, kasus Talangsari oleh Warsidi dan Teror Warman di Lampung untuk mendirikan negara Islam, dan semacamnya.
Pada awalnya, alasan utama dari radikalisme agama atau gerakan-gerakan Islam garis keras tersebut adalah dilatarbelakangi oleh politik lokal: dari ketidakpuasan politik, keterpinggiran politik dan kritikan terhadap Soekarno karena mengakomodir Kaum Komunis dalam pemerintahan. Namun setelah terbentuknya gerakan tersebut, agama meskipun pada awalnya bukan sebagai pemicu, kemudian menjadi faktor legitimasi maupun perekat yang sangat penting bagi gerakan Islam garis keras.
Disamping itu, persinggungan Islam di Indonesia dengan Timur Tengah juga menjadi medium bagi masuknya varian sekte wahabi atau salafi sekitar abad ke 19. Disamping agenda puritanisme Islam, sekte tersebut juga menyusupkan ideologi politik yang hendak di perjuangkan.
Kini Salafi-Wahabi secara terselubung memekarkan akar akarnya lewat lewat Ormas ormas keagamaan, selama ini mereka getol memperjuangkan tegaknya sistem Khilafah. Di Indonesia, Kelompok ini bisa diketemukan pada Hizbut-Tahrir Indonesia (HTI). Orientasi gerakannya adalah membangun negara Islam trans-nasional di Indonesia di bawah kepemimpinan tunggal khalifah Islamiyah.
Hampir sama dengan HTI, yaitu Majlis Mujahidin Indonesia (MMI) yang bertujuan untuk mendirikan negara Islam Regional (Asia Tenggara) di bawah kepemimpinan seorang Amir.
Sedangkan Front Pembela Islam (FPI) dan Front Taktis Islam Garis Keras seperti GNPF maupun PA 212 lebih mengarah pada penerapan syari’ah pada tingkat masyarakat, tidak pada level negara. Saat ini, baik Ormas Islam Garis keras (HTI, MMI, FPI, GARIS) maupun Front Taktisnya (PA 212, GNPF) memiliki kesamaan dalam orientasi politiknya dan sama-sama menolak pemerintahan demokrasi Jokowi-KH Ma’ruf Amin.
Menurut catatan BIN (Badan Intelejen Nasional), memang Gerakan Salafi tidak selalu disertai dengan kekerasan, karena gerakan ini terbagi menjadi dua, yaitu “salafy jihadi” dan “salafy dakwah”. Salafi Jihadi merupakan kolaborasi Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang cenderung menggunakan kekerasan dalam penyebaran ideologinya. Mereka didukung oleh pengikut Darul Islam (DI), khususnya jaringan Pesantren Ngruki dan alumni Afganisthan dan Maroko.
Lembaga mereka yang eksis di Indonesia adalah Jamaah Islamiyah dan Majlis Mujahidin Indonesia. Adapun Salafi Dakwah, juga dikenal dengan Salafy Surury, adalah gerakan Wahabi internasional yang berkembang melalui jaringan guru-murid, terutama melalui alumni LIPIA. Yang menjadi tokoh sentral mereka adalah Bin Baaz, Nashruddin al-Albany, dan Syaikh Mugbil.
Gerakan Salafi Dakwah ini menyebarkan paham paham ideologi mereka yang tekstual dengan memurnikan akidah, Gerakan ini banyak disebarkan di pesantren-pesantren yang pendirinya merupakan alumni LIPIA atau Timur Tengah, khususnya dari daerah Saudi Arabia.
Runtuhnya Hegemoni Negara
Pasca reformasi 1998 yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya
Suksesi kepemimpinan lokal maupun nasional seringkali di jadikan jalan masuk bagi Ormas/Tokoh gerakan islam radikal untuk menyebarkan paham paham Trans Nasional sekaligus sebagai wadah untuk melakukan konsolidasi organisasi, rekrutmen serta pembangunan front politik dari ormas berideologi sejenis.
Salah satu contoh paling aktual ialah Pilkada Jakarta 2017, Pilkada Sumut 2018 dan terakhir Pilpres 2019. Dalam momentum elektoral tersebut gerakan Trans Nasional ( HTI, IM, Wahabi, FPI, MMI dll) mendapatkan panen politik berupa perluasan kampanye, perluasan struktur hingga terjadinya rekrutmen kader dan simpatisan dalam jumlah besar dan massif.
Secara politik, ketiga momentum elektoral tersebut mencerminkan kemenangan politik dan ideologis buat mereka, hal ini tercermin dari strategi dan taktik tokoh/ormas radikal tersebut mampu membuat pembelahan mulai tingkat elit sampai akar rumput, dari level nasional hingga kampung kampung bahkan rumah tangga, bahkan pembelahan ini juga menular pada masyarakat fungsioner di Institusi negara ( ASN-TNI-Akademisi Kampus-Guru). Situasi ini membuat orang terkejut dan tersadar ternyata ideologi fundamentalisme sudah mengakar di masyarakat Islam Indonesia.
Beberapa hasil riset dari lembaga negara maupun swasta membuktikan fenomena radikalisasi dan fundamentalisme agama bukan isapan jempol belaka. Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyebut ada sekitar 3 persen prajurit TNI yang terpapar radikalisme dan tak setuju Pancasila sebagai ideologi negara. Sebelumnya BNPT menyebut 2 Juta pegawai BUMN berpotensi kuat terpapar ideologi transnasionalisme.
Sementara hasil Riset Setara Institute, menyebutkan terdapat 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia terpapar paham Islam radikalisme. Gelombang radikalisme pada 10 PTN tersebut dibawa oleh kelompok keagamaan yang eksklusif yakni dari kelompok yakni salafi-wahabi, tarbiyah, dan tahririyah. 10 PTN tersebut yakni UI, ITB, UGM, UNY, UIN Jakarta dan UIN Bandung, IPB, UNBRAW, UNIRAM, dan UNAIR.
Kelompok keagamaan ekslusif ini, menjadikan masjid dan musala sebagai basis kaderisasi. Dalam menyebarkan ajarannya, kelompok ini menyasar organisasi kemahasiswaan seperti Lembaga Dakwah Kemahasiswaan dan Lembaga Dakwah Fakultas.
Fakta menguatnya gerakan dan penyebaran ideologi islam radikal juga terungkap dari penelitian Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kepala BNPT Saut Usman Nasution menyatakan terdapat 19 pondok pesantren yang terindikasi mengajarkan doktrin bermuatan radikalisme. 19 pondok pesantren itu terlihat mendukung dan menyemaikan ajaran radikalisme di Indonesia.
19 pondok pesantren yang terindikasi BNPT terebut ialah Pondok Pesantren Al-Muaddib, Cilacap; Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Lamongan; Pondok Pesantren Nurul Bayan, Lombok Utara; Pondok Pesantren Al-Ansar, Ambon; Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah, Makassar; Pondok Pesantren Darul Aman, Makassar; Pondok Pesantren Islam Amanah, Poso; Pondok Pesantren Missi Islam Pusat, Jakarta Utara; Pondok Pesantren Al-Muttaqin, Cirebon; Pondok Pesantren Nurul Salam, Ciamis; dan beberapa pondok pesantren lain di Aceh, Solo, dan Serang.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengakui, sikap atau pola pikir intoleransi serta radikalisme di satuan pendidikan masih ada di tingkat dasar hingga atas. Gerakan Ideologi Trans Nasional ini seakan musuh dalam selimut dalam rumah besar NKRI.
Di satu sisi, dalam setiap proses dan momentum politik yang terjadi, negara beserta intelektual islam moderat gagal menurunkan derajat militansi dan menahan arus perlawanan dari massa umat Islam yang terpapar ideologi Islam radikal yang di pimpin oleh intelektual tradisional kaum Wahabi, khususnya dalam momentum politik Pilkada DKI 2017, Pilkada Sumut 2018 dan Pilpres 2019. Hal ini mencerminkan runtuhnya hegemoni negara terhadap intelektual tradisional Islam dan intelektual organik berideologi Trans Nasional/Islam Garis Keras.
Satu Bantal Beda Mimpi
Sejak lengsernya Rezim Orde Baru, sistem politik dan demokrasi yang kita anut memungkinkan segala kekuatan politik berlaga untuk mendapat dukungan rakyat dan jika beruntung duduk dalam kekuasaan. Pertarungan antara kekuatan ideologi Islam radikal maupun Islam moderat berhadapan secara langsung untuk mendapatkan legitimasi politik di masyarakat, khususnya umat islam.
Bagi gerakan penganut ideologi politik fundamentalis Islam (HTI, Wahabi, IM, JI, FPI) pemilu bukanlah tujuan, tetapi wadah dan momentum untuk memperluas panggung, memperluas kampanye dan gagasan Khilafah sebagai alternatif sistem bernegara dan berbangsa. Selain itu, keterlibatan atau intervensi pemilu di abdikan untuk mengkonsolidasikan kekuatan para tokoh dan umat Islam dalam satu front politik baik di tingkat nasional maupun lokal.
Saat ini, Fenomena politik dan sosial yang terjadi di Indonesia maupun dunia internasional selalu bisa di warnai oleh gerakan islam Radikal ini. Gerakan ideologi trans nasional selalu berhasil merebut serta mengisi diksi dan narasi keagamaan, Diksi dan Narasi agama ini yang justru di jadikan sebagai panduan dan referensi umat dalam menyikapi fenomena agama, sosial dan politik. Tafsir keagamaan dan sosial politik dari kaum trans Nasional ini tersebar luas secara massif di kalangan kampus, mesjid, pengajian hingga mampu menembus benteng institusi negara beserta aparatnya.
Strategi dan taktik ideologisasi massa islam juga di lakukan dalam bentuk pertemuan dan pengajian sebagai wadah untuk menyatukan persepsi. Pertemuan tersebut di lakukan di tempat massa berkumpul dalam melakukan ritual ibadah maupun interaksi sesama umat seperti Mesjid kampus, mesjid di lingkungan kampung, , pengajian di rumah penduduk dan lainnya.
Dampak dari strategi dan taktik yang sistimatis ini, gerakan dan Ormas Islam Radikal menuai panen dalam bentuk rekrutmen kader/Anggota yang melimpah, terjadi perluasan organisasi, terjadi perluasan kampanye dan perluasan front politik. Situasi politik tersebut menjadikan posisi tawar Ormas dan Tokoh Islam radikal menjadi kuat dalam konstelasi politik elit maupun di masyarakat. Jika situasi ini terus terkondisikan selama bertahun tahun, maka keberadaan NKRI dan Pancasila berada di ujung tanduk, dan bukan tidak mungkin terjadi revolusi Wahabi ala Arab Saudi atau konflik Suriah melanda Indonesia.
Sementara perlawanan dan bentuk hegemoni negara ( Pemerintah) untuk meraih ketaatan spontan umat islam agar patuh dan tunduk terhadap segala regulasi, serta memasok tafsir agama yang moderat, mendapat counter hegemoni dari intelektual tradisional gerakan islam fundamentalis di media sosial maupun di akar rumput. Saat ini, kegelisahan mulai muncul dari kalangan Ulama, Kyai, intelektual dan para tokoh masyarakat Islam moderat yang berbasis di kampus, pesantren serta kalangan elit negara dalam menyikapi dampak meluasnya ideologi dan gerakan Islam garis keras paska paska pilpres 2019.
Konsep Islam Nusantara yang merupakan bagian dari ideologi Ahlussunnah Waljama’ah ( Aswaja) yang bercirikan At tawassuth ( di tengah), at-tawazun atau seimbang , al-i’tidal atau tegak lurus, toleran dan menghargai ke bhinnekaan yang di gaungkan para Ulama, Kyai dan akademisi Islam Moderat, khususnya warga NU beserta dukungan dari fungsionaris negara, sejatinya merupakan strategi untuk mengambil alih dan merebut tafsir Islam dari tangan kaum wahabi-Salafi/Islam Garis Keras.
Tetapi di basis umat Islam maupun di media sosial, Islam Nusantara di plintir oleh kaum wahabi sebagai agama baru (Counter hegemoni). Kontroversi dan debat tentang Islam Nusantarapun menjadi massif sekaligus tegang di akar rumput, bahkan di Luar jawa penentangan terhadap islam Nusantara marak terjadi.
Pertarungan ideologi Islam Moderat versus Islam Radikal bahkan meluas ke berbagai wilayah di seluruh Indonesia, hingga sampai pada benturan fhisik. Beberapa Ormas NU mengadakan perlawanan dalam bentuk demonstrasi, penolakan, hingga penghadangan terhadap tokoh tokoh wahabi ketika hendak berceramah di berbagai wilayah, seperti kasus penolakan Gerakan Pemuda Ansor terhadap penceramah ustaz Khalid Basalamah di Jawa Timur, penghadangan dakwah ustaz Felix Siauw di Balai Kota DKI Jakarta, hingga pengusiran terhadap Ustaz Dr Firanda Andirja Abidin, Lc.MA di Aceh yang di identifikasi sebagai tokoh Wahabi Indonesia.
Walaupun Ideologi dan politik Islam Nusantara yang moderat masih di anut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia, tetapi dominasinya mulai goyang dan tergembosi oleh gerakan dan kampanye dakwah para kaum wahabi dan Islam Garis Keras lainnya. Ajang pertempuran bukan lagi di jalanan, tetapi mulai memasuki wilayah media sosial dan menjaring kalangan remaja milineal.
Selain itu, faktor politik internasional dan dukungan tak terbatas dari Arab Saudi, membuat stamina perjuangan gerakan Wahabi dan Islam garis keras semakin sulit untuk di tundukkan. Arab saudi, sebagai pusat ideologi wahabi yang menjadi cikal bakal gerakan trans nasional rutin memberikan bantuan beasiswa kepada mahasiswa Indonesia ke Arab Saudi dengan dana petrodollar yang mereka miliki,
Para alumni penerima bea siswa dari Arab saudi inilah yang menjadi agen dan juru bicara penyebaran ideologi wahabi atau Trans Nasional di Indonesia. Selain itu, penerjemahan-penerjemahan buku berbahasa Arab yang mengandung ideologi ajaran Salafi juga digalakkan. Bahkan, saat ini gerakan Salafi mulai merambah pada ranah ekonomi, seperti penjualan madu dan habbatussauda, serta pengobatan bekam di berbagai klinik terapi di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Dan perkembangan terakhir, front taktis yang terbentuk hasil pilpres 2019 yaitu PA 212 berencana membentuk Bank tersendiri yang di fasilitasi dan di modali oleh eloit politik opurtunis beserta para donatur yang di duga untuk menjadi tandingan Bank bank resmi negara sekaligus melikuidasi perekonomian RI.
Saat ini, kondisi masyarakat Islam Indonesia seperti “Satu Bantal Beda Mimpi”. Sebahagian besar rakyat ingin mempertahankan Pancasila-Bhinneka-NKRI-UUD 45 sebagai 4 pilar kebangsaan, tetapi sebahagian umat Islam yang terpapar ideologi Islam Radikal, menginginkan negara berbentuk Khilafah dan Undang-Undang diatur sesuai dengan syariat islam versi Ideologi Trans Nasional. Kita tunggu hasil Battle Islam Radikal Versus NKRI kedepan, siapa pemenangnya ?