Setelah kemenangan Jokowi-Ma’ruf, ramai politisi berebut kursi menteri. Ini ada hubungannya dengan perkembangan amygdala di otak yang selama ini hanya dikenal gemar menyebar kebohongan,–ternyata lebih dalam lagi,–sebagai penyebab watak politik kekanak-kanakan. Budayawan Parduru menyorotinya untuk pembaca Bergelora.com (Redaksi)
Oleh : Parduru
SAMASEKALI bukan kumaksud bersegi liturgis ibadah, melainkan sekadar ilustrasi doang untuk mengawali tulisan ini, tentang kabar dituturkan Matius, Markus dan Lukas menurut narasinya masing-masing di dalam kitab Injil Perjanjian Baru yaitu anak-anak yang dibawa orangtuanya menemui Yesus Kristus.
Aku tahu benar bukan hanya Yesus Kristus melainkan semua nabi bahkan para ulama sangat peduli kepada anak-anak. Berhubung anak-anak merupakan generasi pelanjut keimanan maupun interaksi sosial. Namun saya menyebut muatan Injil saja dan bukan ikut menampilkan dari kitab suci agama lainnya yang berkaitan dengan anak-anak,– demi terhindar,– kalau-kalau apresiasi seperti itu dikatagorikan menista agama. Bukankah terjadi kejadian begitu bikin heboh masyarakat Indonesia?
Yesus Kristus menghardik para kadernya yang mencegah anak-anak itu bertemu Dia. “Biarkan anak-anak datang, jangan menghalang-halangi…..!”
Dalam diri anak-anak itu sebagaimana umumnya menjelma karakter diri yang amat besar ingin tahu mau lihat kerumunan, bertabiat keras menuntut maunya (egosentris), minta diistimewakan, berfantasi sebatas apa di tangan, berpikir sejengkal, gampang mangkel, bahkan impulsif yang mungkin lebih dapat dipahami dengan perangkat patalogis impuls control disorder. Mereka mau berada pada situasi tanpa niat mendapat sesuatu, tanpa konsep. Mereka pasif perihal oppurtunity materi.
Tabiat fenomena anak sedemikian terbit dari kepastian cortex amygdala dalam sistim syaraf manusia yang sudah berfungsi sejak periode homo-sapiens, pada zaman primitif selagi tehnologi masih amat sederhana. Mesin kesadaran amygdala itu sebatas biologis menyimpulkan kesan yang umumnya emosional impulsif. Hewan pun mempunyai jaringan syaraf amygdala yang lebih sederhana, dan tidak berkembang.
Dalam sistim syaraf manusia tidak hanya muncul mesin amygdala. Seiring secara emperisis mahluk manusia purba menemukan teknologi lebih jitu memenuhi tuntutan hidupnya. Kondisi itu memunculkan jaringan prefrontal cortex dalam sistim syaraf tersebut,– selaku mesin kognisi yang menerbitkan kesadaran rasional. Diduga ukuran besar ataupun berat prefrontal cortex berproses semakin meningkat seiring manusia berbudaya tehnologi makin maju.
Kecanggihan dan beragamnya potensi akal manusia bukan lagi melulu faktor biologis, namun sudah menembus batas nature oleh dahsyatnya peranan ilmu pengetahuan mengkreasi berlanjut sains dan tehnologi mutakhir. Apalagi di era revolusi industri level 4. Kedigdayaan mesin kognisi tersebut makin mulia.
Dewasa ini dalam tempurung otak tiap seseorang manusia berlangsung rangkaian ulang proses adanya amygdala dan adanya prefrontal cortex, seperti penjelmaan adanya dimasa primitif hingga era tehnologi digital dalam masyarakat manusia. Secara singkat terhitung usia seseorang mulai lahir, anak balita, remaja, puber, dewasa dan profuktif. Setiap orang mengalami arus pertumbuhan kesadaran emosi – kognisi, pertumbuhan amygdal cortex dan prefrontal cortex demikian.
Atraksi anak-anak memang otentik tabiat natural,– peran utamanya elemen amygdala cortex. Jika orang dewasa apalagi sudah berpendidikan tinggi berinteraksi oleh impuls amygdala cortex, itulah disebut “kekanak-kanakan”. Seorang dewasa terpelajar dan bergerak dalam turbulensi proses produktif ekosospolhumkam, pastilah berkirab utamanya prefrontal cortex.
Fenomena kemarin dan hari ini tampil di massmedia cetak dan TV, tampak iringan para tokoh atas dan para petinggi lainnya dari beberapa partai politik koalisi Jokowi dan Ma’ruf Amin, berbondong-bondong menyambangi Jokowi menuntut atau setidaknya usulkan jatah kursi menteri pada kabinet yang akan datang untuk parpol bersangkutan. Ada yang menuntut hingga 10 kursi menteri. Dasar alasannya sama yaitu imbalan keringat dan sudah tentu juga jumlah uang yang telah dibelanjakan selama kampanye pilpres dari kas atau pun kader parpol bersangkutan.
Angka uang semasa kampanye dianggap wajib diperhitungkan kembali. Nilai numerik uang itu kembali berupa status jabatan menteri. Beberapa parpol dimaksud mengekspresikan pendiriannya bahwa nilai uang lebih tinggi bobotnya ketimbang mensuplai konsepsi yang tinggi agung maslahatnya bagi bangsa,– misalnya gagasan meningkatkan percepatan pemerataan keadilan bagi rakyat. Atau penyedot balik milik negara dari hipotek brankas para koruptor di masa lalu maupun yang sekarang. Atau pengendali akhlak rasa malu bersumber dari Pancasila. Atau pemajuan serentak kebudayaan di seluruh daerah. Atau pengkongkrit kesatuan pluralis berbasis maritim. Atau pendayagunaan tenaga rakyat untuk membangun infrastruktur. Atau percepatan reforma agraria. Atau pembangunan infrastruktur pangkal mesin industri. Atau peningkatan revitalisasi lahan kritis. Atau pemajuan ekonomi dan budaya lainnya. Bangsa dan negara ini masih harus bergegas agar nyata setara dengan bangsa lain.
Boleh juga disusun konsep unik bidang politik, misalnya pencapaian minimum resultante kinerja periode kedua Jokowi untuk posibilitas maju ke periode ketiga sehingga dapat mecuatkan Undang-undang Pilpres. Asalkan tidak makar atau melenyapkan NKRI,– bukankah Undang-Undang Dasar RI membolehkan menyatakan pendapat betapapun uniknya?
Seberapa parpol dimaksud ternyata merendahkan bobot nilai konsepsi dibawah bobot uang. Aku jadi teringat dahulu, Gus Dur almarhum yang mensejajarkan anggota DPR sebagai anak TK.
Kembali ke anak-anak kusebut diawal tulisan, yang natural berkarakter anak-anak, sungguh bukan kekanakkanakan.
Mereka dibawa orangtua masing-masing. Anak-anak tidak menuntut apapun bahkan tidak menyimpan keinginan sesuatu untuk dipunyai. Orangtua mereka yang mengajukan berkat untuk anak-anaknya dan ternyata mendapatkannya.
Tindakan para orang tua itu bijak terpuji, sesuai tempat, waktu dan agenda aktor, yang aksi orang tua selaras karakternya selaku pengayomi keturunan.
Berkaitan dengan fenomena berbondongnya tokoh utama dan petinggi parpol tersebut,– bukankah itu ekspresi bocah rangsangan amygdala belaka? Padahal selayaknya berkognisi oleh jaringan prefrontal cortex sebagai politikus bahkan memangku atribut negarawan, namun jatuh pada lumpur kekanak-kanakan!
Bukankah itu sekaligus indikasi potensi prefrontal cortex dibawah standard politikus yang berbakti mengabdi untuk memajukan peradaban bangsa dan negaranya? Bukankah aksi menuntut atau mengemis kursi menteri itu mengirimkan sinyal pendirian sebenarnya adalah pedagang rente doang?
Karakter anak-anak disebut diawal tulisan bukan kekanakkanakan, melainkan natural anak-anak. Tokoh yang memang sudah berusia dewasa matang itu ternyata jaringan syaraf prefrontalnya disingkirkan oleh jaringan syaraf amygdal cortex, bukankah itu kekanakkanakan? Kalau begitu patut dirujuk untuk ditinjau oleh yang berwenang di bidang patalogis sosial-psychologi!