Minggu, 13 Juli 2025

Jangan Ambil Gelas Bekas Racun Itu !

Ilustrasi tanda racun berbahaya. (Ist)

Penebangan liar di hutan Gunung Muria dan racun pestisida masih terus berlangsung mengancam lahan pertanian termasuk di Kudus. Penulis Hasan Aoni, Pendiri Omah Dongeng Marwah dari Kudus membandingkan dengan kerusakan lingkungan hidup akibat perang saudara di Bosnia. (Redaksi)

Oleh: Hasan Aoni

TAHUN 1992 dan 1995 negeri ini pecah oleh perang etnik dan saudara menyusul bubarnya bekas negeri komunis Yugoslavia. Membentang di semananjung Balkan di Selatan Eropa, dengan penduduk empat juta dan luas 51.129 km², Bosnia Herzegovina luasnya sedikit di atas Jawa Timur yang membentang 47.800 km².

Jarak dari Budapest, Hongaria, ke kota Mostar, Bosnia, hanya sepertiga hari perjalanan bus dengan tiket 20 Euro atau 300 ribu perak. Meski kadang berhenti untuk makan, isi bensin, dan pipis, menempuh jarak 880,3 km yang diestimasi google map hanya 8 jam 18 menit, pada prakteknya melebih itu. Ada gereja dan masjid bisa ditemui di kota-kota di Bosnia sepanjang perjalanan itu, juga sinagog untuk Yahudi.

Bayangkan hari ini kita dengan perjalanan darat lewat tol Jakarta-Surabaya sejauh 781,8 km, perlu waktu tempuh sampai 8 jam 30 menit. Waktu yang nyaris seimbang. Jalan-jalan kita sudah serupa dan setara dengan negara-negara di Eropa, kecuali kemacetan di kota Jakarta.

Musim summer bagi mahasiswa yang studi di Hongaria seperti berada di pusat terminal wisata darat antarnegara. Negeri yang terkurung oleh beberapa negara di Eropa Tengah, ini semudah mahasiswa menulis rencana mau ke mana mereka dari pusat ibukota Budapest itu mengisi liburan tahun ini?

Bosnia salah satunya. Tahun 1992 saya sibuk mengatur barisan mahasiswa baru dalam Ospek musim panas di UIN Walisongo. Sudah kami siapkan poster untuk mahasiswa berisi hujatan terhadap Ratko Mladic, Slobodan Milošević, Slobodan Praljak, dan para jagal perang yang membantai lebih dari tujuh ribu muslim Bosnia.

Mahasiswa baru perlu kami didik berpolitik dengan demo waktu itu. Rektor dan Dekan mendengar rencana kami. Tergopoh-gopoh mereka memastikan tidak ada poster yang mengritik Orde Baru. Haluan politik kita yang pro Amerika waktu itu sangat mendukung semua demo soal Bosnia, kecuali satu: kritik terhadap dirinya.

Tapi, hingga 27 tahun berlalu sejak latihan demo itu, belum juga kami terbang ke Bosnia mengunjunginya. Kami ingin suatu ketika pergi ke negeri yang pada 2013 pernah memopulerkan talking value: “Jangan Ambil Gelasnya!”

Itu kata-kata Carmel Agius, Ketua Hakim pengadilan kejahatan perang di Den Haag, yang tergesa-gesa memerintah petugas setelah menyaksikan dari jarak dekat terpidana Slobodan Praljak, 72, jenderal perang Kroasia, yang baru semenit dipalu bersalah olehnya dan dihukum 20 tahun penjara, di ruang pengadilan itu meminum segelas racun berbahaya.

Setelah bunyi palu itu, dari kursi pesakitan ia bangkit mengangkat gelas dan mendekatkan tangannya ke arah mulutnya, lalu menjungkitkan kepalanya dan menenggak segelas cairan. “Saya baru saja minum racun!” katanya setengah berteriak.

Agius segera menghentikan sidang dan meminta ambulans didatangkan sambil tergopoh-gopoh berteriak, “Tutup gordennya. Jangan ambil gelas yang dia gunakan meminum sesuatu!” katanya.

Tapi, perang yang berkecamuk hebat itu tak membuat masyarakat Bosnia hilang selera kecintaannya memelihara lingkungan. Ada arus sungai deras mengalir di tengah kota Mostar. Airnya memotret hijau daun dan biru langit yang cerah berpendar, jernih sekali. Anak sulung saya yang tengah studi di Budapest bulan lalu mengunjungi negeri itu mengabadikan video untuk teman-teman petani kami.

Hari ini di pertengahan puncak kemarau bulan Juli, kami hampir kehabisan air yang bulan lalu masih lancar ditimba membasahi sawah-sawah organik kami. Video sungai yang deras dan jernih di Mostar itu tiba-tiba memunculkan kerinduan akan sungai jernih mengaliri sawah kami.

Di bagian selatan lereng kami melihat tegak gunung Muria sambil berdoa semoga masih tegak juga pohon-pohonnya. Dari tegakan itu  mengalir air ke sawah di tiga kabupaten termasuk di desa kami di Kudus. Harusnya mengalir lebih deras dibanding sungai di Mostar, karena perang tak terjadi di sini. Kecuali kapak penebang liar hutan Muria dan racun pestisida masih disemprotkan para petani konvensional.

Hati-hati saja, jangan kalian lupa, tengah sawah itu bisa berubah seperti ruang pengadilan Praljak di Den Haag kalau sampai hari ini masih berkubang kapak dan racun pestisida. Keculasan sikap akan merubah kapak dan racun jadi senjata yang memakan tuannya sendiri. Waspadalah! Waspadalah!

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru