Selasa, 7 Oktober 2025

INSPIRATIF…! Freddy Numberi: Perlu Badan Khusus Untuk Kontrol Program di Papua

Laksamana Madya TNI (purn) Ambassador Freddy Numberi. (Ist)

Presiden Joko Widodo akan menekankan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam periode kedua pemerintahannya dibandingkan pembangunan infrastruktur. Lantas bagaimana dengan kebutuhan pembangunan di Tanah Papua. Berikut perbincangan Daniel Dhuka Tagukawi dari Sinar Harapan dan Web Warouw dari Bergelora.com dengan mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, dan mantan Menteri Perhubungan, Laksamana Madya TNI (purn) Ambassador Freddy Numberi di Jakarta, Senin (22/7). (Redaksi)

Seperti apa pembangunan di Papua selama ini?

Saya melihat pemerintahan Jokowi mengeluarkan Inpres Nomor 17 tahun 2017. Kita lihat rencana pembangunan jangka menengah, juga ada komitmen konten budaya lokal. Pertanyaannya, seberapa jauh pemerintah pusat melalui Bappenas betul-betul menyiapkan program yang langsung aplikasi di lapangan. Itu yang menjadi masalah. Banyak pemerhati tentang Papua juga mengeritik dan mendorong, agar pembangunan di Papua itu (dilakukan–red) benar. Kalau masyarakat sejahtera maka akan eliminir mereka yang ingin merdeka. Pelaksanaan pembangunan dilakukan sedemikian rupa dengan benar agar benar-benar mensejahterakan rakyat.

Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki keadaan?

Pelaksaaan pembangunan dengan lokal konten perlu dilaksanakan sedemikian rupa untuk mensejahterakan rakyat. Di pedalaman, ini yang paling bergejolak. Di sisi lain, tidak menyalahkan siapa-siapa. Tapi, semua harus dorong pembangunan Papua dengan baik. Kalau sejahtera akan  mengeliminir keinginan merdeka. Pemerintah harus fokus, dengan program nyata seperti pendidikan, kesehatan, mengatasi isolasi yang benar dan keberpihakan kepada masyarakat Papua. Misalnya, bagaimana menjadikan hasil perkebunan bisa berkembang sehingga melahirkan pengusaha lokal. Harus cari cara agar masyarakat bisa mandiri.

Artinya, persoalan kesejahteraan menjadi tantangan bagi pemerintah?

Kalau ada kesejahteraan, juga akan memperkuat ketahanan negara. Selama masyarakat tidak sejahtera, maka memoria passionis atau ingatan penderitaan akan muncul seperti soal integrasi, Pepera dan HAM. Itu akan selalu diangkat. Tapi, akan beda kalau sejahtera,– pendidikan dan kesehatan diperhatikan dan berpihak kepada mereka. Saya yakin, itu satu-satunya cara untuk eliminir berpikir merdeka dan sebagainya.

Ada pembangunan infrastruktur dan sebagainya, tetapi tetap saja tidak menghilang aspirasi “M”. Bagaimana?

Saya melihat tidak ada pola pendampingan yang tepat. Harus ada pendampingan dan desain untuk kesejahteraan. Kalau tidak dilakukan akan sulit. Di Lemhanas, saya katakan, selama program ketahanan pangan lokal, penangungulangan kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan kapasitas kelembagaan tidak disentuh dengan baik, maka akan selalu bermasalah. Misalnya, kasus korupsi sekarang koq diam-diam saja? Di daerah lain tidak demikian. Ini jadi masalah Papua. (Ini-red) tantangan bagi Jokowi. Ada apa di balik itu? Saya dapat masukan dari masyarakat. Ini menjadi pertanyaan kenapa tidak ada penindakan (korupsi-red) di Papua. Supaya masyarakat percaya. Masyarakat minta kasus korupsi diusut, tapi sepertinya tidak ada. Ini menimbulkan pertanyaan mengapa di daerah lain dikejar-kejar, sementara di Papua dibiarkan? Ini tantangan.

Ada yang melihat pembangunan kurang membumi di Papua?

Semua Presiden memiliki kebijakan percepatan pembangunan di Papua. Pada masa Jokowi memang lebih nyata, karena mendorong infrastruktur. Jokowi punya legacy untuk Papua. Pikiran beliau juga sangat baik. Pertanyaan cuma satu. Siapa yang mendampingi mereka disana? Masyarakat akan apatis. Program pembangunan harus melakukan pendekatan budaya pada setiap wilayah adat. Karena Papua memiliki tujuh wilayah adat dengan karakteristiknya, yakni Wilayah adat Mamta, Saireri, Bomberai, Domberai, Meepago, Ha-Anim dan Wilayah adat Lapago.

Persaoalan saling percaya juga menjadi tantangan tersendiri?

Bukan hanya saling tidak percaya. Kapasitas kelembagaan harus ditangani dengan baik. Pilihan birokrasi harus dengan baik dan terukur. Selama ini menjadi masalah. Kalau angkat pegawai tidak tepat, akan menimbulkan masalah. Akhirnya masyaraat apatis. Akibatnya masyarakat,– ya sudah merdeka saja. Semua jadi beban Jokowi. Seharusnya mereka bantu (Jokowi-red). Pola pemilihan gubernur, bupati, mungkin dirancang sendiri, misalnya, Presiden punya hak prerogatif. Presiden angkat orang asli Papua atau melalui DPRD. Mungkin itu salah satu pola di daerah bermasalah. Gubernur terpilih harus bisa memilih bupati, penjaringan dilakukan gubernur. Itu daerah bermasalah. Tapi, pasti dibilang tidak  sesuai alam demokrasi. Tapi maaf, setidaknya, itu kurangi beban kita sendiri, yang saling curiga mencurigai.

Apa yang harus dilakukan pemerintahan mendatang?

Saya memandang, Presiden Jokowi perlu membentuk badan khusus, di luar BPK yang kontrol program di Tanah Papua. Untuk Indonesia, perlu ada tim untuk Kawasan timur, Kawasan tengah dan Kawasan barat. Tim ini yang selalu monitor program di kawasan. Apakah jalan sesuai target atau tidak. Kalau zaman Pak SBY ada Pak Kuntoro. Menurut saya bagus, karena berada di luar pengawasan internal. Kalau laporan tidak pas, Presiden mempunyai pertimbangan sendiri yang tepat untuk daerah itu.

Pemerintahan Jokowi periode kedua akan memprioritaskan sumber daya manusia. Bagaimana dengan Papua?

Penerapan di Papua harus dipilah. Kalau di pedalaman infrastruktur dan SDM harus sama-sama menjadi prioritas. Tapi kalau wilayah pesisir, bisa saja memprioritaskan SDM, karena keadaan geografisnya tidak separah di pedalaman. Kalau pedalaman harus berbarengan keduanya. Perhatian harus dimulai dari ibu hamil dan balita. Kalau dulu saja zaman Belanda itu bisa dilakukan. Setiap pusat kesehatan diwajibkan minum susu dan kacang ijo, kenapa sekarang tidak bisa dilakukan? Ini tergantung manajemen saja.

Selain soal saran pembentukan badan yang khusus monitor program pembangunan. Apakah masih ada saran lain?

Jadi, pertama itu, perlu badan khusus untuk monitor program pembangunan. Bukan KSP (Kantor Staff Presiden-red). Tapi, itu di luar sistem, yang diisi pakar yang mengerti pemerintahan dan pembangunan. Ada banyak anak muda yang pintar di Indonesia.

Kedua, pembangunan  berkelanjutan ada enam prinsip. Tapi, dalam Perpres belum tergambar, harus disempurnakan enam prinsip 2015 dan harus tercermin dalam perpres kita. Kalau tidak akan sulit kita ukur. Masalah HAM, harus dalam Perpres pembangunan berkelanjutan. Tidak boleh ada orang yang ditinggalkan di belakang.

Ketiga, Papua membutuhkan Do No Harm Policy atau kebijakan tidak  melakukan kekerasan terhadap masyarakat lokal. Ini harus diberlakukan di Papua. Tapi, memang dalam implementasi di lapangan akan susah. Saya orang TNI. Contoh kasus, mau cari satu orang, tapi seluruh kampung dibakar, itu tidak betul juga! Cari bandit, kriminal, jangan kampung yang dibakar. Cari satu atau dua orang, terus seluruh kampung dibakar kan tidak benar. Do No Harm Policy, Papua butuh itu.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru