Rabu, 8 Oktober 2025

27 Juli 1996 – 27 Juli 2019

Peristiwa perlawanan pemuda, mahasiswa dan rakyat yang dipimpin PRD setelah sebelumnya ABRI melakukan penyerbuan kantor PDI di Diponogoro 27 Juli 1996. (Ist)

Mengenang 23 tahun peristiwa penyerbuan Kantor PDI (Partai demokrasi Indonesia ) di Jalan Diponogoro, Jakarta pada 27 Juli 1996, Andi Arief, Sekjen Partai Demokrat, mantan Ketua Umum Solidaritas Mahasiswa Indonesia (SMID) dan Mantan Ketua Umum PRD (Partai Rakyat Demokratik) bawah tanah, membandingkan dengan gerakan makar 21-22 Mei 2019 yang berujung kerusuhan yang mengorbankan kebhinnekaan dan korban jiwa. Bergelora.com memuatnya menjadi peringatan bagi semua anak bangsa. Tentu ada perbedaan yang mendasar terhadap dua peristiwa diatas. 27 Juli 1996 membangkitkan perlawanan yang berhasil menjatuhkan Soeharto dan Orde Baru pada Mei 1998 yang membebaskan rakyat Indonesia dari cengkraman kediktaktoran dan berujung demokrasi sampai saat ini. Sedangkan gerakan makar 21-22 Mei didukung cendana dan sisa-sisa Orde Baru untuk merusak demokrasi dengan menunggangi Pilpres 2019,–dan gagal. (Redaksi)

 

Oleh: Andi Arief

PADA tanggal 14 April 1996, gerakan mahasiswa mendapatkan momentum perlawanan terbesar di jama Orde Baru. Momentum yang diawali solidaritas terhadap wafatnya mahasiswa UMI Makassar saat kampusnya diserang.

Sejumlah mahasiswa di Kota besar dalam jumlah yang besar silih berganti melakukan perlawanan terhadap tindak kekerasan di Makasar tersebut. Biasanya aksi mahasiswa hanya ratusan, dalam momentum ini bisa mencapai ribuan bahkan puluhan ribu. Bahkan, Jakarta sebagai kota yang biasanya  paling sulit menggerakkan mahasiswa, namun saat itu bisa digerakkan. Sekali lagi inilah momentum terbesar perlawanan mahasiswa yang pernah ada di jaman Orde Baru.

Perlawanan berlangsung cukup lama.

Di sekitar akhir Mei dan awal Juni 1996, di saat gerakan mahasiswa memuncak itu, rejim Orde Baru melakukan tekanan dan pembelahan brutal terhadap PDI. Mengakibatkan muncul protes kecil pendukung di PDI Megawati. Mengapa kecil, karena situasi memang represif. Kader PDI tidak semilitan mahasiswa saat itu, bisa dipahami. Semua partai dalam suasana ketakutan, mencekam. Hanya gerakan mahasiswa saat itu satu-satunya harapan melawan rejim Orde Baru.

Dalam sebuah rapat kecil di kawasan Depok, elemen perlawanan mahasiswa SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) dan organisasi buruh, organisasi tani, organisasi kaum miskin kota dan organisasi kebudayaan melakukan penilaian atas situasi yang berkembang saat itu. Keputusannya adalah menyatukan perlawanan mahasiwa yang sudah cukup besar  dalam momentum baru bersama perlawanan kecil PDI. Akhirnya semua daerah pelan tapi pasti mampu menggabungkan perlawanan tersebut menjadi perlawanan besar terhadap rejim Orde Baru.

Perlawanan besar itu coba dimatikan dengan provokasi 27 Juli 1996 yang dilanjutkan dengan penangkapan, pemenjaraaan dan pemburuan.  Awalnya banyak fihak menganggap menyatukan perlawanan sampai dilakukan represi Orde Baru adalah kesalahan Gerakan saat itu. Namun kami berlendapat lain bahwa jika perjuangan dilanjutkan maka gerakan rakyat tidak mungkin bisa ditahan. Inilah gambaran singkat dibalik peristiwa 27 Juli hingga akhirnya muncul gerakan 1998,  semua terjadi karena gerakan dilanjutkan.

Ini 27 Juli 2019, silahkan menilai apakah mahasiswa menunggangi (Partai Demokrasi Indonesia) saat itu atau tidak? Apakah ini tindakan benar atau salah? Lalu, bisa belajar dengan kerusuhan 21-22 Mei 2019. Biar merasakan bedanya.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru