Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan “hadiah” dimasa akhir periodenya dari Bupati Kudus periode 2018-2023, Seorang bupati yang baru duduk di masa awal kepemimpinannya. Hasan Aoni, pegiat Omah Dongeng Marwah menulis untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Hasan Aoni
SENIN, 9 Oktober 2018, yang sejuk di lereng pegunungan Muri a, bersama dua orang aktifis Forum Desa Mandiri tanpa Korupsi (DMtK), kami bertiga bersilaturrahmi di pendopo Kabupaten Kudus. Tak ada yang berubah di pendopo itu sejak saya tinggal di Kudus tahun 1996. Masih seperti ruangan yang ditempati bupati-bupati sebelumnya. Masuk di pendopo utama lalu belok ke kanan, di situ sejak jaman Bupati Sudarsono, Amin Munajat, Muhammad Tamzil, dan H. Mustofa, tamu-tamu dengan misi khusus, ditemui.
Waktu itu baru sebulan Bapak H. Ir. Muhammad Tamzil, MT, dilantik sebagai Bupati Kudus periode 2018-2023. Ini periode kedua dengan masa tak berurutan. Kami datang menyampaikan berbagai konsep pengembangan desa mandiri dan gerakan anti korupsi.
Saya melihat semangat baru pemimpin ini dalam pengembangan desa dan soal sikapnya melawan korupsi. Tak salah saya mengajak dua sahabat yang peran dan namanya sudah tersohor untuk dua soal itu di negeri ini.
Di pertemuan itu, saya masih ingat peringatannya kepada Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kudus, “Jangan main-main dengan anggaran dan amanah kalau tidak kuat menahan dinginnya jeruji besi. Saya pernah mengalaminya tahun 2014,” katanya di depan kami.
Kami cukup tertegun dengan kejujurannya, dan kepala dinas itu, Catur Sulistiyanto, duduk di samping kami mengatakan siap. Kepala dinas itu sebelumnya menjadi die hard bupati lama. Akan dipertahankan jika performanya cukup baik sampai waktu alih jabatan tiba. “Saya sedang menggojlog dia,” kata Bupati waktu itu.
Selepas pertemuan itu, beberapa program pengembangan desa mulai dilakukan. Pertanian organik yang mandiri dengan dana swadaya petani di Desa Purworejo, Kudus dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mulai diadakan. Bahkan untuk kemandirian, petani desa ini satu-satunya yang tidak menerima bantuan pupuk urea sintetis. Selain sudah tak membutuhkan sejak beralih ke organik, juga mulai mandiri memroduksi kompos dan pupuk organik lain.
Di bidang perdesaan, sejak diberlakukan UU Desa pada 15 Januari 2014, belum satupun dari 74 an ribu desa di Indonesia melakukan pencatatan batas-batas desa sebagai bentuk kedaulatan desa. Atas usul Opung Raymond Toruan, mantan Pemred The Jakarta Post, pendiri Lembaga Daulat Desa (LDD), kami sepakat menghadirkan Muhammad Tamzil dalam diskusi terbatas di Bentara Budaya, Kompas, 15 Januari 2019. Selain Kudus satu-satunya desa yang berhasil menata administrasi kependudukan, batas wilayah desa, dan ruang kewenangan pemerintah desa sebagai indikasi kedaulatan desa, juga karena prestasi itu terjadi atas peran Muhammad Tamzil di masa kepemimpinan pertamanya 2003-2008.
Berlangsung begitu rupa dan yang kami diskusikan pada pertemuan itu konsisten dijalankan. Untuk soal perubahan pejabat di internal Pemkab Kudus bahkan Muhammad Tamzil mengatakan sudah diserahkan kewenangannya kepada Wakil Bupati.
Tak ada yang ganjil sampai datang kabar duka sore itu, tiga jam setelah waktu shalat jumat usai, 26 Juli 2019, sebuah peristiwa telah bikin sendi-sendi tulang saya serasa lemas. Seorang wartawan media ternama mengabarkan peristiwa paling heboh di Indonesia. Terjadi di pendopo tempat kami bertiga membicarakan desa mandiri dan program-program anti-korupsi itu. Mengutip link berita, teman kami mengabarkan, ada orang penting di Kudus tertangkap tangan (OTT) KPK kasus suap penempatan pejabat. Dan yang bikin sendi-sendi ini lemas, orang yang disebut dalam berita itu adalah yang memberi peringatan korupsi di depan kami tujuh bulan lalu itu. Dia Bupati Muhammad Tamzil.
Sontak pertanyaan kawan-kawan aktifis menyiram pesan WA saya. Semua kaget, tak percaya. Sepanjang sore hingga paginya, warga Kudus ramai membicarakan soal itu dan melewati masa muram yang sangat dalam sampai hari ini. Saya wajib bersikap praduga tak bersalah. Tapi, saya tahu sangat jarang KPK salah tangkap. Mungkin ia telah khilaf (atau sengaja), membuat bukan saja yang bersangkutan menyesal, tetapi kami semua.
Secara pribadi Muhammad Tamzil orang yang sangat hangat, sederhana, shaleh berpuasa Senen-Kemis, dan bersikap baik dalam banyak hal. Saya secara jujur harus mengatakan itu, meski sadar statemen ini akan segera disergah oleh teman-teman di KPK dan para aktifis dengan “No! Kebaikan tidak mengenal sikap dan hubungan pribadi!”
Di ruangan itu tujuh bulan lalu ia telah memperingatkan kami sekaligus dirinya. Membuat teman-teman pejabat di Kudus, masyarakat, dan saya sendiri perlu instrospeksi. Semua peristiwa suap dan korupsi tersumbang bukan semata oleh peran pelaku, melainkan juga kita yang telah menukar janji akan jadi apa ketika pilkada usai dengan uang Rp.5 ribu sampai Rp.50 ribu untuk apa yang disebut sebagai etika tergadai. Itu hanya bisa ditebus saat borg telah lunas dipertukarkan kembali. Saat semua alpa ssungguhnya ada pesan hidup miskin bagi pemimpin yang telah diperkaya amanah.
Kita merasa prihatin pada keadaan ini, pada diri sendiri, dan pada semua yang tidak ingin berubah. Jumat yang keramat dan peringatan tentang dinginnya jeruji besi itu telah memberi kita kesadaran akan makna hidup sederhana.
Kasus dugaan suap ini sekaligus ironi masa jabatan: KPK menemukan “hadiah” di masa akhir periodenya dari seorang bupati yang baru duduk di masa awal kepemimpinannya.
Akhirnya, doa saya untuk Pak Tamzil dan masyarakat Kudus semoga terhindar dari “fitnah” dunia seperti diingatkan dalam hadits Nabi. Mungkin ini skenario Tuhan yang terbaik untuk Bupati kami dan masyarakat Kudus tentang hikmah sebuah peristiwa.