JAKARTA– Presiden Jokowi memiliki modal sosial cukup kuat untuk menyelesaikan masalah Papua. Modal sosial seperti itu dulu juga dimiliki oleh almarhum Presiden KH Abdurrahman Wahid.
Demikian dikatakan pendiri AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Satrio Arismunandar, dalam diskusi Merajut Kembali Kebhinnekaan Kita yang Mulai Terkoyak di Café Tji Liwoeng, Jakarta, Jumat (23/8). Satrio menanggapi pembicara staf konsultan politik Denny JA, pengajar STF Driyarkara Dr. Rinno dan dosen FISIP UI Prof. Dr. Sudarsono Hardjosoekarto.
Menurutnya, modal sosial terkuat Jokowi adalah dipercaya oleh mayoritas masyarakat Papua dalam pemilihan Presiden di 2014 dan 2019.
“Jokowi termasuk Presiden yang paling sering berkunjung ke sejumlah daerah di Papua dibanding presiden sebelumnya. Nah, menciptakan perdamaian di Papua, masing-masing pihak harus memiki kepercayaan (trust) terhadap yang lain,” jelas Satrio.
Trust ini menurutnya, dalam teori penyelesaian konflik dibangun secara bertahap, melalui confidence building measures, langkah-langkah membangun kepercayaan.
“Namun, jangan langsung menghakimi sebagai kegagalan, jika dalam proses itu ada naik-turunnya. Itu adalah hal wajar,” ujarnya
Pembakaran Rumah Adat
Sementara itu Kepada Bergelora.com dilaporkan, Sir Zet Gwasgwas, Ketua Dewan Adat Mbaham Matta Fakfak mengutuk keras pembakaran Rumah Adat Mbaham Matta di Fakfak yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri yang berpakaian sipil.
“Kami meminta para pelaku segera di usut dan ditangkap sesuai prinsip hukum yang berlaku bagi keadilan,” tegasnya.
Penanggung Jawab Aksi Damai Masyarakat Fakfak, Rabu (21/8) lalu ini menjelaskan
sesuai Undang–undang Nomor 40 Tahun 2008 rakyat Fakfak melakukan aksi damai akibat ujaran diskriminasi rasial kepada Orang Papua di Surabaya.
“Sehingga kami meminta semua keluarga nusantara di Fakfak untuk menahan diri tidak terpancing oleh propaganda pihak tertentu yang menghasut dan mengadu domba kerukunan dan kebersamaan hidup masyarakat Fakfak yang tinggi toleransi adat dan beragama,” tegasnya.
Dirinya menegaskan bahwa Dewan Adat Mbaham Matta Fakfak bersama Forum Anti Kekerasan dan Rasis Kabupaten Fakfak tidak melakukan pembakaran pasar Thumburuni, sesuai prinsip aksi damai yang dilakukan.
“Massa aksi hanya melakukan aksi di tempat yakni Depan Kantor Dewan Adat Fakfak yang diblokade oleh aparat TNI/Polri. Pembakaran pasar ini terjadi saat masa aksi di blokade oleh Aparat TNI/Polri. Kami sadar penuh bahwa Pasar Thumburuni Fakfak adalah roda ekonomi kami bersama,” ujarnya.
Masyarakat Fakfak menurutnya meminta Presiden Joko Widodo mengintruksikan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengganti Dandim dan Kapolres Fakfak atas keterlibatan skenario konflik yang dibangun oleh mereka sehingga menimbulkan keresahan bagi masyarakat Fakfak.
“Karena adanya keterlibatan oknum anggota TNI/Polri yang berpakaian sipil dalam kericuhan yang dipicu oleh Aparat ini yang mengorbankan masyarakat Fakfak serta penggunaan peluru tajam dalam Aksi Damai ini,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa sesuai surat pemberitahuan aksi dan dibalas dengan surat dari kepolisian untuk berkordinasi di Hotel Grand Fakfak dalam rangka Aksi Damai telah kami lakukan sesuai prosedur.
“Oleh karena itu kami menyesali sikap aparat TNI/Polri yang tidak netral dan tindakan berlebihan Aparat TNI/Polri dalam penanganan masa aksi serta adanya mobilisasi dan provokasi langsung Oknum Anggota TNI/POLRI kepada beberapa Pemuda yang telah diberi minuman keras dan dipersenjatai alat tajam untuk melakukan penyerangan terhadap massa aksi damai ini,” ujarnya. (Web Warouw/Irene Gayatri)

