Kamis, 17 Juli 2025

Film Bumi Manusia: “Suka, Walau Iseng Saja…”

Pramudya Ananta Toer dan Bumi Manusia. (Ist)

Film Bumi Manusia yang diangkat dari novel sejarah karya Pramoedya Ananta Tour yang menjadi penyemangat aktivis 1980-an untuk melawan kediktaktoran Orde Baru mendapatkan beragam tanggapan. Himawan Sutanto, aktivis 1980-an menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Himawan Sutanto

KETIKA novel Bumi Manusia akan difilmkan, banyak sekali espektasi terhadap film tersebut, sebab pembaca buku karya Pramoedya Ananta Tour tersebut memiliki suasana kebatinan yang berbeda (–karena ada dua buku terbitan Hasta Mitra dan terbitan Lentera). Dalam cerita Bumi Manusia, adalah sebuah cerita tentang perlawanan kaum pribumi melawan kolonialisme Belanda.

Dalam karyanya, Pramoedya sebagai penulis memiliki suasana kebatinan yang sangat kental dengan perjuangangannya. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa orde lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan: 13 oktober 1965-Juli 1969, Juli 1969-16 Agustus 1969 di pulau Nusakambangan, Agustus 1969-12 November 1979 di pulau baru, November-21 Desember 1979 di Magelang.

Sementara Pramoedya sendiri dilarang menulis selama masa penahannya di Pulau Buru, namun dia tetap bersikeras dengan mengatur untuk menulis dimasa penahannya dengan karya yang kini menjadi sangat terkenal.  Pram sendiri menulis empat novel di dalam penjara dan yang terkenal dengan tetraloginya, keempat cerita tersebut dibacakan secara lisan kepada tahanan-tahanan lain semasa Pramoedya diasingkan di Pulau Buru oleh pemerintah Indonesia antara tahun 1965-1979. Keempat cerita tersebut dalam bentuk novel yang kemudian dilarang peredarannya tak lama setelah diterbitkan.

Pemerintah Indonesia menuduh bahwa karya-karyanya mengandung pesan Marxisme-Leninisme yang dianggap tersirat dalam kisah-kisahnya. Adapun keempat buku tersebut adalah (disertai tahun penerbitan dan pelarangan; semuanya diterbitkan Hasta Mitra): adalah 1. Bumi Manusia (1980; 1981), 2. Anak Semua Bangsa (1981; 1981), 3. Jejak Langkah (1985; 1985), 4. Rumah Kaca (1988; 1988). Lalu sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk koleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa inggris dan Indonesia.

Ekspektasi Pembaca

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”,

Demikianlah salah satu pernyataan Minke yang sangat menarik ketika bicara dengan Annelies. Dari kalimat tersebut Minke menunjukkan kelasnya sebagai pribumi yang pandai dan kalimatnya justru akan menjadi tantangan sutradara dalam memvisualisasikan. Sebab banyak sekali setting cerita dengan dialog yang sarat dengan filosofis.

Sebab membaca karya Pramoedya, paling tidak bisa dilepaskan dari individu historis Pramoedya itu sendiri. Menjadi percuma jika membaca empat roman di dalam Tetralogi Buru sampai tamat, namun tidak tahu kenapa dan apa yang membuat Pramoedya menulisnya. Atau paling kecil, di mana Pramoedya menyelesaikan karya yang sudah difilmkan itu dan sudah tayang diberbagai bioskop di Indonesia.

Beberapa kali saya berjumpa dengan pembaca Tetralogi Buru, yang berapi-api memujinya, namun sama sekali tidak paham dengan simbol-simbol perlawanan dan pesan-pesan kemanusiaan yang ada di dalamnya, paling tidak keinginan luhur Pramoedya itu sendiri. Sebab, karya Pramoedya lahir bukan untuk menyenangkan hati belaka, melainkan juga untuk melawan sejarah yang dimonopoli oleh kekuasaan. Menurut saya, karya sastra yang baik adalah yang mampu membuat kita berpikir ulang, yang sanggup merusak tatanan kemapanan pikiran kita. Maka karya Pramodya ada dan mampu membawa imajinasi kita menjadi lebih memahami akan perjalanan sejarah bangsa ini.

Pembaca Pramoedya pasti telah membaca Tetralogi Buru, tapi selanjutnya juga membaca kumpulan cerpen Pramoedya dalam Tjerita dari Blora, Bukan Pasar Malam, atau karya epos Arus Balik. Untuk judul yang terakhir, novel setebal 760 halaman (terbitan Hasta Mitra, 2002) karena akan memperkaya kosa kata, selain akan menambah pengetahuan kita pada diksi Melayu lingua-franca, yang mulai hilang, dan lain-lain. Kita harus mampu memberikan apresiasi terhadap karya novel yang selalu berbeda dengan filmnya, sebab masing-masing memiliki sebuah pendekatan yang berbeda.

Film Bumi Manusia

Sedangkan film sendiri akan menghasilkan sebuah gambar-gambar yang bersifat sinematik, seperti karya sinemetrografi lainya. Adapun sebuah cerita yang akan difilmkan selalu memiliki tantangan tersendiri dan berbeda-beda. Dimana selera sutradara akan memberikan nilai film itu mampu menggambarkan visual secara apik atau tidak. Sebab disitu akan teruji bahwa sineas tersebut mampu menghadirkan visual sesuai dengan espektasi pembaca atau tidak ? Sebab Pramodya sendiri sudah tidak peduli terhadap hasil karyanya setelah terbit dan difilmkan orang lain.

Disisi lain Hanung Bramantyo diuji sama penggemar Pramoedya yang selalu rindu akan karya-karyanya. Hanung sebagai sutradara kembali harus menunjukkan tentang kiprahnya sebagai seorang sutradara yang mampu memvisualkan “Bumi Manusia” secara apik dan sesuai espektasi pembacanya apa tidak ? Sebab novel “bumi Manusia” disamping telah dibaca oleh penggemarnya yang kritis, juga oleh generasi milenial.

Ternyata film besutan Hanung kali ini cukup mewakili kisah roman yang ada di dalam novel tersebut. Sebab keberadaan Minke dalam menjalin kisah kasih dengan Annelies cukup memberi gambaran tentang cinta yang cukup rumit karena perbedaan budaya dan pesan yang disampaikam dalam film tersebut hingga sampai kepada penontonnya.

Ketika saya menyaksikan film Bumi Manusia penonton hanya terisi sekitar 30-40 orang, disebelahku seorang mahasiswi UI jurusan Fisika semester 5, namanya Fika. Fika belum pernah baca novelnya, tetapi Fika menyaksikan karena pas tidak ada kegiatan kampus dan menghabiskan waktunya jalan-jalan di sebuah mall. Setelah itu dia memasuki studio film di bilangan Depok dan memilih menyaksikan Bumi Manusia.

Beruntung saya menyaksikan film Bumi Manusia disamping mahasiswi yang belum pernah baca novelnya. Menurut Fika cukup terhibur karena filmnya tidak bikin ngantuk dan walaupun sedikit mengerutkan keningnya.

Fika adalah salah satu mahasiswi yang menyaksikan film Bumi Manusia tanpa pernah membaca novelnya. Hanung Bramantyo memang mampu memberikan suguhan film itu kepada milenial yang cukup apik dan menarik. Latar belakang film Bumi Manusia bisa digambarkan dengan suasana waktu itu dengan pemilihan lokasi yang apik, yaitu tepi danau yang menyerupai suasana orang Eropa, dimana orang Eropa suka sekali tempat yang sejuk, dekat danau atau sungai dan beberapa bangunan kuno yang biasa dipakai sekolah Minke di HBS, tempat tinggal bupati yang khas.

Dibantu lokasi daerah pertanian yang lumayan sesuai dengan setting cerita. Karakter pemain satu bisa diimbangi dengan pemain lain, misalnya tokoh Minke yang diperankan Iqbal Ramadhan telah keluar dari perannya sebagai “Dilan” hal itu juga mampu disuport oleh keberadaan Annelies (Mawar Eva de Jongh), Nyai Ontosoroh (Inne Febrianti) yang kuat membuat cerita itu hidup dan Nyai Ontosoroh sebagai tokoh sentral sangat membantu sekali peran dalam cerita Bumi Manusia. Sementara keberadaan Darsam (Whani Darmawan) yang mampu memberi kekuatan tersendiri baik itu Nyai Ontosoroh dan Annelies. Selain itu dalam film Bumi Manusia peran Salman Aristo sebagai penulis skenario juga membantu memberikan nuansa adaptasi yang baik dari novelnya. Apalagi beberapa kali Aristo menulis skenario untuk film antara lain ; Brownis, Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi.

Sebab membaca karya-karya Pramoedya, para pembaca disuguhkan sebuah cerita yang melibatkan hati pembaca menjadi terlibat didalamnya. Sebab menafikan hati pembaca akan menjadi suguhan yang sekedar melankolis belaka. Ideologi Pramoedya yang melawan mampu dihadirkan dengan roman gaya milenial dengan setting masa lalu.

Sebagai sutradara Hanung telah membatasi diri dengan mengambil romannya saja dan saya sebagai penikmat film, Hanung bisa dikatakan berhasil. Sebab kisah percintaan Minke dan Annelies mampu dihadirkan dengan sangat apik ditengah setting danau, pertanian yang menjadi suasana orang Belanda tinggal sangat kuat. Sebab setting cerita masa lampau tidaklah mudah dihadirkan dalam film tersebut. Tetapi Hanung mampu memberikan suasana yang pas. Walaupun masih ada kesan dipaksakan disana-sini, tapi itu biasa saja dalam sebuah film.

Saya jadi teringat ketika main dirumah penerbit Hasta Mitra yaitu Jusuf Isyak, ketika saya dibawa anaknya (baca: teman kursus film) Desantara ke dalam ruangan yang berisi semua buku-buka Pram dan saya disuruh mengambil mana yang belum dimilikinya. Perjuangan Hastra Mitra dalam menerbitkan novel karya Pramodya Ananta Tour adalah perjuangan panjang dan begitu juga film karya Hanung juga sebuah perjuangan panjang walau beda sudut pandangnya. Milenialis telah mendapatkan cerita film roman dari seorang Hanung dalam setting masa lalu yang penuh ideologi perlawanan. Seperti kata Fika setelah menonton film tersebut “Suka, walau cuma iseng saja…”

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru